Perdamaian dunia kembali berada di ujung tanduk setelah serangkaian serangan udara Amerika Serikat ke tiga lokasi yang diyakini menjadi fasilitas pengembangan energi nuklir Iran, Sabtu (21/6/2025). Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, dalam pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB menyampaikan peringatan keras soal potensi runtuhnya tatanan global nonproliferasi senjata nuklir, sistem yang selama lebih dari setengah abad menjadi pilar keamanan internasional.
"Rezim nonproliferasi nuklir yang menjadi penopang keamanan internasional selama lebih dari setengah abad kini berada di ujung tanduk. Peristiwa-peristiwa dramatis di Iran menjadi kian serius dengan rentetan pengeboman yang terjadi tadi malam dan potensi meluasnya konflik," tegas Grossi, Minggu (22/6/2025).
Serangan AS, yang diklaim sebagai tindakan perlindungan terhadap Israel, dipimpin langsung oleh Presiden Donald Trump. Aksi tersebut memicu respons keras dari komunitas internasional yang menilai langkah itu sebagai bentuk arogansi unilateral yang justru memperkeruh tensi kawasan.
Grossi menambahkan bahwa IAEA belum dapat menilai seluruh kerusakan, terutama yang berada di bawah tanah. Namun, ia mengonfirmasi bahwa situs Fordow, salah satu fasilitas utama pengayaan uranium Iran, mengalami kerusakan struktural akibat penggunaan amunisi penembus bunker oleh militer AS.
"Terdapat kerusakan pada struktur bangunan, tetapi tidak ada kebocoran zat radioaktif. Beberapa kawah akibat ledakan terlihat di situs Fordow," ujarnya.
Grossi juga melaporkan bahwa di situs nuklir Isfahan, sejumlah bangunan tambahan terkena rudal jelajah yang ditembakkan oleh AS. Bangunan-bangunan tersebut terkait dengan proses konversi uranium. Sementara itu, pintu-pintu terowongan tempat penyimpanan material nuklir juga mengalami kerusakan.
"Di situs pengayaan Natanz, Fasilitas Pengayaan Bahan Bakar kembali menjadi sasaran. AS mengonfirmasi bahwa mereka menggunakan amunisi penembus bunker," tambahnya.
Kendati demikian, Iran telah melaporkan bahwa tidak terjadi peningkatan radiasi di sekitar tiga lokasi yang diserang, dan IAEA belum mendeteksi kebocoran zat radioaktif yang berdampak lintas batas.
Dalam pernyataannya, Grossi menekankan bahwa IAEA secara konsisten menentang serangan bersenjata terhadap fasilitas nuklir.
"Serangan bersenjata terhadap fasilitas nuklir tidak boleh dilakukan dan dapat mengakibatkan kebocoran radioaktif dengan dampak yang serius, baik di dalam maupun di luar batas negara yang diserang."
Ia mengimbau seluruh pihak untuk menahan diri dan segera menghidupkan kembali jalur diplomatik.
"Kita masih memiliki peluang untuk kembali ke jalur dialog dan diplomasi. Jika jendela peluang ini tertutup, kekerasan dan kehancuran dapat mencapai tingkat yang tak terbayangkan, dan rezim nonproliferasi global seperti yang kita kenal saat ini bisa runtuh dan hancur."
Grossi mengingatkan bahwa perdamaian di kawasan Timur Tengah sangat dibutuhkan, terutama oleh Iran dan Israel yang selama ini hidup dalam ketegangan. Ia menegaskan bahwa upaya-upaya diplomasi belum sepenuhnya hilang dari tangan para pemimpin dunia.
"Jangan tutup peluang diplomasi. Jangan biarkan rezim nonproliferasi kandas. Terlepas dari posisi dan pandangan masing-masing individu, satu hal yang pasti, dan ini adalah kebenaran yang sederhana: hidup kita tidak akan menjadi lebih aman jika ada lebih banyak senjata nuklir di lebih banyak negara di seluruh dunia," pungkas Grossi.
Apa Itu Perjanjian Proliferasi Nuklir?
Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty/NPT) terus menjadi fondasi utama dalam menjaga keamanan internasional dari ancaman penyebaran senjata nuklir. Perjanjian ini dibuka untuk ditandatangani pada 1 Juli 1968 dan mulai berlaku secara resmi pada 5 Maret 1970. Saat ini, lebih dari 190 negara telah menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, menjadikannya salah satu perjanjian multilateral paling banyak diratifikasi dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
NPT bertumpu pada tiga pilar utama, yakni pencegahan proliferasi senjata nuklir, perlucutan senjata, dan hak atas penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Pilar pertama, non-proliferasi, mengatur bahwa negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir tidak diperbolehkan mengembangkan, memperoleh, atau menerima senjata nuklir dari negara mana pun. Sementara itu, negara-negara yang diakui memiliki senjata nuklir berdasarkan status sebelum 1 Januari 1967 – yaitu Amerika Serikat, Rusia (sebagai penerus Uni Soviet), Inggris, Prancis, dan Tiongkok – tidak diperbolehkan membantu negara lain memperoleh atau memproduksi senjata nuklir.
Pilar kedua, perlucutan senjata, memuat komitmen semua negara pihak, terutama negara-negara pemilik senjata nuklir, untuk melakukan negosiasi menuju perlucutan senjata nuklir secara menyeluruh. Namun, pilar ini menjadi titik kritik paling tajam karena dinilai belum dijalankan secara konsisten oleh negara-negara bersenjata nuklir.
Pilar ketiga, hak atas penggunaan energi nuklir damai, memberikan hak kepada seluruh negara anggota untuk mengembangkan dan menggunakan teknologi nuklir untuk keperluan sipil, seperti pembangkit listrik, riset, atau medis. Namun, aktivitas ini wajib berada di bawah sistem verifikasi dan pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) guna mencegah penyalahgunaan untuk tujuan militer.
Secara substansi hukum, NPT mencakup pasal-pasal penting yang mengatur prinsip-prinsip ini. Pasal I dan II membatasi transfer dan akuisisi senjata nuklir. Pasal III menetapkan kewajiban pengamanan oleh IAEA. Pasal IV menjamin akses atas teknologi nuklir damai. Sementara Pasal VI menegaskan kewajiban seluruh negara pihak untuk menegosiasikan perlucutan senjata nuklir dalam jangka panjang.
Kendati menjadi instrumen hukum internasional yang krusial, NPT menghadapi tantangan serius. Sejumlah negara seperti India, Pakistan, dan Israel hingga kini tidak menandatangani perjanjian ini, namun diketahui memiliki persenjataan nuklir. Korea Utara, yang sebelumnya menjadi pihak dalam NPT, menarik diri pada 2003 dan sejak itu mengembangkan program senjata nuklirnya secara terbuka.
Selain itu, beberapa negara anggota NPT mengkritik ketimpangan struktural dalam perjanjian ini, karena menciptakan dua kelas negara: pemilik senjata nuklir dan negara yang dilarang memilikinya. Kritik ini terutama ditujukan kepada lima negara pemilik senjata nuklir yang dinilai belum menunjukkan komitmen serius untuk melaksanakan perlucutan senjata sebagaimana diamanatkan Pasal VI.
Meski demikian, banyak kalangan menilai bahwa tanpa NPT, penyebaran senjata nuklir global akan lebih cepat dan tidak terkendali. NPT tetap menjadi satu-satunya kerangka hukum internasional yang secara formal membatasi proliferasi senjata nuklir, sekaligus membuka ruang kerja sama nuklir sipil di bawah pengawasan internasional.
PBB dan IAEA terus mendorong negara-negara anggota untuk memperkuat implementasi perjanjian ini, menyadari bahwa masa depan stabilitas global sangat bergantung pada komitmen terhadap prinsip-prinsip NPT.