Esai: Kematian Afif Maulana dan Pertanyaan Mengapa Polisi Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan Jadi Hal Lumrah?

3 Jul 2024 09:07 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi kesedihan Anggun Anggraini atas meninggalnya sang putra Afif Maulana

Penulis: Jay Akbar*

Editor: Akbar Wijaya

"Dalam negara hukum, keadilan adalah prinsip utama yang harus dipegang teguh. Tanpa keadilan, hukum akan kehilangan makna dan legitimasi di mata rakyat." (Soepomo)

Tidak ada duka yang lebih dalam selain duka seorang ibu yang kehilangan anaknya. Bagi seorang ibu, hilangnya nyawa seorang anak bukan sekadar angka atau berita; dia adalah pupusnya harapan dan cita-cita masa depan yang dirawat sejak dalam kandungan.

Pada 9 Juni 2024, Anggun Anggriani merasakan duka yang tak terperi ketika putranya, Afif Maulana, ditemukan tewas di bawah jembatan Sungai Batang Kuranji, Padang, dengan luka-luka tubuh yang mencurigakan. Itu hari Afif Maulana ditemukan tewas dengan kondisi yang mengundang tanda tanya pihak keluarga.

Awalnya pihak kepolisian menyebut kematian Afif disebabkan karena ia melompat dari jembatan, lalu berubah menjadi terpeleset dari jembatan, dan terakhir disebabkan karena patah tulang.

Keluarga Afif, terutama sang ayah, dengan tegas membantah klaim tersebut. Ia yakin-seyakinnya Afif tidak melompat apalagi terpeleset dari jembatan dan jatuh hingga patah tulang. Karena menurutnya tak ada tanda-tanda yang menguatkan hal itu di tubuh Afif.

Kejanggalan-Kejanggalan Polisi

Kematian Afif menimbulkan banyak tanda besar bukan semata karena perkara keterangan kepolisian terus berubah, namun juga karena sejumlah kejanggalan lain yang susul-menyusul.

Salah satu kejanggalan paling mencolok dalam kasus ini adalah tidak adanya rekaman CCTV yang bisa memperkuat klaim polisi. Meski Kapolda Sumatera Barat telah menjanjikan salinan hasil autopsi dan rekaman CCTV, hingga kini keluarga Afif belum menerima bukti tersebut. Ketiadaan rekaman CCTV menambah ketidakjelasan dan menciptakan kesan bahwa pihak kepolisian tidak transparan dalam menangani kasus ini.

Reaksi Polda Sumatera Barat terhadap penyebaran informasi kasus Afif juga menjadi sorotan. Alih-alih fokus mengusut tuntas penyebab kematian Afif, kepolisian malah berusaha mencari pihak yang memviralkan kasus ini. Langkah ini menimbulkan kesan bahwa mereka lebih peduli pada penanganan opini publik daripada menegakkan keadilan. Pengamat kepolisian mengkritik langkah ini sebagai reaksi yang tidak tepat dan menunjukkan sikap defensif kepolisian.

Keluarga Afif, terutama melalui LBH Padang, melaporkan menerima intimidasi dan tekanan setelah mempublikasikan kasus ini. Ada upaya untuk menghalangi proses autopsi dan meminta keluarga menandatangani surat tidak menuntut. Hingga kini, keluarga belum menerima hasil autopsi yang dijanjikan, yang menambah panjang daftar kejanggalan dalam penanganan kasus ini.

Kasus-Kasus Lainnya

Kematian Afif Maulana bukanlah kasus pertama yang menunjukkan betapa kejamnya kekerasan oleh personel kepolisian selaku aparat penegak hukum di Indonesia. Data dan laporan menunjukkan bahwa penyiksaan terhadap tahanan dan tersangka oleh polisi adalah praktik yang terkesan lumrah.

Menurut laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), sejak 2011 hingga 2019 ada 445 kasus penyiksaan dengan 693 korban. Kasus terbaru (2019-2020) mencatat 48 kasus dengan rincian 28 kasus di polres, 11 di polsek, dan 8 di polda. Sedangkan catatan Amenesty International sepanjang 2019-2024 mencatat ada 226 korban penyiksaan, dengan 75% pelaku dari Polri.

  1. Kasus Sarpan (Medan, 2021): Disiksa selama lima hari di Polsek Percut Sei Tuan untuk memaksa pengakuan. Pelaku adalah sembilan polisi yang mendapat sanksi internal ringan.

  2. Kasus Oki Kristodiawan (Purwokerto, 2023): Tewas setelah disiksa di Polresta Banyumas. Empat polisi didakwa dan dituntut 6-7 tahun penjara. Kekerasan dilakukan oleh sesama tahanan di bawah pengawasan polisi.

  3. Kasus Demo Reformasi Dikorupsi (Jakarta, 2019): Ratusan mahasiswa ditangkap dan mengalami penganiayaan. Ananda Badudu mengungkapkan bahwa mahasiswa dipukuli dan disetrum untuk memaksa pengakuan.

  4. Kasus Herman (Balikpapan, 2020): Tewas akibat penyiksaan oleh enam polisi yang kini menjadi tersangka. KontraS menyatakan penyiksaan sebagai masalah sistemik dalam Polri.

  5. Kasus FNS (Jakarta, 2022): Tahanan narkotika di Polres Metro Jakarta Selatan meninggal akibat dugaan penyiksaan. LBH mencatat bahwa 115 dari 388 tersangka narkotika mengalami penyiksaan pada 2011, meningkat pada 2021.

  6. Kasus Joko Dodi Kurniawan dan Rudi Efendi (Medan, 2020): Tewas di Polsek Sunggal dengan luka-luka akibat dugaan penyiksaan. Kasus serupa dilaporkan di Balikpapan dan Solok Selatan.

Impunitas Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan

Kekerasan yang dilakukan oleh polisi ini bukan hanya menunjukkan adanya masalah sistemik yang mendalam dalam tubuh Polri namun juga pertanyaan mengapa hal ini menjadi kondisi yang terkesan lumrah.

Dalam dokumen berjudul "Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan: Survey Penyiksaan di Tingkat Kepolisian Wilayah Jakarta dan Sekitarnya tahun 2008" oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ditemukan sejumlah faktor mengapa penyiksaan oleh polisi lumrah terjadi

1. Motif Penyiksaan: Polisi sering menggunakan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan cepat dari tersangka atau saksi. Tekanan untuk menyelesaikan kasus dengan cepat dan keterbatasan sumber daya menjadi alasan utama.

2. Kultur Institusional: Budaya kekerasan dalam institusi kepolisian sering kali diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini menciptakan lingkungan di mana penyiksaan dianggap sebagai metode yang diterima dan efektif.

3. Kurangnya Pengawasan dan Akuntabilitas: Minimnya pengawasan eksternal dan akuntabilitas dalam tubuh kepolisian memfasilitasi praktik penyiksaan. Kasus-kasus penyiksaan sering kali tidak dilaporkan atau tidak ditindaklanjuti dengan serius.

4. Teknik Interogasi yang Buruk: Kurangnya pelatihan dalam teknik interogasi yang etis dan efektif membuat beberapa petugas memilih metode penyiksaan untuk mendapatkan informasi.

5.  Impunitas: Di luar dari temuan itu, impunitas atau kekebalan hukum sering dianggap menjadi biang keladi mengapa penyiksaan oleh polisi terus terjadi. Pelaku penyiksaan jarang mendapat hukuman yang setimpal sesuai undang-undang. Sebagian besar hanya mendapat sanksi administratif seperti pemindahan tugas, penundaan kenaikan pangkat, atau yang paling berat dipecat. Hukuman yang ringan ini tidak memberikan efek jera, malah membiarkan praktik penyiksaan berlanjut.

Ujian Bagi Kebenaran dan Keadilan

Dalam duka mendalam yang dirasakan oleh keluarga Afif Maulana, kita melihat pentingnya perjuangan untuk kebenaran dan keadilan. Kematian Afif Maulana menjadi ujian bagi institusi kepolisian dalam menegakkan keadilan dan transparansi. Penyelidikan harus dilakukan secara menyeluruh dan transparan, tanpa ada intervensi dari pihak mana pun. Publik harus yakin bahwa tidak ada upaya polisi untuk menutup-nutupi kasus ini.

Kematian Afif Maulana bukan sekadar tragedi pribadi, melainkan sebuah panggilan bagi kita semua untuk mendesak perubahan yang lebih besar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Setiap nyawa berharga, dan setiap tindakan kekerasan harus diusut tuntas. Impunitas harus diakhiri, dan penegakan hukum harus kembali pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.

*Jay Akbar/ Jurnalis & Produser di Narasi

Topik:

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER