Opini Zen RS: Kulminasi Politik Oligarkis di Indonesia

21 Oct 2023 10:10 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi oligarki dan penegakan hukum | Dibuat dengan Dall-E 2

Penulis: Zen RS

Editor: Zen RS

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tak ubahnya “pistol Chekov”.

Istilah “pistol Chekov” merujuk formula penulisan kreatif dari Anton Chekov yang menekankan pentingnya setiap elemen yang muncul dalam cerita digunakan seoptimal mungkin agar tak menjadi pajangan yang selintas-lewat.

“Jika di babak pertama Anda sudah menggantungkan pistol di dinding, maka pada babak berikutnya pistol itu harus ditembakkan. Kalau tidak dipakai, jangan letakkan di sana,” kata penulis Rusia tersebut.

Ya, pistol itu sudah tersedia sekarang. Pertanyaan ihwal siapa yang meletakkan pistol itu di panggung sudah tidak penting lagi, sebab ada pertanyaan lain yang lebih menarik: apakah pistol itu akan diledakkan?

“Diledakkan’’, dan bukan “digunakan”. Sebab begitu pistol telah tersedia, seketika ia telah digunakan. Setidaknya digunakan sebagai elemen di atas panggung. Bukankah cara menggunakan pistol tidak hanya dengan ditembakkan? Bahkan sekadar diletakkan di atas meja, atau hanya dikokang, sebuah pistol dapat berguna untuk situasi-situasi tertentu, misalnya untuk menggertak atau unjuk kekuatan; pendeknya: sebagai perangkat negosiasi.

Memang musykil meniadakan hubungan antara judicial review terkait syarat capres cawapres berikut putusan MK dengan sosok Gibran.

Dua poin terpenting dalam gugatan syarat capres dan cawapres, yaitu batas usia dan kepala daerah, semuanya cocok dengan profil Gibran. Apalagi salah satu argumen penggugat Almas Tsaqibbiru adalah “tidak bisa membayangkan terjadinya jika sosok yang dikagumi para generasi muda tersebut [baca; Gibran] tidak bisa mendaftarkan pencalonan presiden sedari awal”.

Bahwa momentum judicial review tersebut, berikut tanggal putusan diumumkan terjadi menjelang dibukanya pendaftaran pasangan capres-cawapres, serta ketidakhadiran Anwar Usman dalam pembahasan tentang batas usia namun hadir dalam pembahasan syarat kepala daerah, hal itu menegaskan bahwa tengara tentang kaitan antara Gibran dengan judicial review dan putusan MK bukanlah othak-athik-gathuk.  

Gibran adalah faktor-X; semacam “gajah di pelupuk” yang terlampau kasat untuk diabaikan dari semesta perdebatan mengenai putusan MK terbaru. 

Gibran di sini bisa dibaca sebagai dirinya sendiri dan/atau sebagai representasi agenda politik ayahnya, Presiden Joko Widodo. Hal itu perlu digarisbawahi agar kita tidak terjebak potensi perdebatan lanjutan tentang, misalnya, (a) belum tentu Gibran maju jadi cawapres, loh; atau (b) tuh, kan, Gibran gak jadi maju, kok. 

Cara agar tidak terjebak pada potensi perdebatan lanjutan tersebut adalah memahami “manuver" konstitusional ini sebagai tersedianya sebuah kartu paling premium – atau pistol menurut analogi chekovian -- dalam bernegosiasi dengan semua elite-nya para elite. Kartu itu dipakai atau tidak bukan lagi pertanyaan, karena begitu kartu itu tersedia maka sejatinya kartu tersebut telah digunakan.      

Di titik ini, pertanyaan “kalau memang pro anak muda, mengapa harus takut dengan usia minimal capres-cawapres dipermuda?” menjadi semakin mudah dijawab. 

Pertanyaan tersebut mengandaikan bahwa anak muda menjadi lebih mudah menjadi kandidat presiden atau wakil presiden jika batas usia tersebut dibuat lebih muda. Pendeknya: mempermuda batas usia capres-cawapres diposisikan sebagai dongkel yang akan memperluas akses terhadap kekuasaan bagi lebih banyak orang, khususnya anak muda.

Sayangnya, realitas politik tidak bekerja dengan cara demikian. Bahkan jika MK mengabulkan tuntutan agar usia minimal capres-cawapres adalah 35 tahun, atau bahkan 21 tahun, dan bukan sekadar mengabulkan tuntutan “pernah/sedang menjadi kepala daerah”, kesimpulannya masih sama: akses warga negara untuk menjadi capres-cawapres masih sama tertutupnya seperti sedia kala.   

Duduk perkara sulitnya mengakses posisi capres-cawapres bukan terletak pada batas usia, dan atau pernah/belum menjabat kepala daerah, melainkan pada aturan bahwa pasangan capres-cawapres hanya bisa diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu yang memperoleh kursi DPR paling sedikit 20 persen dari total kursi atau memperoleh 25 persen suara sah pada pemilu DPR sebelumnya. 

Mengingat sangat sedikit partai yang bisa mencapai 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara dalam Pemilu, ditambah sangat mahalnya biaya kontestasi politik, maka siapa pun, atau partai mana pun, yang hendak memajukan pasangan calon mesti melakukan konsolidasi politik paling canggih yang sanggup mereka lakukan: lobi, negosiasi, ancam-mengancam, penggalangan dana, memobilisasi infrastruktur politik dan kekuasaan, dll.  

Anda mesti membereskan syarat ambang batas itu terlebih dahulu, berikut ubo rampe-nya yang bisa tak tertakar oleh nalar publik — karena hanya dibahas di ruang-ruang private -- jika hendak menjadi cawapres, apalagi capres. Hampir pasti tidak ada anak muda atau kepala daerah mana pun yang bisa mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres, kecuali jika Anda adalah bagian dari elite-nya para elite — jadi, tidak sekadar atau tidak cukup hanya menjadi bagian dari elite.

Kalimat terakhir mudah dicari landasan faktualnya.

Kalimat “pernah/sedang menjabat kepala daerah” tidak akan memicu syak wasangka seperti sekarang jika PDIP tidak membatalkan proses penjaringan internal dalam memilih kandidat calon walikota dan calon wakil walikota Solo, yang saat itu sudah mengerucut pada sosok Achmad Purnomo dan Teguh Prakoso, demi mencalonkan Gibran. Padahal saat itu Gibran belum setahun menjadi kader PDIP dan proses penjaringan internal PDIP dalam mencari kandidat kepala daerah untuk Pilkada 2020 sebenarnya telah ditutup.

Berapa anak muda di negeri ini yang bisa menikmati privilege dalam melakukan politik by-pass seperti itu ke dalam tubuh sebuah partai yang memiliki tradisi panjang seperti PDIP?  

Semua yang terjadi kemarin di gedung MK tidak lahir dalam satu malam. Dan dalam proses ribuan harmal itu, PDIP tak ubahnya Doktor Frankenstein dalam cerita Mary Shelley yang menciptakan sesosok makhluk yang akhirnya tak bisa ia kendalikan lagi.

Putusan MK ini, juga proses penciptaan Gibran sebagai aktor politik, mesti dibaca sebagai buah paling “ranum” dari mekanisme internal partai dan/atau mekanisme konstitusional tentang threshold pencalonan para kandidat eksekutif. Banyak partai, bukan hanya PDIP, pernah menciptakan aktor politik dengan cara PDIP menciptakan Gibran. Lagi pula, bukankah sedikit saja partai di Indonesia yang tak memeram watak dinastik? 

Semua adalah Doktor Frankenstein dalam derajat kesulitan, kesunyian dan penderitaannya masing-masing. Dan banyak dari mereka, kini, dalam sesal yang mungkin berlarat-larat mungkin juga tidak, sebagaimana Frankenstein pada bagian akhir cerita Shelley, berusaha keras mengatasi makhluk-makhluk yang telah mereka ciptakan.

Mekanisme penjaringan para kandidat pemimpin di negeri ini pada akhirnya memang untuk memastikan bahwa hanya mereka yang bisa, mengutip James S. Davidson dalam Indonesia: Twenty Years of Democary (2018, terjemahan Wisnu Prasetya Utomo), “mengakses rente dari negara" sekaligus memastikan bahwa hanya mereka yang "tetap menjadi penentu perebutan posisi politik yang paling didambakan di Indonesia: kepresidenan". 

Inilah tengara paling mutakhir betapa politik Indonesia memang lebih berwatak oligarkis (baca: ditentukan oleh elite-nya para elite) ketimbang demokratis (baca: ditentukan oleh suara publik).

Kini, elite-nya para elite telah mulai mengokang senapannya masing-masing. Dengan cara apa senapan itu diledakkan?

Dalam lakon The Seagull, tokoh Constantine Treplieff muncul dengan menenteng senapan pada babak-babak awal. Anton Chekov lalu memutuskan takdir Constantine di babak akhir: menembakkan senapan ke kepalanya sendiri.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER