Mengamini Chris Martin: Tidak Semua Orang Suka Coldplay -- Esai

19 May 2023 19:05 WIB

thumbnail-article

Chris Martin | Narasi

Penulis:

Editor: Mata Najwa

Oleh: Soni Triantoro, Produser Eksekutif Mata Najwa

Chris Martin mengakuinya: Not everybody likes to hear me sing.

Pengakuan itu muncul dalam episode Mata Najwa Exclusive Interview with Chris Martin of Coldplay. Secara spesifik pun dikutip ulang oleh Najwa Shihab dalam narasi epilognya.

Kalimat itu bukan basa-basi busuk demi kelihatan rendah hati di depan jurnalis. Chris sadar, Coldplay adalah band yang kebesarannya tidak cukup menampung pemuasan semua orang.  

Coldplay masih berdiri sebagai band terbesar saat ini. Total album terjual kisaran 80 juta sampai 100 juta kopi. Mereka adalah grup band yang paling banyak didengarkan di Spotify. Tidak ada pula yang mendekati angka penjualan konsernya—dan kita mengalaminya sendiri di Indonesia. Bila ukurannya rengkuhan komersial, Coldplay adalah ujung langit yang bisa disentuh imajinasi setiap anak band di dunia.

Namun, beberapa pihak memilih tak terkesan.

Mengapa menolak Coldplay?

The Guardian pernah menyebut Coldplay sebagai band membosankan. The New Yorker pun menerbitkan sebuah artikel berjudul Why I Don't Like Coldplay, disusul sejumlah kritikus dan blogger. Di Indonesia sendiri, euforia menyambut kedatangan Coldplay sempat ramai diinterupsi dengan twit-twit dari orang-orang yang memamerkan selera anti-Coldplay-nya.

Apakah karena lirik-lirik Coldplay tidak menawarkan narasi yang kohesif, sehingga hanya berwujud gado-gado emosi—seringkali, toxic positivity—yang abstrak dan nyaris tak terbaca?

Apakah karena mereka mendadak merilis “A Sky Full of Star”—yang memang mirip “We Found Love”-nya Rihanna—dan “Something Just Like This” di puncak laku-lakunya musik EDM?

Apakah gerak-gerik panggung Chris yang janggal dan (kadang) kelihatan canggung—ditambah kostum warna-warni itu?

Mari kita langsung ke argumen terfavorit: Coldplay terlalu komersial.

Kritikus sering membelah diskografi Coldplay menjadi era lama dan era baru. Era lama mencakup tiga album pertama—Parachutes (2000), A Rush of Blood to the Head (2002), dan X&Y (2005). Ketiganya masih kental alternative rock, dan memang terdengar paling tidak berusaha menarik sebanyak mungkin pendengar. Musiknya lebih melankolis, kontemplatif, serta masih cocok untuk anglofilia.

Ini berubah sejak album Viva La Vida or Death and All His Friends (2008), lalu disundul Mylo Xyloto (2011). Materi mereka kian mengejar sound yang ingar bingar, diproyeksikan untuk dimainkan di stadion—yang berarti untuk menjual tiket sebanyak-banyaknya.

Dalam amatan genre, era baru Coldplay menempelkan elemen-elemen yang sedang digandrungi di masanya. Artinya, Coldplay terus menyesuaikan diri dengan perkembangan musik. Tapi sebagian orang memilih perspektif negatif: latah pada tren. Kuartet itu dinilai terobsesi dengan kesuksesan dan senantiasa main aman.

Ini termasuk melibatkan angka-angka. Mereka memilih artis dengan pengikut media sosial dan pendengar terbanyak. Ramai EDM? Ajak The Chainsmokers. Ramai K-pop? Ajak BTS. Keputusan ini mudah dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan pemasaran dibanding kebutuhan artistik.

Apa yang Cerdas, Apa yang Menarik

Kilas balik awal 2000-an. Ketika band-band britpop seperti Oasis, Blur, The Verve, Suede mulai menurun, muncul generasi baru musisi Inggris yang mengecilkan volume gitar, memperkenalkan piano, dan bicara lebih banyak tentang cinta. Keane, Travis, dan Coldplay muncul di puncak tangga lagu.

