Istilah "generasi sandwich" mungkin sudah pernah kita dengar sejak beberapa tahun belakangan ini. Generasi sandwich sendiri memiliki arti seorang individu yang memiliki peran ganda dalam urusan keuangan, karena selain harus membiayai diri sendiri mereka juga harus membiayai kehidupan orang tua dan saudara, hingga anaknya.
Diibaratkan seperti lapisan daging dan sayuran yang terhimpit oleh dua roti seperti sandwich, gen z kini mulai terancam bisa menjadi generasi sandwich selanjutnya. Dua penyebab utama dari adanya fenomena seperti ini adalah kurangnya kemampuan dari generasi sebelumnya dalam mengelola keuangan, seperti tidak adanya dana pensiun. Selain itu, bisa jadi generasi sebelumnya juga merupakan generasi sandwich, sehingga sulit untuk bisa lepas dari siklus ini.
Sampai saat ini, generasi sandwich sepertinya masih banyak dijumpai pada negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang dikenal memiliki nilai kekeluargaan yang sangat tinggi. Budaya keluarga besar, buktinya masih berkembang di Indonesia. Hal ini memungkinkan lansia atau saudara jauh juga bisa ikut tinggal bersama satu keluarga. Dimana tentu, peran generasi sandwich harus bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka juga.
Gen z yang notabenenya baru merintis karir dan keuangannya belum settle, saat ini banyak dari mereka yang harus menjadi generasi sandwich. Seakan mereka harus bekerja demi membiayai pendidikan kakak atau adiknya dan membiayai perawatan orang tuanya yang sakit. Sehingga, belum bisa sampai merasakan uang hasil kerja kerasnya sendiri, uang tersebut sudah habis dibagi untuk membiayai kehidupan keluarganya.
Bagi sebagian orang, mungkin fenomena ini dianggap seperti hal biasa sebagai bentuk bakti terhadap keluarga. Padahal kenyataannya, orang yang terjebak dalam situasi ini dapat merasa tertekan, baik secara fisik atau emosional. Mulai dari burnout atau stres, hingga bisa mengalami keterlambatan dalam mencapai tujuan finansialnya, karena tidak bisa menabung.
Dibalik beban berat menjadi generasi sandwich, gen z memiliki cara cerdik yang bisa dilakukan untuk meringankan masalah ini. Di era digital yang segalanya hampir bisa didapatkan dengan mudah berkat teknologi, gen z yang dikenal kreatif dan tech savvy sepertinya mulai bisa menggunakan cara baru dalam menyiasati tuntutannya sebagai generasi sandwich. Mereka biasanya menjadikan keahlian dan skill uniknya sebagai pekerjaan tambahan, seperti berjualan barang atau jasa secara offline maupun online, menjadi content creator, freelancer, dan lain sebagainya.
Meskipun penuh tantangan, gen z yang menjadi generasi sandwich memiliki kesempatan lain untuk terus belajar dan berkembang. Disinilah, secara tidak langsung generasi sandwich dituntut untuk memiliki literasi keuangan yang baik agar bisa mengatur keuangannya. Beberapa alternatif yang bisa dilakukan diantaranya dengan mengikutsertakan diri sendiri dan anggota keluarga, terutama orang tua dalam asuransi kesehatan. Selain itu, memiliki tabungan rencana untuk masa kini dan masa depan, mengurangi gaya hidup konsumtif, dan berinvestasi juga dapat mulai dilakukan sejak dini.
Tetapi dibalik itu semua, satu hal yang lebih penting dilakukan adalah upaya yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai generasi sandwich pada generasi selanjutnya. Hal ini perlu dilakukan, agar di kemudian hari saat gen z sudah menua tidak akan merepotkan anak-anaknya, terutama secara finansial. Dengan upaya pengelolaan uang yang tepat, diharapkan generasi sandwich bisa mencapai tujuan keuangan jangka panjang mereka yang lebih baik.
Siap bertemu Najwa Shihab, Nicholas Saputra, dan Dee Lestari? Jangan lewatkan #GenerasiCampusRoadshow di Jogja!
Di #GenerasiCampus Roadshow, kamu juga bisa ikutan workshop Kelas Tanpa Guru buat ngobrol dan belajar jurnalistik bareng Najwa Shihab, seni peran bareng Nicholas Saputra, dan storytelling bareng Dee Lestari. Daftar sekarang dan jadi bagian dari generasi yang menginspirasi!