1 Agustus 2022 19:08 WIB
Penulis: Berlian Rahmy Lidia
Editor: Akbar Wijaya
Bagaimana pelayanan publik dan roda pemerintahan berbasis internet di Ukraina bisa terus berjalan kendati Rusia telah memblokirnya sejak invasi militer Februari lalu? Jawabannya adalah karena Starlink.
Sejak militer Rusia menginvasi Ukraina dan memblokir jaringan internet di sana, Elon Musk bergerak cepat memberikan layanan internet melalui satelit Starlink miliknya.
Terdapat sekitar 15 ribu set router Starlink di daerah invasi tersebut yang membuat layanan publik, roda pemerintahan, dan militer Ukraina bisa terus berkomunikasi.
“Pasukan Ukraina menggunakannya untuk berkomunikasi. Misalnya, komunikasi antara markas dan pasukan di lapangan,“ kata Marina Miron peneliti studi pertahanan di Kings College, London dikutip BBC, Senin (1/8/2022).
Miron mengatakan hingga sekarang Rusia belum menemukan cara untuk mematikan layanan Starlink. Pihak Ukraina pun memanfaatkan Starlink untuk memperlancarkan komunikasi di medan perang.
Starlink merupakan satelit milik perusahaan Elon Musk SpaceX. Sejak 2018 lalu SpaceX telah meluncurkan sekitar 3000 satelit Starlink yang diklaim mampu menyediakan layanan internet berkecepatan tinggi.
Starlink beredar di orbit bumi dengan ketinggian rendah. Normalnya, satelit-satelit lain yang diluncurkan berada pada ketinggian 999,4 Km di atas permukaan bumi. Sedangkan Starlink berada di ketinggian 548,8 Km.
Menurut catatan Ookla, kecepatan unduhannya berkisar 90,55 Mbps - 97,40 Mbps (megabyte per second). Sedangkan untuk kecepatan unggahan bisa mencapai 16,29 Mbps - 16,69 Mbps, dengan gangguan desing keterlambatannya berkisar antara 40-51 ms (millisecond).
Starlink sudah memiliki 400 ribu pelanggan dari 36 negara. Sebagian besar pengguna Starlink menjangkau dari kawasan Amerika Utara, Eropa dan Australia.
Diperkirakan Starlink akan diluncurkan kembali hingga jumlahnya mencapai 10.000-20.000 satelit. Meningkatnya volume Starlink, diharapkan mampu memperluas jangkauannya hingga ke Afrika, Amerika Selatan, dan Asia pada 2023.
“Menggunakan satelit memecahkan masalah (susahnya) mendapatkan koneksi internet ke lokasi terpencil di gurun dan pegunungan. (Starlink) merupakan solusi, daripada harus membangun infrastruktur dalam jumlah besar, seperti kabel dan tiang untuk menjangkau daerah-daerah tadi,” ujar Chris Hall, perwakilan dari pihak Starlink dikutip BBC.
Mengingat kecanggihannya, masih ada kendala utama dalam pemanfaatan Starlink. Seperti halnya, harga dan peredarannya di angkasa.
Setiap pelanggan Starlink dibebankan biaya hingga Rp 1,5 juta per bulan di Amerika Serikat. Sedangkan di Inggris, bisa mencapai Rp 1,6 juta per bulan.
“Harga Starlink mungkin terlalu tinggi untuk beberapa rumah tangga, seperti di Afrika. Namun, Starlink dapat menghubungkan internet bagi sekolah-sekolah dan rumah sakit di daerah terpencil di sana,” ujar Hall.
Starlink juga bukan satu-satunya satelit yang beredar dengan ketinggian rendah di orbit bumi. Ada juga saingannya seperti OneWeb dan Viasat.
Banyaknya satelit buatan yang beredar rendah, meningkatkan risiko saling bertabrakan satu sama lain. Ruang angkasa pun juga semakin padat dengan keberadaan satelit-satelit ini.
“Jika ada terlalu banyak fragmen, itu bisa membuat orbit rendah Bumi tidak dapat digunakan di masa depan, dan kita mungkin tidak bisa keluar dari orbit rendah Bumi ke orbit yang lebih tinggi, di mana satelit navigasi dan satelit telekomunikasi berada,” kata King dari Universitas Portsmouth.
KOMENTAR
Latest Comment