Belakangan ini media sosial X (Twitter) tengah diramaikan dengan istilah witch hunt. Istilah tersebut muncul bersamaan dengan cancel culture terhadap brand atau influencer yang mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming saat pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Lantas, apa itu witch hunt?
Witch hunt adalah sebuah istilah yang merujuk pada perburuan atau penuntutan terhadap orang-orang yang dianggap bersalah tanpa bukti yang jelas.
Istilah ini awalnya muncul dari praktik pengadilan yang brutal pada masa lalu, di mana orang-orang terutama perempuan dituduh sebagai penyihir dan diadili secara tidak adil.
Dalam konteks sosial sekarang, terutama di media sosial, istilah ini mengalami transformasi. Witch hunt sering digunakan untuk menggambarkan situasi di mana individu menjadi target kritik atau serangan publik secara bersamaan yang seringkali berdasarkan opini atau tuduhan yang tidak berdasar.
Perkembangan istilah witch hunt di media sosial dipicu oleh fenomena cancel culture. Cancel culture adalah sebuah proses sosial di mana individu atau kelompok mengecam dan menarik dukungan terhadap seseorang karena pandangan atau tindakan mereka yang dianggap tidak tepat oleh publik.
Dalam beberapa kasus, witch hunting dapat menjadi bagian dari cancel culture. Seseorang dapat menjadi sasaran kritik massal dan mencemarkan reputasi mereka, tanpa adanya ruang untuk pembelaan atau pengakuan atas konteks yang lebih luas.
Sejarah Perburuan Penyihir di Dunia
Asal-usul istilah witch hunt dapat ditelusuri kembali ke Eropa pada abad pertengahan, di mana tuduhan terhadap penyihir menjadi hal yang umum. Banyak orang, terutama perempuan, dituduh melakukan praktik sihir dan berakhir di tiang gantung.
Situasi ini mencerminkan ketakutan masyarakat terhadap hal-hal yang tidak mereka pahami, yang kerap kali dikaitkan dengan kekuatan dan pengaruh perempuan.
Salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah witch hunt adalah kasus Salem di Amerika. Pada akhir abad ke-17, masyarakat Salem mengalami histeria massal ketika sejumlah perempuan muda menuduh perempuan lain melakukan praktik sihir.
Dalam waktu singkat, lebih dari seratus orang dituduh, dan belasan di antaranya dihukum mati.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana ketidakpahaman, rasa takut, dan massa dapat saling mempengaruhi, menciptakan penuntutan yang tidak rasional terhadap individu yang dianggap berbeda.
Seiring berjalannya waktu, pemahaman mengenai witch hunt berkembang. Masyarakat kini mulai menyadari bahwa banyak tuduhan tersebut tidak berdasar dan seringkali dipicu oleh kepentingan politik atau sosial.
Dengan menghapus stigma negatif di balik istilah ini, para peneliti sejarah mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap tuduhan yang mungkin timbul dalam konteks yang lebih modern.
Contoh Witch Hunt di Media Sosial
Contoh aplikasi istilah ini pada figur publik dapat dilihat dalam beberapa kasus di mana influencer dan tokoh terkenal menjadi target kritik di media sosial.
Misalnya, ketika seorang influencer membuat pernyataan yang kontroversial, banyak orang akan mengambil kesempatan untuk menghakimi dan menyerang individu tersebut.
Hal ini secara tidak langsung menciptakan suasana ketakutan dan menjadikan individu tersebut sebagai "penyihir" yang harus dihukum.
Terbaru, netizen Indonesia tengah melakukan cancel culture terhadap pendukung pasangan calon nomor urut 2 Pilpres 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming.
Para influencer ini berhasil memenangkan Prabowo-Gibran sehingga masyarakat menyalahkan mereka yang dianggap menjadi penyebab segala kekacauan yang terjadi karena kebijakan pemerintah Indonesia.
Namun, tidak semua reaksi bersifat negatif. Beberapa orang masih membela para influencer dengan dalih pemilihan umum (pemilu) sudah lewat sehingga tidak penting untuk mengungkit masalah tersebut.
Dalam hal ini, witch hunting menunjukkan adanya dua sisi. Satu sisi merupakan serangan tanpa henti, sementara sisi lain merupakan bentuk dukungan yang berupaya membela individu yang ditargetkan.
Implikasi Witch Hunt dalam Politik Modern
Di era politik modern, istilah witch hunt sering digunakan oleh tokoh politik untuk menggambarkan penilaian negatif yang mereka terima dari partai lawan atau publik.
Tokoh-tokoh seperti Donald Trump dan Boris Johnson menggunakan istilah ini untuk melindungi diri mereka dari kritik dan menyerang balik pihak-pihak yang menuduh mereka.
Mereka menganggap dirinya sebagai korban sistem yang tidak adil dan merasakan tekanan dari publik yang menginginkan pertanggungjawaban.
Penggunaan istilah witch hunt oleh tokoh politik seringkali memicu perdebatan tentang legitimasi penuntutan tersebut. Dalam konteks Trump, gencarnya penggunaan istilah ini dilakukan saat dia menghadapi berbagai kasus hukum.
Dalam beberapa kesempatan, dia menyebut penyelidikan yang dilakukan terhadapnya sebagai witch hunt. Semua tuduhan yang dialamatkan kepada Donald Trump adalah hasil dari politik yang tidak sehat.
Demikian pula, Boris Johnson saat menghadapi tekanan politik akibat skandal partygate, juga mengekspresikan pandangannya dengan menyebut penyelidikan terhadap dirinya sebagai witch hunt.
Perbandingan ini menekankan bagaimana para tokoh populis seringkali menggunakan istilah sebagai cara untuk menarik simpati dan dukungan publik, meski realitas tindakannya tidak sejalan dengan apa yang mereka klaim.
Dampak dari witch hunt ini dapat terlihat jelas, baik tergantung pada cara pandang masyarakat maupun prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Ketika publik diprovokasi untuk percaya bahwa mereka adalah bagian dari keadilan, individu yang menghadapi witch hunt seringkali tidak mendapatkan kesempatan untuk membela diri dengan fair.
Hal ini sangat krusial untuk dipertimbangkan, karena reputasi dan karier politik mereka bisa terpengaruh oleh serangan yang bersifat massal dan tidak memiliki bukti yang kuat.
Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk memahami perbedaan antara kritik yang konstruktif dan witch hunt yang merugikan.
Sementara kritik dapat menjadi bagian penting dari diskusi dalam masyarakat, witch hunt menciptakan lingkungan di mana orang merasa terancam dan tidak bebas berekspresi.
Kesadaran atas dinamika ini menjadi penting untuk mendorong diskusi publik yang lebih sehat dan inklusif di era digital saat ini.