Mantan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin, kembali menjalani pemeriksaan hukum terkait dugaan korupsi pembangunan Pasar Cinde Palembang. Diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan selama 12 jam, Senin (21/4/2025), Alex keluar dari ruang pemeriksaan pukul 22.30 WIB.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Alex menegaskan bahwa pembangunan Pasar Cinde kala itu telah melewati kajian panjang.
“Saat itu kita sedang hendak menggelar event besar berupa SEA Games, jadi kita usulkan Pasar Cinde agar dibangun dan dikembangkan dengan berkoordinasi berbagai pihak, dari kementerian hingga tim khusus sebanyak 30 orang dari pemprov serta 41 orang dari pemerintah kota saat itu," kata Alex dikutip Antara.
Menurutnya, kondisi Pasar Cinde sebelum dibongkar sudah memprihatinkan. Bangunan tersebut kumuh, kotor, banyak retakan, dan dinilai berbahaya bila terjadi gempa. Hasil kajian bahkan menunjukkan Pasar Cinde berstatus bangunan cagar budaya berdasarkan SK Pemerintah Kota Palembang, namun secara teknis dinilai tidak layak huni.
"Hal tersebut sudah melewati kajian dan sudah matang, melalui BOT Palembang akan mempunyai pasar baru yang rapi, bersih, dan layak huni nyaman tanpa merusak cagar budaya yang sudah lama ada," jelasnya.
Alex juga mengingatkan capaian pembangunan selama masa pemerintahannya, mulai dari infrastruktur jalan, arena olahraga, LRT, jalan tol, jembatan, hingga pusat perbelanjaan.
"Kalau mengandalkan APBD, dari mana uangnya? Makanya kita undang investor. Kita buat event kelas nasional sampai internasional agar dapat mencapai kemajuan Sumsel yang kita harapkan bersama. Ini sebuah kebanggaan, belum ada yang seperti ini," ujar Alex.
Namun, saat ditanya tentang mangkraknya proyek Pasar Cinde, Alex memilih irit komentar. "Wah kalau itu saya tidak berkompeten untuk menjawab," katanya singkat sebelum menaiki mobil tahanan Kejaksaan untuk kembali ke Rutan Pakjo, tempat ia menjalani sisa masa pidananya.
Dalam pemeriksaan kali ini, Alex dicecar sekitar 30 pertanyaan oleh penyidik. Selain dirinya, dua nama lain yang juga diperiksa adalah Edi Hermanto—narapidana korupsi dana hibah dan proyek Masjid Sriwijaya yang pernah menjadi Ketua Panitia Badan Mitra Kerja Sama Pembangunan Pemprov Sumsel 2014–2015—serta DW, Manajer Proyek PT BS pada tahun 2018. "Ketiganya kita periksa dengan 30 pertanyaan terkait proyek Pasar Cinde. Pemeriksaan ini untuk melengkapi alat bukti serta mengacu atau akan mengerucut pada penetapan tersangka," ujar Kasipenkum Kejati Sumsel, Vani Eka Yulia Sari.
Kasus dugaan korupsi Pasar Cinde mulai diselidiki sejak 2023 dan dilanjutkan kembali pada 2025. Sejumlah saksi telah diperiksa, antara lain mantan Wali Kota Palembang Harnojoyo, mantan Kadis Perkim Sumsel Basyaruddin, dan Edison—mantan Kepala BPN Kota Palembang yang kini menjabat Bupati Muara Enim. Penyidik juga telah menggeledah berbagai kantor, termasuk Dinas Perkim, Pemkot Palembang, Pemprov Sumsel, Bapenda, BPKAD, Gedung Arsip, hingga kantor pemborong.
Kasus Pasar Cinde menambah daftar perkara hukum yang menjerat mantan Gubernur Sumatera Selatan tersebut.
Korupsi Dana Hibah Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya
Pada September 2021, Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya di Palembang. Kasus ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp130 miliar. Pada Mei 2022, Pengadilan Tipikor Palembang menjatuhkan vonis 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar kepada Alex.
Namun, hukuman tersebut kemudian dikurangi menjadi 9 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Palembang. Upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan Alex ditolak oleh Mahkamah Agung pada Mei 2024, sehingga ia tetap menjalani hukuman 9 tahun penjara.
Korupsi Pembelian Gas oleh PDPDE Sumsel
Alex Noerdin juga terlibat dalam kasus korupsi terkait pembelian gas oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan. Kasus ini menyebabkan kerugian negara sekitar 30 juta dolar AS. Ia ditetapkan sebagai tersangka pada September 2021, bersamaan dengan kasus Masjid Raya Sriwijaya. Vonis terhadap Alex dalam kasus ini dijatuhkan bersamaan dengan kasus Masjid Raya Sriwijaya, dengan hukuman 12 tahun penjara yang kemudian dikurangi menjadi 9 tahun.