Gimana Cara Bicara dengan Penyintas Kekerasan Seksual di Ruang Publik?

27 Jun 2022 19:06 WIB

thumbnail-article

Penulis:

Editor: Akbar Wijaya

Oleh: Firda Iskandar

Consent atau persetujuan merupakan hal utama sebelum menggali cerita korban pelecehan seksual.


Podcast #CLOSETHEDOOR Deddy Corbuzier (23/6/2022) dengan bintang tamu Widy Vierra dan Cinta Laura menuai pro-kontra di media sosial. Persoalan bermula ketika Deddy bertanya kepada Widy apakah ia pernah mengalami kasus pelecehan seksual atau tidak.

Mendapat pertanyaan itu Widy sempat diam dan lalu menangis.

Cuplikan wawancara itu kemudian dikomentari beragam oleh warganet. Ada yang menganggap cara Deddy bertanya tidak mencerminkan sikap sensitif terhadap korban pelecehan seksual, namun tak sedikit pula yang mewajarkan dengan dalih Deddy langsung menghentikan wawancara untuk memberi waktu kepada Widy menenangkan diri.

Sebenarnya, bagaimana sikap yang dianjurkan saat berbicara dengan penyintas pelecehan seksual?

Hormati Trauma yang Korban Alami

Pelecehan seksual, memang isu yang sangat sensitif dan kompleks. Mau dibicarakan dalam konteks apapun, isu ini memang perlu perhatian dan perlakuan khusus. Pasalnya hal ini menyangkut masalah privasi dan trauma korban.

Riset yang dirilis dalam McGill Journal of Medicine (2006) menyebut, korban kekerasan seksual bisa mengalami Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) yang akut. Bahkan, trauma ini muncul dari tiga aspek: psikologis, biologis dan sosiologis.

Dari segi psikologis, tentunya korban bisa mengalami penurunan kognitif yang siginifikan akibat kejadian tersebut. Dampak biologis, juga sudah pasti terluka di beberapa bagian tubuh akibat pemaksaan atau penyiksaan. 

Sedangkan dampak sosiologis yang korban alami berkaitan dengan stigma di masyarakat, yang masih sering menyalahkan korban. 

Ketiga aspek ini yang biasanya membuat korban amat rentan untuk bersikap terbuka. Sehingga, banyak dari mereka yang lebih memilih diam, melupakan, dan enggak mengungkapkan (speak up).

Veni Siregar, salah satu tim advokasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengatakan pertanyaan yang dikemukakan Deddy memang tidak mudah dijawab oleh Widy selaku penyintas.

“Pertanyaan seperti itu untuk korban itu hal yang berat karena dia akan ada di dimensi waktu yang dia harus mengingat lagi kondisi dimana dia pernah mengalami kekerasan seksual dan ini yang tidak pernah disadari oleh laki-laki mainstream misalnya atau oleh pelaku atau masyarakat umum.” Jelasnya saat dihubungi Narasi (24/06/2022). 

Sayangnya, menurut Veni trauma korban pelecehan seksual masih dianggap enteng dalam kultur masyarakat kita. Sehingga masih banyak orang yang bertanya casually terhadap isu yang tidak mudah ini.

Harus Ada Consent untuk Speak Up

Veni menekankan salah satu aspek penting sebelum menggali pengalaman para penyintas kekerasan seksual adalah persetujuan (consent). Ia mengatakan consent haruslah datang dari dari diri korban tanpa ada unsur paksaan. Kesediaan Widy hadir di acara podcast menunjukan adanya consent dari dia.

“Nah, itu (keputusan untuk speak up pengalaman pelecehan) harus berangkat dari benar-benar pilihan korban dan berangkat benar-benar dari kesadaran utuhnya korban bahwa pilihan itu diambil untuk dirinya dan dirinya merasa akan bermanfaat untuk orang lain.” Lengkapnya.

Veni juga menyebut tugas kita sebagai masyarakat atau pendamping, adalah memfasilitasi dan mendukung sepenuhnya pilihan korban, apapun itu. Jika memang korban memutuskan untuk cerita, kita perlu menjadi pendengar yang baik, tanpa menghakimi apalagi menyalahkan. 

“Kita juga harus mendorong mereka, memperkuat mereka bahwa pilihan mereka untuk speak up itu harus punya nilai. Nilainya itu misalnya, untuk memperkuat supaya korban-korban lain mau bicara atau untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual lain.” Jelasnya.

Jangan Paksa Korban Speak Up

Menurut Veni, korban pelecehan seksual berhak mendapat perlindungan hukum, bukan hanya dari pelaku atau masyarakat tapi juga dari pihak-pihak yang memaksa dia untuk speak up.

“Dipaksa untuk mengatakan bahwa ‘saya korban’ atau apapun ya yang dalam konteksnya tindak pemaksaan itu bisa ada sisi pidananya, kriminalnya. Dan itu, baru akan valid ketika pelaporannya datang dari korban sendiri ya, ketika dia merasa dipaksa,” ujar Veni 

Veni beranggapan sudah ada kesepakatan antara  Deddy selaku pewawancara dengan Widy sebagai korban sebelum wawancara mereka ditayangkan. Apalagi, mengingat ketiganya adalah figur publik, bahkan Widy juga memposting cuplikan video ini di akun Instagram pribadinya.

“Saya pikir kalau setingkat Deddy Corbuzier kalau akhirnya tayang, kan, berarti sudah dapat consent dari narasumbernya, ya. Tapi ke inti bagaimana menanyakan hal-hal seperti itu yang harusnya menjadi catatan kita bahwa dalam konteks pertanyaan ketika itu tidak di-outlooks-kan dari awal gitu perlu diomongin atau nggak,” katanya.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER