4 Juli 2023 17:07 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Margareth Ratih. F
Forum Tingkat Tinggi Women, Peace, and Security (WPS) High Level ASEAN baru saja menggelar side event pada 4-5 Juli 2023 di Grand Ambarrukmo Yogyakarta. Forum side event ini bertajuk “Building Resilient Communities: Applying an Intersectional Perspective in The Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security”.
Side event ini diadakan untuk menyambut Forum WPS High Level yang akan digelar pada 5-7 Juli 2023 di Yogyakarta. Tujuan side event ini adalah untuk menggali isu krusial non tradisional keamanan perempuan yang akan dibahas pada forum WPS High Level.
Beberapa organisasi yang hadir dalam side event di antaranya AMAN Indonesia, Migrant Care, The Working Group on Women and PCVE, Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP), dan masih banyak lagi.
“Ini akan menunjukkan bahwa Indonesia negara yang berkomitmen terhadap demokrasi, juga secara praktik nyata Indonesia sangat teladan,”jelas Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah, dilansir dari Harian Jogja.
Ruby menambahkan bahwa bentuk komitmen tersebut adalah dengan mempertahankan civic peace. Dengan begitu, masyarakat sipil memiliki ruang yang besar di dalam proses pengambilan kebijakan.
Isu yang dibahas
Dilansir dari Konde.co, berikut ini isu yang akan dibahas dalam forum WPS High Level 2023:
Isu pertama adalah mengenai krisis kemanusiaan berujung pada pelanggaran serius hak asasi perempuan di Myanmar. Pelanggaran tersebut diantaranya adalah perempuan yang menjadi sasaran kekerasan, pelecehan seksual, dan pemaksaan.
Buntut dari kasus tersebut, para penduduk khususnya perempuan harus mengungsi. Oleh karena itu, diharapkan ASEAN dapat memperhatikan perlindungan, bantuan kemanusiaan, dan integrasi sosial pengungsi sebagai kelompok rentan.
Organisasi masyarakat sipil terus mendesak agar ASEAN segera bertindak. ASEAN juga harus mengakui pelanggaran serius terhadap The Five-Point Consensus yang dilakukan oleh Myanmar.
Peluang keterlibatan perempuan dan anak dalam teror semakin besar. Apalagi keberadaan media sosial yang mempermudah masuknya indoktrinasi secara kuat.
Melalui pendekatan gender, pengalaman biologis, sosial, dan spiritual perempuan dalam keterlibatan dengan ekstremisme kekerasan, diharapkan dapat membuka relasi ketimpangan gender dan peran perempuan dalam perdamaian.
Oleh karena itu, ASEAN diharapkan dapat membuka ruang tersebut dan mendorong Rencana Aksi Regional ASEAN Pencegahan Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan (ASEAN PoA for PCRVE) dengan mengintegrasikan sensitivitas gender.
Perlu adanya keamanan siber bagi para perempuan pembela HAM (PPHAM) di tengah penggunaan teknologi saat ini. Menurut SAFEnet, serangan digital terhadap PPHAM tahun 2022 meningkat dari tahun sebelumnya.
Perlu adanya langkah strategis seperti mendorong mekanisme perlindungan PPHAM di ruang digital, serta memastikan keterlibatan perempuan dalam perumusan kebijakan ruang digital. Hal tersebut agar kebijakan lebih berperspektif gender.
Adanya perubahan iklim mampu menyebabkan konflik sumber daya yang dapat berdampak bagi perempuan. ASEAN harus mengidentifikasi dan mengatasi ketidaksetaraan gender dalam akses terhadap sumber daya.
Dengan begitu, ASEAN perlu memastikan keterlibatan perempuan dalam merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan iklim. Hal ini agar kebijakan dapat lebih responsif gender.
Banyaknya pelanggaran kebebasan berekspresi dan beragama membuat kelompok rentan (perempuan, anak perempuan, dan LGBTQ+) rentan dipersekusi dan didiskriminasi.
Oleh karena itu, ASEAN perlu memastikan korban diskriminasi, serangan, dan pembatasan kebebasan berekspresi dan beragama mendapat dukungan penuh dari negara.
Tentang Forum WPS
Regional Plan of Action (RPA) pertama disahkan pada 5 Desember 2022 di Kamboja. Negara-negara di ASEAN yang menjalankan RPA tersebut berkomitmen untuk membuat kebijakan dan intervensi program di tingkat nasional berdasarkan RPA.
Tujuan diadakannya forum WPS High Level ini adalah untuk meletakkan pondasi akuntabilitas dan mekanisme pelaksanaan RPA WPS (Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security) dengan monitoring dan evaluasi.
Jauh sebelum disahkannya RPA, Indonesia dan Filipina sudah menjalankan Resolusi 1325 tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan. Resolusi 1325 ini diadopsi oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) untuk mengatasi situasi perang dan konflik bersenjata pada tahun 2000.
KOMENTAR
Latest Comment