Jokowi Akui 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat, Nasdem Tagih Langkah Pemulihan Korban

13 Januari 2023 21:01 WIB

Narasi TV

Presiden Joko Widodo (kiri) menerima laporan terkait pelanggaran HAM masa lalu dari Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mahfud MD (kanan) di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Pemerintah resmi mengakui terjadinya 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, yakni:

  • Peristiwa 1965-1966.
  • Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985.
  • Peristiwa Talangsari di Lampung 1989.
  • Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989.
  • Peristiwa Penghilang Orang Secara Paksa 1997-1998.
  • Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. 
  • Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999.
  • Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999.
  • Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
  • Peristiwa Wasior Papua 2001-2002.
  • Peristiwa Wamena Papua 2003.
  • Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Pertanyaannya bagaimana skema realisasi kompensasi bagi para korban ke depan?

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan pemerintah tidak cukup sekadar menyampaikan pengakuan soal terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat.

Sebab, pengakuan tersebut berkosekuensi terhadap kewajiban negara untuk memenuhi hak korban atas keadilan, pemulihan, restitusi, dan informasi.

"Yang paling penting adalah pemerintah tidak berpikir untuk merasa cukup [dengan pengakuan]," kata Taufik saat dihubungi Narasi, Jumat (13/1/2024).

Taufik menyebut pengakuan negara soal kesalahan di masa lalui merupakan peristiwa penting dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa.

Pengakuan ini harus membuka pintu bagi langkah selanjutnya yakni:

  • Mengungkapkan fakta kebenaran atas peristiwa-peristiwa tersebut.
  • Mengusut pelaku dan melakukan penegakan hukum.
  • Mengindentifikasi korban serta memulihkan dan memenuhi hak-hak korban.
  • Melakukan evaluasi dan reformasi kebijakan, hukum dan institusi untuk mencegah berulangnya peristiwa tersebut di masa mendatang mendatang.

Taufik mengatakan menuntaskan pelanggaran HAM merupakan janji Jokowi sejak 2014. Sehingga, menurutnya wajar apabila publik menagih langkah lanjutan atas apa yang sudah diputuskan pemerintah.

"Kita perlu menagih langkah-langkah lanjutan tersebut yang sebisa mungking dapat dilakukan segera dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi hingga berakhir di tahun 2024," ujar Taufik.

Politikus Partai Nasdem ini mengatakan belum ada pembicaraan antara pemerintah dan DPR mengenai langkah-langkah konkrit terhadap para korban maupun pelaku yang terlibat dalam 12 peristiwa tersebut.

Taufik mengatakan penting bagi pemerintah mengindentifikasi para korban dalam peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut.

Selanjutnya pemerintah juga mesti memiliki penghitungan soal kompensasi ekonomi kepada para korban. Hal ini karena menurut Taufik kompensasi bagi setiap korban tak bisa dipukul rata untuk setiap kasus.

Taufik mengatakan sumber anggaran kompensasi atau restitusi bagi korban bersumber dari APBN pemerintah. Ia meminta pemerintah tidak menunda-nunda proses pemulihan korban.

"Korban memiliki right to reparations atau hak pemulihan yang mencakup restitusi atau pengembalian kondisi korban kepada seperti sebelum terjadinya peristiwa," katanya.

Taufik berpandangan proses pemulihan terhadap korban tidak boleh terhenti dengan alasan menunggu penyelesaian yudisial. Hal ini karena proses penyelesaian yudisial kerap mengkrak dalam proses pembuktian.

“(Pemerintah) tidak boleh mengatakan bahwa pemulihan korban harus menunggu proses pengadilan, harus menunggu dulu siapa pelakunya, itu terlalu panjang penundaannya. Begitu ada pengakuan maka harus ada upaya pemenuhan hak korban.”

“DPR akan mengingatkan kepada pemerintah. Kuncinya ada di pemerintah. Kalau pemerintah tidak jalan dan program tindak lanjut maka tidak ada artinya pengakuan tersebut yang sebenarnya adalah momentum yang penting ini” katanya.

Presiden Segera Gelar Rapat Khusus

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan Presiden RI Joko Widodo segera menggelar rapat khusus guna membahas sekaligus memastikan pemulihan untuk para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu berjalan efektif.

"Bagaimana untuk memastikan dan menjamin agar pemulihan oleh negara berjalan efektif? Jadi ada dua. (Pertama) dalam waktu dekat ini, Presiden atau kabinet akan melakukan rapat khusus bicara tentang ini," ujar Mahfud saat memberikan keterangan pers, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Kemenko Polhukam RI di Jakarta, Kamis (13/1/2023).

Dalam rapat itu, lanjut dia, Presiden akan membagikan tugas kepada sejumlah menteri dan lembaga serta memberikan target atau batas waktu bagi mereka untuk menyelesaikan masing-masing tugasnya.

"Nanti akan dibagi tugas oleh Presiden. Menteri A (misalnya) melakukan rekomendasi nomor sekian atau jenis pemulihan nomor sekian, Menteri B nomor sekian, Menteri C nomor sekian, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) nomor sekian, dan seterusnya. Dibagi tugasnya dan diberi target waktu," ucap Mahfud.

Bentuk Satgas Penyelesaian

Apabila tugas yang telah ditentukan tidak terlaksana pada waktu yang telah ditentukan, Mahfud menyampaikan bahwa pemerintah akan membentuk satuan tugas dalam mengawal efektivitas pemulihan para korban pelanggaran HAM berat.

Satgas itu akan melaporkan kepada Presiden setiap pelaksanaan pemulihan yang dilakukan, perkembangan, dan masalah yang mereka hadapi.

"Satgas itu nanti sementara ini disepakati juga berkantor di Kemenko Polhukam. Meskipun saya sendiri (menilai) seharusnya sih ini di Kantor Menkumham, tapi di sana banyak sekali pekerjaannya, tidak apa-apa. Kami bantu karena ini bentuknya koordinasi. Itu pun nanti kami usulkan alternatif-alternatif pembanding kepada Presiden, siapa orangnya dan tempatnya di mana untuk mengawal ini," jelas Mahfud.

Sumber: Antara

 

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR