8 Juli 2022 19:07 WIB
Editor: Akbar Wijaya
"Soal memberikan solusi dan harus konstruktif itu bukan tugasnya warga. Memberi solusi dan konstruktif itu kewajiban pemerintah."
Para aktivis hak asasi manusia mengkritik draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah diserahkan pemerintah ke DPR. Salah satu yang mereka soroti adalah bagian penjelasan pada pasal 218 ayat 1 dan 2 tentang penyerangan kehormatan harkat dan martabat presiden atau wakil presiden.
Yuk disimak isi lengkap pasalnya supaya tulisan ini gak masuk kategori yang dalam bahasa Wamenkumham Eddy OS. Hiariej dalam kolomnya di Harian Kompas (7/7/2022): “Disengaja untuk menimbulkan kegaduhan dan distorsi informasi kepada publik.”
Pasal 218 (1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” merupakan merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan Wakil Presiden. Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut. Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang obyektif. Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan Wakil Presiden lainnya. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada Presiden dan Wakil Presiden atau menganjurkan penggantian Presiden dan Wakil Presiden dengan cara yang konstitusional. Kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi Presiden dan Wakil Presiden.
Sampai di sini apa kamu udah mengerti apa yang menjadi persoalan para aktivis?
Jadi gini, menurut para aktivis permintaan agar kritik bersifat konstruktif dan memberikan solusi obyektif itu terlalu abstrak. Kenapa? Ya karena yang namanya kritik dan solusi itu emang enggak ada standar bakunya.
“Penjelasan itu mengawang-awang. Kalau [kritik] harus memberikan solusi dan konstruktif, ukurannya apa?,” kata Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar saat dihubungi Narasi, Kamis (07/07/2022).
Kritik merupakan hak seluruh warga negara yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Haris menyebutnya sebagai bagian dari hak asasi manusia.
“Kritik ya kritik saja itu bentuk partisipasi, haknya warga. Dia tidak [boleh] dibatasi harus memberikan solusi dan konstruktif,” ujar Haris.
Haris mengatakan kalau warga negara berhak menyampaikan kritik maka mencari solusi dan persoalan merupakan kewajiban pemerintah.
“Soal memberikan solusi dan harus konstruktif itu bukan tugasnya warga. Itu memberi solusi dan konstruktif kewajiban pemerintah,” katanya.
Bagi Haris pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden berikut pasal penjelasannya menunjukkan kesesatan berpikir para penyusun undang-undang: pemerintah dan DPR.
“Kalau warga disuruh mikirin solusi dan konstruktif itu sama aja dengan meminta warga menjadi pembuat kebijakan. Itu kan cara berpikir yang sesat,” kata haris.
Menurut Haris pasal tersebut juga membuat pemerintah yang gaji dan fasilitasnya dibiayai uang negara menjadi tidak jelas kerjaannya.
“Pemerintah gabut. Terus Pemerintah kerjanya apa kalau enggak bisa ngasih solusi? Kerjanya Pemerintah kan harus ngasih solusi. Negara itu hadir karena ada masalah di warga,” ujar Haris.
Haris khawatir pasal tersebut sengaja diciptakan untuk membuat masyarakat makin apatis memberikan kritik.
"Saya khawatir rezim ini adalah rezim infrastruktur jadi pendekatannya konstruktif terus. Dengan begini makin sedikit orang yang bisa memberikan kritik padahal itu haknya warga," ujar Haris.
Sejalan dengan Haris, pengacara publik LBH Jakarta Citra Referandum juga menilai aturan ini sebagai bentuk kontrol bahkan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat rakyat. Dan yang tak boleh dilupakan, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945.
“Soal masalah solusi itu tidak boleh dititikberatkan pada masyarakat. Itu adalah urusan dan kewajiban dari pengurus negara untuk memenuhi semua hak asasi manusia, seluruh hak asasi warga negara,” Tegas Pengacara Publik LBH Jakarta Citra Referandum kepada Narasi, Kamis (07/07/2022).
Problem lain menurut Citra adalah apakah benar jika rakyat mengajukan solusi atas kritiknya pemerintah mau menjalankan? Sebab ia merasa selama ini pemerintah juga tidak pernah mau menjalankan suggestion dari warganya.
“Jadi, kalau misalnya kita kasih solusi, enggak diterima juga. Kalaupun misalnya ada warga masyarakat yang menyampaikan keluhannya, pengalamannya, nah harusnya Pemerintah mendengar dan memberikan solusi,” jelas Citra.
Oke, sekarang kita sudah tahu logika berbahaya pasal tersebut dari perspektif para aktivis. Sekarang mari kita telusuri apa yang menjadi landasan pemerintah tetap mempertahankan pasal yang sebenarnya sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.
Eddward OS. Hiariej dalam opini berjudul “Penghinaan dan Hukum Pidana” di Harian Kompas (7/7/2022) menjabarkan pasal-pasal penghinaan ini masih dipertahankan dengan alasan: “Pertama, penghinaan berakibat pada pembunuhan karakter. Kedua, penghinaan dianggap tak sesuai tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Ketiga, penghinaan adalah salah satu bentuk malaperse atau rechtsdelicten dan bukan malaprohibita atau wetdelicten. Artinya, penghinaan sudah dianggap suatu bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam UU karena melanggar kaidah sopan santun. Lebih dari itu, penghinaan dianggap melanggar norma agama jika dalam substansinya ada fitnah,” tulis Hiariej.
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada ini pasal-pasal di atas dan penjelasannya gak bertujuan menghalangi kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Dia juga bilang: “Hanya yang memiliki kapasitas intelektual kurang memadai saja yang tidak dapat membedakan antara penghinaan dan kritik.”
Berarti yang boleh mengkritik cuma orang-orang intelek saja gituh ya Pak? eh maaf.
Hiariej juga menolak anggapan pasal-pasal itu bersifat diskriminatif karena seolah-olah memperlakukan presiden dan wakil presiden sebagai warga negara istimewa. Karena toh juga ada pasal-pasal penghinaan yang berlaku umum untuk setiap orang.
“Perlu ditanggapi, adanya pasal a quo tidaklah melanggar prinsip equality before the law, karena presiden dan wakil presiden adalah primus inter pares (pertama di antara yang sederajat),” terang Hiariej yang yakin betul pro-kontra terhadap pasal-pasal di RKUHP mestinya tak menghalangi enam ratusan pasal lain untuk disahkan.
Reporter: Firda Iskandar
KOMENTAR
Latest Comment