Dari semuanya, hanya Coldplay yang sampai detik ini masih mampu menjangkau level teratas musik pop. Boleh jadi, memang karena kesediaan mereka dituding “komersial”. Gustavo Iglesias, jurnalis dari Radio 3 asal Spanyol menganalisis evolusi mereka "cukup jujur, mereka tidak pernah mencoba menjadi kelompok yang artsy atau canggih."

Pasalnya, yang terpenting, lagu-lagu Coldplay diasah dan direalisasikan dengan baik. Fleksibilitas mereka terhadap genre musik membuat lagu-lagunya terdengar universal. Sulit percaya bila para pencela Coldplay tak pernah tersentuh lagu-lagunya. 

Kendati beberapa hits memang menawarkan melodi sakarin dan monoton—“Hymn for The Weekend” atau “Something Just Like This” misalnya—tak sedikit nomor-nomor yang mahal kualitas melodinya, seperti “The Scientist”, “Don’t Panic”, atau di era baru ada “Magic” dan “Everglow”. Belum lagi "Yellow" masih jadi contoh lagu yang sering jadi pakem anak-anak muda membuat lagu cinta pertamanya dengan gitar.

Karya-karya itu memungkinkan Coldplay terus melambung. Sebab, mereka melayani emosi pendengar yang beragam. Mereka menambang apa yang orang lain anggap klise dan basi, untuk mencapai keseimbangan antara apa yang cerdas dan apa yang masih bisa menarik massa.

Bukan tipikal rockstar

Selain aspek musikalitas, faktor pembeda juga melekat pada sosok Chris Martin sendiri sebagai wajah Coldplay—sering dibandingkan dengan relasi Adam Levine dan Maroon 5 lewat sindiran one-man band.

Chris memang berjarak dari persona bintang rock yang stereotipikal (tapi dulu menjual). Mungkin ia terlalu lembut. Mungkin terlalu enteng membuka diri, mengekspresikan emosi, dan perasaannya. Emoji favoritnya saja emoji hati.

Chris juga tidak glamor dan eksentrik. Jejak rekam keartisannya menunjukan Chris bukan seniman arogan yang doyan menjatuhkan musisi lain sambil membanggakan kelakuan buruknya sendiri. Ia lebih memilih mengemas dorongan subversifnya secara rapi dan santun dalam kampanye-kampanye kesetaraan atau konsep tur ramah lingkungan.  

Ingat, ini era ketika kultur musik mulai terasa lebih akrab dengan orang normal daripada bintang rock. Kian jarang bintang  baru membawa etos gaya hidup rock & roll ugal-ugalan. Yang bertahan hanya mereka dari masa lalu.

Lanre Bakare dari The Guardian memaparkan, “Chris Martin adalah bintang pop jenis baru. Tidak keren, tapi mampu terhubung pada tingkat emosional banyak orang, dan orang-orang itu dapat memahaminya. Chris Martin adalah seorang kutu buku yang tumbuh sebagai seorang Kristen evangelis. Dan itu membuka jalan bagi musisi dengan profil serupa, seperti Ed Sheeran dan Lewis Capaldi.”

Pada wawancara dalam episode Mata Najwa Exclusive Interview with Chris Martin of Coldplay,  jawaban-jawaban Chris nyaris selalu menggirangkan pendengarnya. Ia menyapa Najwa Shihab lebih dulu, banyak melempar senyum, dan menyahuti pertanyaan dengan kata-kata yang membuat tersipu,  seperti menimpali “When were you the happiest?” dengan “right now

Dalam sesi pertanyaan cepat (quick fireside questions), hanya ada dua pertanyaan dari Najwa Shihab yang tidak terjawab secara memuaskan. Dua pertanyaan itu mungkin dihindarinya sebagai cara berkelit dari menyatakan sesuatu yang berpotensi menyinggung sebagian penggemarnya: 1) Apa klub sepakbola favoritmu?—di Inggris, fanatismenya tak main-main, 2) Apa hal yang membuatmu kesal? 

Perbincangan dengan Chris Martin terdengar seperti musik Coldplay. Membuat kita merasa dirinya benar-benar peduli dengan penggemar. Yang diinginkannya hanya agar penontonnya bersenang-senang, pulang bersama bunga-bunga dalam hati.

Catatan: Penulis belum dapat tiket.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER