1 Agustus 2022 15:08 WIB
Penulis: Berlian Rahmy Lidia
Editor: Akbar Wijaya
Pekerja migran tanpa dokumen asal Indonesia mengalami penyiksaan saat menunggu proses deportasi di Depo Tahanan Imigrasi (DTI) atau Rumah Detensi Malaysia.
Komisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) memperkirakan sedikitnya 18 imigran asal Indonesia meninggal dunia di periode Januari 2021 hingga Maret 2022.
Bagaimana bentuk perlakuan tak manusiawi dan penyiksaan mereka alami?
Penangkapan masif terhadap pekerja migran ilegal yang dilakukan aparat Malaysia membuat blok tahanan di lima DTI Sabah kelebihan kapasitas.
Blok tahanan yang hanya seluas 8 X 12 meter dihuni oleh 200 sampai 260 orang.
Para imigran tidur tanpa alas, selimut, bantal, apalagi kasur. Biasanya mereka hanya melapisi lantai yang kasar dengan kardus saat tidur.
Kondisi itu diperburuk dengan jumlah toilet yang tak memadai.
Di setiap DTI hanya ada satu toilet bersama dengan tiga lobang toilet yang sering kali mampat dan membuat kotoran manusia bertumpuk.
“Untuk BAB saja susah kadang kami gak BAB selama 2 minggu,” kata Mrs. Y, salah satu buruh migran penyintas Indonesia kepada Narasi.
Kualitas makanan, air minum, dan air bersih yang tersedia juga sangat jauh dari layak. Para buruh migran sering kali menerima porsi makanan tak memadai yang datang terlambat.
Misalnya, makanan datang dalam keadaan busuk, mentah, dan rasanya hambar. Belum lagi, piring sebagai alas makanan juga dilaporkan kotor, muncul bercak hitam, seperti tidak dicuci bersih.
Para tahanan juga mesti menghemat sebotol air minum untuk dikonsumsi selama dua hari.
Semua tahanan, tidak terkecuali wanita yang sedang hamil ataupun menyusui mendapatkan kualitas makanan yang sama. Tidak ada makanan tambahan ataupun suplemen yang diberikan.
Akses mendapatkan air bersih pun terbatas. Hanya di DTI Sandakan yang terdapat air mengalir selama 24 jam. Sisanya, para tahanan migran harus bersaing mendapatkan air bersih.
Menjadi hal yang biasa saat para tahanan harus mandi dalam kurun waktu 2-3 hari sekali. Sulitnya mengakses air bersih pun menimbulkan masalah higienitas tersendiri.
Seperti halnya, para wanita yang menstruasi jadi rentan terkena infeksi. Apalagi, setiap tahanan perempuan hanya mendapat dua pembalut saja ketika masuk ke tahanan imigrasi.
Pada 2020 Suardi dan sembilan tahanan migran Indonesia mencoba melarikan diri lantaran tidak kuat. Nahas Suardi tertangkap dan selanjutnya ia kerap dipukuli beramai-ramai oleh petugas.
Seorang teman satu blok menceritakan Suardi setiap pagi dibawa keluar blok dengan tangan diborgol. Petugas kemudian memukuli kaki dan tangan Suardi. Kerap kali juga menggunakan kayu, batu bata merah ataupun pipa besi.
Suardi mendapatkan perlakuan tersebut selama tiga hari berturut-turut. Pada hari kelima, Suhardi dikabarkan sakit. Ia dibawa ke rumah sakit, namun tidak pernah kembali lagi dan dinyatakan meninggal.
Jenazah Suardi dikirim pulang ke Indonesia beserta satu dokumen serah terima jenazah. Di sana tertulis, ‘Peneriman jenazah diminta untuk tidak menuntut jika terjadi sesuatu di kemudian hari’.
Selain itu, dokumen juga tak menyebutkan penyebab kematian Suardi. Anehnya, terdapat bubuhan tanda tangan Suardi pada dokumen tersebut.
Selain Suardi, terdapat kasus kematian Aris Bin Saung yang ditangkap beserta kedua anaknya, Khairil dan Asril. Aris sempat sakit sebelum akhirnya meninggal.
Para saksi mata mengatakan Aris sudah meninggal sejak ditahanan, namun petugas mengatakan Aris meninggal tiba di rumah Sakit.
Mirisnya, sepeninggal sang ayah Khairil dan Asril tetap ditempatkan di tahanan dewasa. Dengan kondisi makanan dan air yang sama. Tidak mendapatkan susu ataupun pakaian khusus anak-anak.
Para tahanan yang sakit acap kesulitan mendapatkan obat dan perawatan lantaran tidak ada fasilitas kesehatan di lima rumah detensi di Sabah.
“Kami disuruh tidak bisa sakit. Karena kalau sakit itu kami tidak bisa dipulangkan, kalau pas di swap nanti kalau tidak lulus, kami tidak bisa dikirim,” kata Mrs Y.
Para petugas biasanya hanya memberikan 1-2 butir Paracetamol apabila kondisi tahanan sudah semakin serius.
Ditambah lagi dengan adanya ‘bisnis’ jual beli obat-obatan umum dengan harga yang mahal. Contohnya saja, satu strip Paracetamol dijual dengan harga 50 RM atau sekitar Rp 167 ribu.
Petugas juga dirasa menyepelekan tahanan yang sakit. Seperti dalam kasus Aris, rekan satu bloknya mengaku bahwa Aris sudah tidak bernyawa sejak di blok setelah dilaporkan sakit berhari-hari.
Padahal, dengan kualitas rumah detensi seperti itu, banyak para imigran yang mengalami sakit maag, demam, beri-beri, diare dan yang paling banyak mengalami penyakit kulit, scabies.
“Penyakit paling banyak dijumpai, 90 persen lah ya, itu adalah skabies, yang gatalnya itu tidak henti-henti. Sampai ada yang borok nya sekujur tubuh, kita temukan semua itu. Di bayi, orang dewasa, orang tua, semuanya ada,” kata Abu Mufakir, koordinator KBMB.
KBMB mencatat sepanjang Maret 2021-Juni 2021 setidaknya ada 2.191 WNI yang dideportasi imbas dari penangkapan ini.
Jumlah pekerja migran ilegal yang ditahan memang menjadi bertumpuk-tumpuk lantaran faktor COVID-19, namun menurut Abu Mufakhir penahanan oleh pihak imigrasi Malaysia harusnya hanya proses administrasi menunggu deportasi, bukan pemenjaran.
Prosedur penangkapan pun diduga mengandung sejumlah celah seperti tidak dituliskan alasan penangkapan.
KOMENTAR
Latest Comment