Dari Bumi Manusia ke Kabinet Oke-Gas, 100 Tahun Pramoedya vs 100 Hari Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran

27 Feb 2025 14:21 WIB

thumbnail-article

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia. Sumber: Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer

Penulis: Maria Goreti Ana Kaka

Editor: Maria Goreti Ana Kaka

Tahun ini menandai seabad kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang maestro sastra Indonesia yang bukan hanya seorang penulis, tetapi juga saksi sejarah dan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Pram lahir di Blora pada 6 Februari 1925 dengan nama lengkap Pramoedya Ananta Mastoer. Namun, ia sengaja menanggalkan awalan “Mas” dari namanya. Baginya, gelar itu terlalu aristokratik dan tak mencerminkan dirinya. Sebagai anak sulung dari delapan bersaudara, Pram tumbuh di tengah keluarga yang mengajarkan dua hal sekaligus: pendidikan dari ayahnya yang seorang guru dan ketangguhan bertahan hidup dari ibunya yang berdagang nasi.

Pram hidup dalam tiga rezim berbeda. Mulai dari kolonialisme, Orde Lama, hingga Orde Baru. Pram paham benar tentang penguasa yang sering kali lebih tertarik melanggengkan kekuasaan daripada mengabdi pada rakyat. Pram memilih untuk menyuarakan perlawanan lewat tulisan. Karya-karyanya tak lahir dari ruang hampa, melainkan dari sejarah yang berdarah. Ia menulis "Perburuan" dan "Keluarga Gerilya" yang mengungkap getirnya revolusi kemerdekaan. Lalu, ia menyusun Tetralogi Buru: "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah", dan "Rumah Kaca", sebuah epos sejarah yang merangkum kesadaran nasionalisme dari sudut pandang manusia terjajah.

Tetralogi Buru bukan sekadar novel, tetapi cermin bagi bangsa. Melalui tokoh Minke, Pram menggambarkan bahwa kolonialisme tidak hanya ada dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam mentalitas budaya feodal yang mengakar, kekuasaan yang korup, dan elite yang mengkhianati rakyatnya. Sayangnya, menulis dengan jujur di negeri yang takut pada kejujuran adalah sebuah dosa besar. Pram tahu risikonya dan ia membayar lunas dengan hidupnya. Ia pernah dipenjara oleh kolonial Belanda karena dituduh berafiliasi dengan kelompok kiri. Namun, yang paling brutal adalah perlakuan rezim Orde Baru. Setelah 1965, tanpa pengadilan yang sah, Pram ditangkap, disiksa, dan diasingkan ke Pulau Buru. Ia kehilangan kebebasan, hak bersuara, bahkan hak sekadar memiliki pena dan kertas. Satu hal yang dilupakan para penguasa yang memenjarakannya adalah bahwa pikiran tak bisa dibungkam. Di tengah kerja paksa, Pram tetap menulis dengan ingatan, dengan suara, dengan apa pun yang tersisa dalam dirinya.

Karya-karyanya akhirnya sampai ke dunia. Pram menjadi salah satu penulis Indonesia yang paling dihormati di tingkat internasional. Ia meraih Ramon Magsaysay Award (1995) dan berkali-kali masuk dalam nominasi Nobel Sastra. Akademisi, kritikus, dan sastrawan dunia mengakui bobot karyanya yang membawa suara kaum tertindas, memperjuangkan kemanusiaan, dan menolak tunduk pada tirani. Sampai akhir hayatnya pada 30 April 2006, ia masih menjadi simbol perlawanan terhadap rezim yang takut pada kebenaran.

100 Hari Pertama Kabinet Oke-Gas

Satu abad setelah kelahiran Pram, kita masih dihadapkan pada politik oligarki, pengabaian terhadap kepentingan rakyat, dan kebijakan yang serampangan. Inilah potret kontradiksi antara Pram yang selalu berpihak kepada rakyat dan rezim yang lebih sibuk mengurus kepentingan elite. Kita sedang menyaksikan ironi sejarah. Di saat kita merayakan 100 tahun Pram, kita juga menyaksikan 100 hari pertama sebuah pemerintahan yang sepenuhnya bertentangan dengan gagasan yang diperjuangkannya. Seratus hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran lebih banyak menghadirkan kekacauan ketimbang solusi. Alih-alih membuktikan diri sebagai pemerintahan yang bekerja untuk rakyat, mereka justru menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat dijalankan dengan sembarangan, serampangan, dan minim perhitungan matang.

Program makan bergizi gratis yang diglorifikasi sebagai solusi stunting, justru tidak memiliki landasan implementasi yang jelas. Skema pendanaannya buram, distribusinya berantakan, dan lebih tampak sebagai proyek mercusuar ketimbang kebijakan berbasis riset dan data. Sementara itu, anggaran pendidikan malah dipangkas dan mengabaikan fakta bahwa akses pendidikan yang berkualitas adalah kunci utama membangun generasi unggul. Ironisnya, pemotongan anggaran ini terjadi di tengah maraknya pengangkatan staf khusus yang tidak kompatibel di bidangnya demi loyalitas politik. Pelbagai kebijakan dan program ngawur tersebut menjadikan rezim ini serupa kabinet dagang yang berusaha menjadikan kebodohan rakyat sebagai alat kontrol untuk menjaga harta, takhta, dan kuasa.

Tak heran jika perlawanan muncul dari berbagai lini. Mahasiswa, buruh, akademisi, dan masyarakat sipil bergerak menyuarakan kritik, baik melalui demonstrasi di jalanan, diskusi di beragam forum publik, maupun melalui media sosial dalam berbagai format konten. Gelombang protes ini menunjukkan bahwa rakyat tidak tinggal diam menghadapi kebijakan yang ngawur. Namun, alih-alih menunjukkan ikhtikad baik untuk mendengar aspirasi publik, pemerintah justru semakin arogan dan antikritik. Sikap defensif dan ngeyel menjadi ciri khas pemerintahan ini dalam menghadapi kritik. Para menterinya dengan enteng mempertanyakan nasionalisme warga yang berani bersuara. Puncaknya, Prabowo sendiri melontarkan kata “ndasmu” sebagai respons terhadap protes publik, sebuah ekspresi kasar yang mencerminkan betapa minimnya empati dan kebijaksanaan pemimpin negeri ini. Seharusnya, 100 hari pertama menjadi ajang pembuktian untuk membangun kepercayaan publik, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: ketidakcakapan, ketidaksiapan, dan kebijakan yang lebih berpihak pada elite ketimbang rakyat jelata.

Pemerintahan Prabowo-Gibran bukan hanya gagal memberikan kebijakan yang berpihak pada rakyat, tetapi juga menunjukkan ketidakmampuan untuk berdialog dengan sehat. Retorika kosong, ancaman terselubung, dan upaya delegitimasi kritik menjadi respons utama ketika dihadapkan pada protes publik. Seakan-akan yang berhak bicara hanyalah mereka yang ada di lingkaran kekuasaan, sementara rakyat harus diam dan menerima begitu saja.

Seratus hari pertama sudah cukup membuktikan bahwa pemerintahan ini tidak bisa diharapkan untuk membawa perubahan yang lebih baik. Rezim ini bukan hanya gagal memberikan harapan, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka lebih tertarik menjalankan politik "kalau oke di kalangan elite, gas saja dulu" tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi rakyat. Namun, sejarah mengajarkan bahwa rakyat tidak pernah benar-benar diam. Setiap rezim yang terlalu percaya diri dengan kuasanya, yang menganggap kritik sebagai ancaman alih-alih sebagai bagian dari demokrasi, pada akhirnya akan berhadapan dengan kenyataan bahwa kesabaran rakyat ada batasnya. Gerakan mahasiswa, buruh, akademisi, dan masyarakat sipil yang kini bergolak adalah pertanda bahwa publik tidak mau tunduk pada sistem yang membajak demokrasi demi kepentingan politik dinasti dan oligarki.

Seperti kata Pram, sejarah adalah pergerakan, dan kita semua punya peran di dalamnya. Maka, tak ada pilihan selain terus melawan. Karena diam berarti menyerah pada ketidakadilan.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER