20 Juli 2022 17:07 WIB
Editor: Akbar Wijaya
DPR, ahli hukum pidana, Kemenkes, hingga MUI sudah beri sinyal terang mendukung legalisasi ganja untuk medis, namun putusan MK meredupkannya.
Asa Santi Warastuti melegalkan ganja demi tujuan medis mengobati anaknya yang menderita lumpuh otak (cerebral palsy) diredupkan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Rabu 20 Juli 2022, MK memastikan penggunaan ganja, kendati untuk tujuan medis, merupakan pelanggaran aturan yang dapat dijatuhi sanksi hukuman.
Keputusan MK tersebut merupakan jawaban atas gugatan yang diajukan Santi bersama dua ibu bernasib sama sepertinya dan satu lembaga swadaya masyarakat. Mereka meminta MK mengeluarkan ganja dari narkotika golongan I dalam UU Narkotika.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata hakim konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Perkara 106/PUU-XVIII/2020 yang disiarkan channel Youtube Mahkamah Konstitusi, Rabu (19/7/2022).
Prokontra legalisasi ganja demi kepentingan medis sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Namun wacana ini kembali menghangat setelah Santi beraksi di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada hari tanpa mobil (car free day), Minggu (26/6/2022).
Dalam aksinya Santi membawa serta anaknya dan sebuah poster yang ia gantung di leher bertuliskan: "Tolong, anakku butuh ganja medis."
Aksi Santi viral di media sosial dan menuai dukungan dari berbagai kalangan. Bagaimana pandangan kelompok-kelompok yang berikan sinyal harapan terhadap orang-orang seperti Santi?
Santi sempat diundang Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad ke kantornya pada Selasa (28/6/2022) guna dimintai pendapat soal urgensi ganja untuk pengobatan medis anaknya.
Politikus Gerindra ini mendorong agar kebutuhan ganja untuk medis dibahas dalam Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika di Komisi III DPR.
Santi tentu saja senang melihat perjuangannya mendapat apresiasi positif wakil rakyat. Menurut Santi segala upaya yang ia lakukan semata untuk menyelamatkan nyawa anaknya terutama ketika mengalami kejang-kejang.
Selang dua hari kemudian, Kamis (30/6/2022), Santi kembali diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja RUU Narkotika di Gedung DPR RI.
Ketika itu sejumlah anggota DPR tampak memberikan dukungan terhadap legalisasi ganja demi tujuan medis. “Kami mendukung ganja medis setelah melalui pengkajian dan tetap memproses hukum bagi penyalahgunaan ganja,” kata anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta.
Wayan berpandangan sudah saatnya status ganja sebagai narkotika golongan I di UU Narkotika diubah menjadi narkotika golongan II. Sehingga, ganja dapat dimanfaatkan sebagai pengobatan atau terapi kesehatan namun di sisi lain masih ada sanksi hukum bagi mereka yang terbukti menyalahgunakannya.
Wayan berharap ada cara pandang baru dalam melihat ganja sesuai kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan. Apalagi, menurutnya, dalam hukum internasional ganja sudah dikeluarkan dari jenis narkotika.
“Kesepakatan internasional di mana PBB telah mengeluarkan ganja sebagai jenis narkotika,” ujar politikus PDI Perjuangan ini.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa mengatakan akan melibatkan ahli kesehatan dalam RUU Narkotika. Hal ini untuk mengetahui apakah penggunaan ganja berbahaya atau tidak dari sudut pandang kesehatan.
“Lalu dampak ekonominya apa? Jangan sampai kita menahan sesuatu yang ternyata nilai manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya. Ini yang perlu dikaji,” ujarnya Selasa (28/6/2022).
Desmond mengatakan di Belanda dan Thailand sudah membebaskan penggunaan ganja, khususnya untuk kepentingan medis. Karena itu, menurut dia, catatan-catatan dari sisi kesehatan dan ekonomi akan menjadi catatan Komisi III DPR yang akan dibicarakan saat pembahasan revisi UU Narkotika.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Nasdem Taufik Basari mengajak para penentang ganja medis berpikiran terbuka terhadap berbagai hasil penelitian yang menyatakan ganja memang dapat digunakan untuk pengobatan.
Menurut Taufik, sikap menutup diri terhadap hasil penelitian akan mengakibatkan penderitaan bagi mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan.
“Akibatnya, pasien seperti anak dari Ibu Santi yang menderita cerebral palsy tidak dapat menggunakan ganja untuk pengobatan, bahkan dalam kasus Fidelis Arie yang memberikan ganja untuk pengobatan istrinya harus berakhir pada proses hukum,” kata Taufik seperti dikutip Antara pada Senin (4/7/2022).
Taufik menyayangkan stigma negatif yang diberikan kepada para pendukung ganja medis. Padahal menurutnya berdasarkan UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika merupakan obat. Namun lantaran terdapat efek samping jika digunakan tanpa standar yang tepat, maka narkotika diatur ke dalam beberapa jenis golongan.
Taufik berharap semua pihak mendukung penelitian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penggunaan ganja bagi kepentingan medis. “Penelitian tidak harus dilakukan dari awal karena sebelumnya telah terdapat penelitian dari berbagai negara termasuk dari komite 'expert' di bawah PBB yang dapat dijadikan rujukan penelitian lanjutan,” ujarnya.
Asa positif penggunaan ganja medis dari sudut pandang norma agama juga disampaikan Wakil Presiden sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat Ma’ruf Amin. Usai menghadiri Rapat Dewan Pimpinan Pusat MUI pada Selasa (28/6/2022) Ma’ruf berujar agar dikeluarkan fatwa yang membolehkan penggunaan ganja untuk kepentingan medis.
“Memang kalau ganja itu kan dilarang dalam arti penyalanggunaan. Masalah [ganja untuk] kesehatan itu saya kira nanti MUI harus pengecualian membuat fatwa baru kebolehannya [untuk kesehatan], artinya ada kriteria,” kata Ma’ruf yang ketika itu berstatus Plt Presiden lantaran Jokowi sedang dalam kunjungan ke luar negeri.
Ma’ruf mengatakan fatwa MUI bisa dijadikan pedoman bagi DPR dalam merespons wacana mengenai ganja untuk kebutuhan medis. Ia menjelaskan MUI telah mengeluarkan fatwa tentang larangan bagi umat Islam menyalahgunakan ganja.
"Jangan sampai nanti berlebihan dan juga menimbulkan kemudaratan. Karena ada berbagai spesifikasi itu ya ganja itu. Ada varietasnya. Supaya MUI nanti buat fatwa yang berkaitan dengan varietas-varietas ganja itu," ujarnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sempat memberikan sinyal terang soal penerbitan regulasi yang mengatur pelaksanaan riset tanaman ganja untuk kebutuhan medis.
"Kita sudah melakukan kajian, nanti sebentar lagi akan keluar regulasinya untuk kebutuhan medis," ujar Budi Minggu (3/7/2022)
Dasar dari keputusan Kemenkes untuk menerbitkan regulasi penelitian tanaman ganja adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pada Pasal 12 ayat 3 dan Pasal 13 aturan itu disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diatur dengan peraturan menteri.
Budi meyakini, semua tanaman dan binatang yang diciptakan Tuhan pasti memiliki manfaat untuk kehidupan. Salah satunya morfin, sebagai alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium.
"Morfin lebih keras dari ganja, tapi dipakai untuk medis. Ganja itu sebenarnya sama seperti morfin, morfin lebih keras dari ganja, itu kan ada dipakai untuk yang bermanfaat," kata Budi.
Seperti halnya morfin pada dunia medis yang berfungsi meredam rasa sakit pada luka di tubuh manusia, tanaman ganja pun akan diteliti untuk melihat manfaatnya lewat riset, data serta fakta ilmiah, kata Budi menambahkan.
"Penelitian morfin itu bagus, untuk gak sakit kalau ada apa-apa, seperti kita tertembak," katanya.
Pakar Hukum Pidana Prof. Hibnu Nugroho berpendapat UU Narkotika tak semestinya menghalangi legalisasi ganja untuk keperluan medis. Ia mengemukakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, menjawab perubahan zaman, serta mampu melayani masyarakat (lex progresif).
"Saya melihatnya optimistis karena hukum harus merespons kebutuhan masyarakat," kata Hibnu dikutip Antara, Kamis (7/7/2022).
"Hukum harus progresif, ada untuk kepentingan manusia." kata Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jendral Sudirman ini.
Namun demikian, Hibnu sependapat regulasi ganja untuk pengobatan harus memuat batasan yang jelas (lex stricta) sehingga kekhawatiran akan penyalahgunaannya bisa diantisipasi. "Ini dibutuhkan untuk kepentingan pengobatan, batas-batas sudah dikoordinasikan dengan tim medis," ujar Hibnu.
Batasan atas tafsir penyalahgunaan ganja medis haruslah dilakukan para ahli di bidang kedokteran. “Harus ada suatu kepastian yang bisa diberikan sehingga tafsirnya tidak terlalu luas, kemudian ada penyalahgunaan," kata Hibnu.
Pakar hukum narkotika Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Dr. Slamet Pribadi mengatakan Kementerian Kesehatan berwenang mengeluarkan peraturan mengenai izin penggunaan ganja untuk keperluan medis.
"Yang memposisikan ganja sebagai golongan I itu menteri kesehatan. Berarti izin dari jajaran Kementerian Kesehatan," kata dia dikutip, Antara, Rabu (29/6/2022).
Eks Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional itu menuturkan Pasal 7 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika membolehkan penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan atas seizin atau rekomendasi dari pihak terkait khususnya Kementerian Kesehatan dan Badan POM.
"Jadi, narkotika itu boleh digunakan, yang tidak boleh itu disalahgunakan. Khusus untuk ganja (pasal 7 dan 8 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika) kalau memang itu ada manfaat untuk kesehatan, silakan mengajukan izin. Kalau memang untuk medis," kata dia.
Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati Ph.D., mengakui ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.
Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
"Psikoaktif artinya bisa mempengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental," kata Zullies dikutip Antara, Jumat (1/7/2022).
Lebih lanjut, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah antikejang.
Ia mengatakan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Badan Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA). Misalnya, epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.
Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.
"Di kasus yang viral untuk penyakit cerebral palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja," kata Zullies.
Zullies melanjutkan, meski CBD memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang namun bukan berarti tanaman ganja boleh dilegalkan.
Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental. "Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh, itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis," paparnya.
Ia mencontohkan obat-obatan dari golongan morfin yang berasal dari tanaman opium. Menurutnya morfin bisa dilegalkan sebagai resep obat nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat, namun tanaman opium tetap masuk narkotika golongan 1.
"Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitu pun dengan ganja," kata Zullies.
"Oleh sebab itu, semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperhensif akan risiko dan manfaatnya."
KOMENTAR
Latest Comment