Selalu ada yang gelisah ketika anak-anak bertanya. Terutama jika pertanyaannya tak punya jawaban pasti. “Apakah hantu itu nyata?” “Apa yang terjadi setelah orang mati?” “Kenapa ada yang jahat?” Orang dewasa gugup. Mereka buru-buru menutup cerita, menyuruh tidur, lalu menyalahkan fiksi.
Film animasi Jumbo juga dipersoalkan karena hal itu. Ada hantu di sana, katanya. Dan hantu, menurut sebagian orang, bukan bagian dari pendidikan akidah. Maka mereka menuding fiksi sebagai perusak iman. Sebagai kebohongan yang membahayakan. Sebagai bisikan yang menyimpangkan anak-anak dari jalan lurus. Tapi barangkali kita harus bertanya balik: siapa yang sebenarnya tersesat—anak-anak yang percaya pada hantu, atau orang dewasa yang tidak percaya pada imajinasi?
Fiksi bukan karangan ngawur. Ia bukan sekadar “ciptaan manusia” dalam pengertian yang meremehkan. Ia adalah ciptaan—dalam arti paling sakral: usaha manusia membentuk dunia dalam pikiran, agar kelak bisa memahami kenyataan dengan lebih jernih. Etimologinya bukan dari “palsu”, tapi dari fingere: membentuk, menyusun, menciptakan. Fiksi adalah ruang tempat anak-anak belajar menata semesta sebelum semesta menata mereka.
Anak-anak membaca cerita atau menonton animasi bukan untuk melarikan diri dari dunia, tapi untuk mencicil keberanian menghadapi dunia. Mereka belajar bahwa orang baik bisa kalah, bahwa kehilangan itu menyakitkan, bahwa keajaiban mungkin muncul dari tempat yang tak terduga. Fiksi tidak membuat anak jadi bodoh. Justru sebaliknya: ia memberi anak keberanian untuk berpikir.
Boleh jadi ada sisi gelap dari fiksi. Tentu. Seperti semua yang punya daya, ia bisa menusuk balik dari belakang. Tapi yang berbahaya bukan fiksinya. Yang berbahaya adalah ketika kita biarkan anak menelan cerita tanpa diajak bicara. Ketika kita diam, dan membiarkan layar menggantikan kehadiran kita. Ketika kita tidak menjelaskan bahwa hantu dalam film bukan pesan akidah, tapi metafora kehilangan.
Fiksi bukan untuk ditelan mentah, tapi untuk dikunyah bersama. Di situlah letak pendidikan. Pendidikan yang sejati bukan transfer hafalan, tapi proses memahami dunia lewat pertanyaan. Fiksi adalah pemantik pertanyaan. Ia menggoda rasa ingin tahu. Ia mengganggu kenyamanan. Dan karena itulah ia penting.
Tapi masyarakat kita terlanjur mendewakan kepatuhan. Anak yang penurut disebut pintar. Anak yang kritis disebut kurang ajar. Maka fiksi jadi musuh karena ia tidak ajarkan jawaban, tapi memancing keraguan. Karena ia menanamkan keberanian untuk berpikir: “Kalau tokoh dalam cerita bisa menolak, kenapa aku tidak?”
Yang tidak disukai dari fiksi adalah kemampuannya membuka celah. Ia melonggarkan kerangkeng keyakinan yang dibangun di atas ketakutan. Ia memberi pilihan. Dan di negeri yang trauma dengan kebebasan memilih, itu dianggap membahayakan.
Padahal jika ada satu hal yang layak diwariskan kepada anak-anak, itu bukan ketaatan. Tapi keberanian untuk memilih. Dan keberanian itu tidak lahir dari larangan, tapi dari ruang untuk bertanya. Maka fiksi bukan lawan pendidikan. Fiksi adalah pendidikan itu sendiri—jika kita bersedia menemani anak mencerna, bukan membungkam mereka.
Lihat bagaimana anak-anak menangis ketika Simba kehilangan ayahnya. Lihat bagaimana mereka marah ketika tokoh baik dihancurkan. Lihat bagaimana mereka berdebat siapa yang benar di antara dua tokoh yang sama-sama terluka. Itu bukan karena fiksi menyesatkan mereka, tapi karena fiksi memperkenalkan emosi yang belum sempat mereka pahami. Anak-anak belajar jadi manusia, justru karena mereka diajak merasakan yang belum mereka alami.
Kalau ada yang patut dicurigai, bukan fiksinya—tapi kenapa kita tak pernah duduk di sebelah mereka dan bertanya balik: “Menurutmu kenapa si hantu muncul?” “Apa yang kamu rasakan waktu nontonnya?” “Kalau kamu jadi Don, kamu bakal gimana?”
Anak-anak tidak butuh jawaban yang steril. Mereka butuh ruang bermain bagi pikiran. Dan fiksi adalah taman bermain itu—tempat di mana mereka bisa menjadi siapa saja, bertemu apa saja, dan kembali dengan pemahaman baru tentang diri sendiri.
Mereka tidak akan rusak karena menonton film tentang hantu. Mereka akan rusak kalau kita terus memperlakukan mereka sebagai objek yang harus diamankan dari dunia. Padahal mereka adalah subjek yang sedang belajar membacanya.
Maka membela fiksi bukan soal estetika. Ini soal hak. Hak anak untuk bertanya. Hak anak untuk merasa. Hak anak untuk mencipta makna. Kalau kita larang fiksi, yang kita bunuh bukan cerita—tapi masa kecil. Dan masa kecil yang disunat dari imajinasi, akan tumbuh jadi orang dewasa yang takut kepada kemungkinan.
Dan orang dewasa yang takut kemungkinan, akan selamanya tunduk pada kenyataan yang ditentukan orang lain.