Skandal dugaan korupsi kredit bermasalah yang menjerat PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) kembali mengungkap persoalan lama dalam sistem perbankan Indonesia: standar ganda pemberian pinjaman.
Di satu sisi, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terus bergulat dengan prosedur ketat, persyaratan agunan, dan bunga tinggi; di sisi lain, perusahaan besar dengan profil keuangan buruk tetap mendapat pinjaman ratusan miliar rupiah, tanpa telaah risiko yang memadai.
Pada 21 Mei 2025, Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka dugaan korupsi pemberian kredit kepada Sritex. Mereka adalah Dicky Syahbandinata, mantan Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank BJB; Zainuddin Mappa, mantan Direktur Utama Bank DKI; serta Iwan Setiawan Lukminto, Direktur Utama Sritex periode 2005–2022. Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 55 KUHP.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menyebut kedua bank daerah tersebut memberikan kredit kepada Sritex dan anak usahanya tanpa melalui proses uji kelayakan risiko secara benar.
“Pemberian kredit kepada PT Sritex dilakukan secara melawan hukum karena tidak dilakukan analisa yang memadai dan tidak menaati prosedur serta persyaratan yang telah ditetapkan,” ujar Qohar dalam konferensi pers dikutip Antara di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu, 21 Mei 2025
Skalanya tidak kecil. Pada 2021, Sritex mencatat kerugian hingga 1,08 miliar dolar AS (setara Rp15,66 triliun), berbanding terbalik dengan kondisi satu tahun sebelumnya ketika perusahaan membukukan laba Rp1,24 triliun. Namun di tengah kemerosotan drastis itu, Bank DKI dan Bank BJB justru mencairkan kredit tambahan hampir Rp700 miliar.
Yang lebih mengherankan, lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch dan Moody’s saat itu hanya memberi Sritex peringkat BB–—peringkat yang menandakan risiko gagal bayar tinggi. Di banyak yurisdiksi, peringkat semacam ini seharusnya menjadi alasan kuat menolak pemberian kredit, apalagi tanpa agunan yang memadai. Namun, pinjaman tetap digelontorkan.
“Salah satunya adalah tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja karena hasil penilaian dari lembaga pemeringkat Fitch dan Moodys disampaikan bahwa PT Sritex Tbk hanya memperoleh predikat BB- atau memiliki risiko gagal bayar yang lebih tinggi,” jelas Qohar.
Parahnya, dana yang seharusnya digunakan untuk mendukung operasional malah dialihkan oleh Iwan Lukminto untuk membayar utang lama dan membeli aset non-produktif. Akibatnya, kredit itu kini berstatus kolektibilitas 5 alias tak tertagih. Jaminan yang diserahkan Sritex pun tidak mampu menutup kerugian.
Dari total utang Sritex yang belum dibayar kepada sejumlah bank—termasuk Bank Jateng, BRI, BNI, dan LPEI—senilai lebih dari Rp3,58 triliun, Rp692,98 miliar di antaranya berasal dari pinjaman bermasalah dari Bank DKI dan Bank BJB. Dana ini secara langsung menjadi kerugian keuangan negara, karena bersumber dari dana publik yang dikelola dua bank tersebut.
Kini, Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, namun kerusakan institusional yang ditimbulkan belum selesai. Negara harus menanggung kerugian besar akibat ulah yang diduga melibatkan kongkalikong antara pejabat bank dan pengusaha.
Ketimpangan Kredit: UMKM dan Diskriminasi Struktural
Skandal Sritex menunjukkan bahwa yang menjadi masalah bukan semata korupsi melalui penyalahgunaan wewenang, melainkan kegagalan struktural dalam sistem pembiayaan. Saat perusahaan besar bisa mendapat pinjaman tanpa analisis yang wajar, pelaku usaha kecil sering kali harus menyerah sebelum mengakses modal.
Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden Joko Widodo, menyoroti fakta ini.
“Dalam 2 tahun terakhir alasan terbesar ditolaknya kredit UMKM karena tidak ada agunan pada kredit bank sebesar 59,62% dan kredit fintech non bank 46,43%,” ujarnya dalam acara BRI Microfinance Outlook 2024 di Jakarta, Kamis di Jakarta, Kamis 7 Maret 2024
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2024 menunjukkan rasio kredit bermasalah (NPL) untuk segmen UMKM sebesar 4,27%, naik dari 4,26% di bulan sebelumnya. Sementara itu, proporsi penyaluran kredit ke UMKM masih jauh dari target 30% yang ditetapkan pemerintah.
Perbankan menganggap risiko sektor ini terlalu tinggi, terutama untuk sektor pertanian. “Bank tidak mau memberikan pembiayaan ke petani kecil, karena potensi NPL tinggi, hingga potensi gagal panen. Maka, perlu ada offtaker,” ujar Teten.
Pertanyaannya mengapa Sritex dengan peringkat BB, neraca keuangan yang rapuh, jaminan agunan tak memadai bisa mendapat kredit dari bank senilai ratusan miliar nyaris tanpa keraguan? Jawabannya kehati-hatian perbankan bukanlah prinsip universal, melainkan alat yang kerap hanya diberlakukan pada mereka yang lemah di luar jejaring kekuasaan.
Saatnya Reformasi Kredit
Skandal Sritex seharusnya menjadi panggilan bagi reformasi mendasar dalam praktik pembiayaan nasional. Pengawasan internal bank harus diperketat, dan setiap penyimpangan dari prosedur harus disertai pertanggungjawaban hukum. Tak cukup hanya menjadikan pegawai bank sebagai tumbal; tanggung jawab harus sampai pada pengambil keputusan strategis—termasuk komisaris dan pemilik saham pengendali.
Reformasi juga tak cukup berhenti pada sisi penindakan. Pemerintah perlu mendorong model pembiayaan yang lebih inklusif. Penggunaan sistem credit scoring berbasis rekam jejak penjualan, transaksi digital, hingga rating dari ekosistem e-commerce bisa menjadi alternatif bagi UMKM yang tidak memiliki agunan.
Digitalisasi adalah peluang, tapi hanya akan efektif jika disertai komitmen lembaga keuangan untuk mengubah paradigma risiko—dari berbasis agunan menjadi berbasis kapasitas.
Skandal Sritex bukan sekadar cerita tentang korupsi. Ia adalah cermin dari sistem ekonomi yang masih berat sebelah, tempat keberpihakan tidak ditentukan oleh nilai usaha, tetapi oleh kedekatan dan koneksi. Selama standar ganda dalam perbankan tetap dipelihara, upaya memajukan inklusi keuangan hanya akan jadi wacana tanpa makna.