Junta militer Myanmar secara resmi mengumumkan gencatan senjata sementara untuk memfasilitasi upaya bantuan setelah bencana gempa yang menghancurkan. Pengumuman tersebut dibuat pada tanggal 2 April 2025, setelah terjadi gempa bumi dengan magnitudo 7,7 di wilayah Sagaing. Gencatan senjata akan berlangsung dari 2-22 April dan bertujuan untuk mempercepat pengiriman bantuan kepada korban.
Gencatan senjata ini mengikuti sejumlah desakan untuk menghentikan pertikaian militer demi memberikan ruang bagi operasi penyelamatan dan bantuan. Junta melaporkan bahwa kelompok-kelompok bersenjata yang terlibat dalam konflik internal juga telah menyatakan komitmen serupa. Namun, mereka memperingatkan bahwa setiap pelanggaran terhadap kesepakatan ini akan ditanggapi dengan tindakan militer yang tegas.
Dampak gempa di Myanmar
Akibat gempa bumi yang terjadi, laporan terbaru menunjukkan bahwa korban jiwa meningkat hampir mencapai 3.000 orang, dengan ribuan lainnya terluka dan banyak yang masih hilang. Infrastruktur di seluruh Myanmar mengalami kerusakan parah; banyak bangunan dan fasilitas umum telah runtuh, membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal mereka.
Masyarakat di kawasan yang terkena dampak sangat membutuhkan bantuan mendesak, termasuk makanan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak. Banyak warga yang kini terpaksa mengungsi dan tidur di jalanan karena tidak dapat kembali ke rumah mereka yang rusak parah. Situasi ini menyebabkan peningkatan perhatian terhadap pengiriman bantuan internasional.
Tanggapan internasional
Sebelum gencatan senjata diumumkan, junta militer Myanmar sebelumnya menolak berbagai usulan gencatan serupa untuk memungkinkan akses bantuan. Hal ini menuai kritik dari berbagai organisasi hak asasi manusia dan komunitas internasional. Kritikus menyatakan bahwa tindakan militer tersebut semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah ada di negara tersebut.
Serangan militer juga tetap dilanjutkan meskipun bencana alam terjadi, menciptakan suasana ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat yang terpengaruh. Pejabat junta militer sendiri tetap bersikeras melanjutkan operasi militer, menuduh kelompok pemberontak memanfaatkan situasi bencana untuk memperkuat posisi mereka.
Penyaluran bantuan ke lokasi terdampak gempa
Krisis kemanusiaan di daerah yang terkena dampak gempa sangat membutuhkan perhatian serius. Pengiriman bantuan sangat terhambat oleh serangan militer yang terus berlangsung. Bahkan saat upaya perbaikan pascagempa dilakukan, laporan menunjukkan bahwa angka serangan militer meningkat saat peristiwa bencana terjadi.
Masyarakat setempat mengaku sulit untuk mendapatkan akses terhadap bantuan dasar. Banyak yang berkumpul di titik-titik distribusi untuk memperoleh makanan dan perlengkapan lainnya. Di Sagaing, misalnya, ratusan orang terlihat berdesak-desakan, berharap mendapatkan apa yang mereka butuhkan di tengah kekacauan.
Fasilitas kesehatan yang tersisa juga kewalahan melayani korban akibat gempa dan kekerasan militer. Persediaan obat dan alat-alat medis menipis, menyulitkan penyediaan perawatan bagi yang terluka. Kondisi ini tetap memprihatinkan, sementara harapan untuk menemukan lebih banyak korban selamat semakin memudar.
Keberhasilan gencatan senjata selama periode ini menjadi sangat krusial untuk mendukung upaya pemulihan dan membantu masyarakat yang sangat membutuhkan. Persoalan geopolitik yang ada di Myanmar tidak boleh menghalangi respons kemanusiaan yang penting ini di tengah tragedi yang menimpa bangsa tersebut.