Kapolres Ngada Cabuli Anak, Apa Saja Hukuman bagi Pedofil dalam Undang-undang Indonesia?

14 Mar 2025 00:49 WIB

thumbnail-article

Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. (Foto: Dok. Humas Polres Ngada)

Penulis: Rizal Amril

Editor: Rizal Amril

Belum lama ini, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur menggemparkan publik, pasalnya pelaku dalam kasus ini adalah Kapolres Ngada nonaktif AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

AKBP Fajar diduga melakukan kekerasan seksual kepada tiga anak berusia 14 tahun, 12 tahun, dan 3 tahun. Tak berhenti sampai di situ, ia merekam tindakan bejat tersebut lalu mengunggahnya ke situs porno Australia.

Kasus ini terungkap setelah otoritas Australia melakukan investigasi terhadap video porno anak pada pertengahan 2024 lalu.

Menurut Direktur Reskrimum Polda NTT Kombes Patar Silalahi, otoritas Australia menemukan video yang dimaksud diunggah dari Kupang, NTT.

Setelah Polda NTT melakukan investigasi lanjutan, didapatkan bukti bahwa pelaku kekerasan seksual tersebut adalah AKBP Fajar.

“Dari hasil penyelidikan itu juga benar diduga pelaku memesan kamar dengan identitas yang tidak terbantahkan lagi yaitu fotokopi SIM di resepsionis hotel atas nama FWL,” kata Kombes Patar Silalahi pada Selasa (11/3/2025).

Lantas, bagaimana undang-undang di Indonesia menghukum pedofilia dan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak seperti yang dilakukan Kapolres Ngada nonaktif AKB Fajar Wudyadharma?

Kekerasan seksual pada anak dalam KUHP

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama (berlaku hingga 2025), terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang tindakan cabul dan kejahatan seksual terhadap anak.

Misalnya, Pasal 287 mengatur mengenai larangan melakukan persetubuhan dengan wanita yang belum berusia lima belas tahun.

Selain itu, Pasal 292 juga melarang perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur.

Sanksi pidana untuk pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut cukup berat. Pelaku pedofilia bisa dikenakan hukuman penjara yang berkisar dari 5 tahun hingga 15 tahun, tergantung pada berat ringannya kejahatan yang dilakukan dan dampak yang ditimbulkan pada korban.

Sementara itu, dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan disahkan pada 2026, pedofilia dapat dihukum dengan Pasal 415.

Dalam pasal tersebut dijelaskan, setiap orang yang "melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga anak" akan dipidana paling lama 9 tahun penjara.

Hukuman pedofil dalam UU Perlindungan Anak

Selain KUHP, pelaku pedofilia di Indonesia juga dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014).

Dalam UU Perlindungan Anak, pelaku pedofilia dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual terhap anak yang berusia kurang dari 18 tahun.

Ada sejumlah pasal yang dijadikan acuan dalam menghukum perilaku pedofilia melalui UU ini, yakni Pasal 81 ayat (1) jo. Pasal 76D UU 35/2014; dan Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 76E UU 35/2014.

Dalam Pasal 76D, disebutkan bahwa, "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain."

Jika melanggar pasal tersebut, maka hukuman yang termuat dalam Pasal 81 ayat (1), yakni pidana 5-15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar dapat diterapkan.

Sementara itu, pasal 76E UU Perlindungan Anak mengatur tentang larangan memperdaya anak untuk melakukan perbuatan cabul yang kerap dilakukan pelaku pedofilia.

Dalam pasal itu, disebutkan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul."

Jika melanggar pasal 76E tersebut, maka hukuman dalam Pasal 82 ayat (1) dapat diterapkan, yakni pidana penjara antara 5-15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.

Bisa dijerat UU TPKS

Selain KUHP dan UU Perlindungan Anak, pelaku pedofilia juga dapat dikenakan pasal-pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pada dasarnya, dalam UU TPKS, tindakan pedofilia dapat dikategorikan dalam tindakan kekerasan seksual yang hukumannya diperberat karena korban masih berusia anak-anak (kurang dari 18 tahun sesuai UU).

Dalam kasus Kapolres Ngada, misalnya, berdasarkan keterangan Kombes Patas Silalahi dalam konferensi pers pada Kamis (13/3), AKBP Fajar dijerat dengan lima pasal UU TPKS, yakni:

  • Pasal 6 huruf C tentang penggunaan relasi kuasa dengan ancaman pidana 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp300 juta.

  • Pasal 12 tentang penggunaan ancaman yang dapat dihukum pidana 15 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.

  • Pasal 14 ayat 1 huruf a dan b tentang tindakan merekam kejahatan seksual yang dilakukan dan mentransmisikannya tanpa persetujuan objek yang direkam; mendapat ancaman pidana 4 tahun dan denda maksimal Rp200 juta.

  • Pasal 15 ayat 1 huruf e, g, c dan i tentang tambahan masa pidana karena kekerasan dilakukan lebih dari sekali (poin e); dilakukan terhadap anak (poin g); dilakukan oleh petugas (poin c); dan dilakukan terhadap perempuan hamil (poin i).

  • Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 1 tentang pembatasan ruang gerak dan hak pelaku oleh hakim.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER