Mabes Polri resmi menjatuhkan pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) terhadap mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, setelah serangkaian sidang etik terkait berbagai pelanggaran berat yang dilakukannya.
"Dalam sanksi administratif, diputuskan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota kepolisian," ujar Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri, dalam konferensi pers di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Senin (17/3/2025).
Selain pemecatan, AKBP Fajar juga telah menjalani penempatan khusus (patsus) dari 7 Maret hingga 13 Maret 2025. Sidang etik pun memutuskan bahwa perbuatannya dikategorikan sebagai perbuatan tercela. Namun, meski sudah diputuskan di sidang etik, AKBP Fajar tidak tinggal diam, ia mengajukan banding
"Pelanggar dinyatakan banding yang menjadi bagian daripada hak milik pelanggar," ujar Brigjen Trunoyudo.
Deretan Pelanggaran: Dari Kekerasan Seksual Anak Hingga Narkoba
Sidang etik Polri mengungkap bahwa AKBP Fajar tidak hanya sekadar melanggar kode etik, tetapi juga terjerat dalam tindakan kriminal yang mengerikan. Ia terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, persetubuhan dengan anak, perzinaan tanpa ikatan pernikahan yang sah, serta konsumsi narkoba.
Namun yang lebih mengejutkan, ia juga diduga merekam, menyimpan, mengunggah, dan menyebarluaskan video pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur ke situs-situs darkweb—sebuah jaringan situs tersembunyi yang sering digunakan untuk perdagangan ilegal, termasuk eksploitasi seksual anak.
Dalam keterangan yang disampaikan pada Kamis (13/3), Brigjen Trunoyudo membeberkan detail yang lebih mengerikan:
"AKBP Fajar diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan satu orang dewasa berusia 20 tahun."
Tiga anak tersebut masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun.
Puan Maharani: "Harus Dipecat dan Dihukum Seberat-beratnya"
Gelombang kecaman terhadap AKBP Fajar pun datang dari berbagai pihak, termasuk Ketua DPR RI Puan Maharani. Ia menegaskan pemecatan bukanlah hukuman yang cukup, dan AKBP Fajar harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Pelaku harus dipecat, dan kemudian harus diberikan sanksi yang seberat-beratnya," tegas Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Menurut Puan, kasus ini bukan hanya mencoreng nama baik institusi kepolisian, tetapi juga menjadi alarm bahwa kejahatan seksual yang melibatkan aparat penegak hukum harus ditindak dengan tegas agar tidak terulang di masa depan.
Ia juga menyoroti pentingnya perlindungan maksimal bagi para korban, terutama dalam kasus ini yang melibatkan anak-anak.
"Korban harus dilindungi, korban harus diberikan rehab secara perlindungan traumatis, dan ke depannya jangan sampai terulang lagi," katanya.
Puan juga menekankan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada AKBP Fajar harus sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang memberikan tambahan hukuman bagi pelaku yang merupakan pejabat publik.
Ia meminta masyarakat dan semua pihak mengawal proses hukum agar keadilan benar-benar ditegakkan.
"Perlindungan terhadap anak dan perempuan harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara, bukan sekadar wacana tanpa tindakan nyata,” tegasnya.