Advertisement

Kontroversi Komisi Aplikasi Ojek Online Lebih Dari 20%, Grab Jelaskan Rinciannya

16 June 2025 17:11 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi pengemudi Grab dan konsumen Sumber: says.com.

Penulis: Salsabila Farenza

Editor: Indra Dwi Sugiyanto

Isu mengenai skema potongan komisi  yang diterapkan platform ojek online (ojol) seperti Grab kembali menjadi sorotan.

Grab Indonesia pun dituding mengambil potongan hingga 25-30% dari setiap transaksi yang dilakukan oleh pengguna.

Grab pun buka suara untuk meluruskan kesalahpahaman terkait besaran potongan komisi ojek online.

Komisi Diambil dari Tarif Pokok Penjualan

Grab menjelaskan bahwa komisi diambil dari tarif pokok perjalanan, bukan total biaya yang dibayarkan oleh penumpang.

Contohnya, tarif yang dibayar oleh penumpang sebesar Rp14.200, tarif pokok perjalanan yang dijadikan acuan perhitungan komisi hanya Rp13.000. Sisanya terdiri dari komponen lain seperti platform fee sebesar Rp2.000, carbon fee Rp200, serta diskon promosi Rp1.000—semuanya tidak termasuk dalam perhitungan komisi.

Dengan skema ini, Grab mengambil 20 persen dari tarif pokok perjalanan (Rp13.000), yakni Rp2.600. Sisanya Rp10.400, menjadi hak pengemudi. Skema ini merujuk pada aturan resmi dari Kementerian Perhubungan lewat Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 1001 Tahun 2022 yang menetapkan batas maksimum komisi sebesar 20 persen dari tarif dasar.

“Yang harus dipahami, komisi 20 persen itu bukan diambil dari total biaya yang dibayar penumpang di aplikasi, tapi dari tarif pokok perjalanan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” ujar Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi dalam keterangannya kepada wartawan di Kembang Goela, Jakarta, Sabtu (14/6/2025).

“Banyak yang keliru menghitung. Misalnya total transaksi Rp14.200, lalu driver terima Rp10.400, langsung dikira kami ambil 26 persen. Padahal ada komponen lain seperti platform fee, carbon fee, dan diskon yang bukan bagian dari tarif pokok. Kami tidak pernah mengambil lebih dari yang diatur, yaitu 20 persen dari tarif dasar,” Tambahnya.

Untuk Apa Saja Uang Komisi Digunakan?

Namun, publik masih belum puas dengan penjelasan tersebut. Kini, publik mempertanyakan untuk apa saja komisi 20% tersebut digunakan.

Grab menjelaskan bahwa dana dari komisi 20% tersebut digunakan untuk membiayai sejumlah layanan yang menunjang keamanan dan kenyamanan mitra maupun pengguna, antara lain:

  • Asuransi kecelakaan yang telah mencairkan santunan lebih dari Rp100 miliar untuk lebih dari 20.000 kasus, 

  • Layanan dukungan 24 jam (Grab Support), 

  • Program pelatihan keselamatan seperti PAKEM, 

  • Teknologi keamanan seperti Audio Protect dan deteksi kata kasar.

  • Grab Benefits yang mencakup voucher sembako, servis kendaraan, pulsa hemat, hingga beasiswa untuk anak mitra pengemudi.

Namun demikian, masih banyak mitra yang nyatanya tidak mengetahui program-program tersebut. Disinilah transparansi perusahaan aplikator dipertanyakan. Mitra diminta percaya pada sistem, tapi tak diberi alat untuk mengawasi atau menilai manfaatnya.

Wacana Pengangkatan Mitra Menjadi Karyawan Tetap: Antara Fleksibilitas Atau Kepastian

Tak hanya menjelaskan soal komisi, Neneng juga buka suara terkait wacana pengangkatan mitra pengemudi menjadi karyawan tetap. 

Menurut Neneng, langkah tersebut bukanlah suatu hal yang sederhana, mengingat Grab selama ini berperan sebagai “bantalan sosial” bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan. 

Jika mitra diubah menjadi karyawan tetap, maka fleksibilitas itu akan hilang, hanya sebagian kecil dari pengemudi dengan kinerja terbaik yang masih bisa bekerja di platform. Artinya, akses terbuka bagi masyarakat luas akan tertutup.

“Jika status kemitraan diubah menjadi karyawan tetap, yang terjadi adalah fleksibilitas akan hilang. Peluang menjadi terbatas dan hanya sebagian kecil dari mitra dengan kinerja terbaik yang masih dapat bergabung, ini akan menutup akses bagi jutaan orang lainnya untuk mendapatkan kesempatan berusaha melalui platform digital,” ujar Neneng.

Neneng juga menyoroti potensi hambatan lain, yaitu pengemudi akan dituntut untuk memenuhi syarat administratif dan kualifikasi sebagaimana sektor kerja formal. 

Di tengah ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, model kemitraan dianggap lebih inklusif—memberi ruang bagi ibu rumah tangga, mahasiswa, korban PHK, atau siapa saja yang butuh pekerjaan fleksibel.

Tak hanya itu, ia mengingatkan bahwa ekosistem digital Grab lebih luas dari sekadar transportasi. Perubahan status mitra akan berdampak ke layanan lain seperti GrabFood dan GrabMart, yang saat ini menopang ribuan UMKM.

“Dampaknya juga akan dirasakan oleh banyak usaha mikro, kecil, dan menengah yang sangat bergantung pada platform kami,” jelasnya.

Relasi antara pengemudi, perusahaan, dan pengguna tidak bisa dipahami sebagai hubungan jual beli biasa. Di balik satu tarif perjalanan, ada struktur pembagian yang kompleks dan berdampak langsung pada penghidupan jutaan pekerja informal.

Infografis dan pernyataan resmi tidak cukup, yang dibutuhkan adalah transparansi sistem, mekanisme audit manfaat, dan ruang dialog yang setara antara perusahaan dan para mitra. 

Perdebatan soal komisi dan status mitra bukan soal angka semata. Ini menyangkut keadilan dalam ekosistem digital yang terus tumbuh. Di tengah gempuran teknologi, kepercayaan dan keterbukaan tetap menjadi fondasi utama. Tanpa keduanya, pertumbuhan hanya akan menjadi statistik kosong yang gagal mengangkat kesejahteraan mereka yang menopangnya.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER

Advertisement
Advertisement