Laporan APBN Kuartal Pertama 2025: Dari Defisit hingga Alasan Pelemahan Rupiah

15 Mar 2025 01:23 WIB

thumbnail-article

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan paparan pada konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nz.

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

RINGKASAN

Menyampaikan laporan Januari dan Februari secara bersamaan bukan praktik yang lazim, mengingat biasanya laporan realisasi APBN disampaikan setiap bulan secara terpisah.

Memasuki kuartal pertama tahun 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kondisi terkini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025 yang berlangsung di Jakarta pada Kamis (13/3/2025) lalu, ia melaporkan bahwa hingga 28 Februari 2025, APBN mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Defisit ini mencerminkan selisih antara pendapatan negara dan belanja negara yang telah terealisasi dalam dua bulan pertama tahun ini. Pendapatan negara hingga akhir Februari tercatat Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN 2025 yang ditetapkan sebesar Rp3.005,1 triliun.

Meski demikian, Sri Mulyani menegaskan bahwa angka tersebut masih dalam batas aman sesuai dengan rancangan APBN 2025.

“Defisit APBN 2025 didesain Rp616,2 triliun. Jadi, defisit Rp31,2 triliun masih dalam target APBN, yaitu 2,53 persen terhadap PDB atau Rp616,2 triliun,” ujarnya dalam kesempatan tersebut.

Pajak Masih Mendominasi

Sebagian besar pendapatan negara berasal dari sektor perpajakan, dengan realisasi mencapai Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target. Dari jumlah ini, Rp187,8 triliun diperoleh dari penerimaan pajak, sedangkan Rp52,6 triliun berasal dari kepabeanan dan cukai.

Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga memberikan kontribusi yang signifikan dengan realisasi sebesar Rp76,4 triliun atau 14,9 persen dari target. Angka ini menunjukkan bahwa sektor PNBP, yang mencakup pendapatan dari sumber daya alam, laba BUMN, serta layanan pemerintah, memiliki peran penting dalam menopang pendapatan negara.

Belanja Negara: Fokus pada Pusat dan Daerah

Di sisi pengeluaran, belanja negara hingga Februari 2025 mencapai Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari target tahunan sebesar Rp3.621,3 triliun. Belanja ini terbagi menjadi dua kategori utama, yakni belanja pemerintah pusat (BPP) dan belanja transfer ke daerah (TKD).

Belanja pemerintah pusat tercatat Rp211,5 triliun atau 7,8 persen dari target, dengan rincian:

  • Belanja kementerian/lembaga (K/L): Rp83,6 triliun

  • Belanja non-K/L: Rp127,9 triliun

Sementara itu, belanja transfer ke daerah (TKD) mencapai Rp136,6 triliun atau 14,9 persen dari target, menunjukkan adanya penyaluran dana yang relatif lebih cepat ke pemerintah daerah guna mendukung pembangunan di tingkat lokal.

Keseimbangan Primer dan Tantangan Pembiayaan

Salah satu indikator penting dalam pengelolaan fiskal adalah keseimbangan primer, yang mencerminkan selisih antara pendapatan negara dan belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Hingga Februari 2025, keseimbangan primer mencatat surplus Rp48,1 triliun. Surplus ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, pendapatan negara masih mampu menutup pengeluaran tanpa memperhitungkan biaya utang.

Namun, di tengah surplus keseimbangan primer, realisasi pembiayaan anggaran justru mencapai Rp220,1 triliun, atau 35,7 persen dari target APBN 2025. Sri Mulyani mengakui bahwa terjadi percepatan penarikan pembiayaan dalam dua bulan pertama tahun ini.

“Ini berarti ada perencanaan dari pembiayaan yang cukup front loading. Artinya, realisasinya di awal cukup besar,” jelasnya.

Strategi front loading ini mencerminkan upaya pemerintah untuk memastikan ketersediaan dana sejak awal tahun guna mendukung program-program prioritas, meskipun di sisi lain dapat meningkatkan beban utang jika tidak dikelola dengan baik.

Ketidaklaziman Penggabungan Pengumuman Realisasi APBN Januari-Februari

Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga menjelaskan alasan keterlambatan laporan realisasi APBN. Berbeda dengan pola sebelumnya di mana laporan bulan Januari biasanya dirilis pada Februari dan laporan Februari diterbitkan pada Maret, kali ini Kementerian Keuangan memilih untuk menyampaikan laporan Januari dan Februari secara bersamaan.

Menurutnya, langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa data yang disampaikan kepada publik benar-benar akurat dan stabil, sehingga dapat menghindari risiko misinterpretasi.

“Kami menunggu sampai data cukup stabil sebelum disampaikan kepada publik,” ujarnya.

Sebagai informasi, APBN KiTa merupakan publikasi bulanan yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan guna memberikan transparansi mengenai kinerja pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara. Laporan ini menjadi salah satu bentuk akuntabilitas pemerintah dalam mengelola keuangan negara secara terbuka.

Terlepas dari alasan yang diajukan Sri Mulyani, menyampaikan laporan Januari dan Februari secara bersamaan bukan praktik yang lazim, mengingat biasanya laporan realisasi APBN disampaikan setiap bulan secara terpisah.

Ketidaklaziman ini menimbulkan berbagai spekulasi, termasuk kemungkinan adanya strategi komunikasi fiskal yang lebih berhati-hati dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Beberapa analis menilai bahwa pemerintah mungkin ingin meredam potensi respons negatif dari pasar terhadap kinerja fiskal awal tahun, terutama di tengah volatilitas nilai tukar rupiah dan ketidakpastian kebijakan ekonomi global.

Selain itu, penundaan ini juga dapat mengindikasikan adanya dinamika internal dalam proses penyusunan laporan fiskal, baik terkait konsolidasi data maupun strategi komunikasi pemerintah dalam menghadapi tekanan ekonomi. Hal ini dapat menjadi perhatian bagi investor dan pelaku pasar yang mengandalkan transparansi fiskal sebagai bagian dari kepastian ekonomi.

Pelemahan Rupiah Melewati Rp16.300

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang menembus level Rp16.300 per dolar AS tidak terlepas dari kebijakan Amerika Serikat (AS), terutama sejak Presiden Donald Trump kembali menjabat.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa pada akhir 2024, rupiah masih berada di level Rp16.162 per dolar AS, dengan rata-rata nilai tukar sepanjang tahun sebesar Rp15.847 per dolar AS. Namun, memasuki 2025, rupiah terus mengalami pelemahan. Pada 10 Maret 2025, nilai tukar tercatat di Rp16.340 per dolar AS, dengan rata-rata tahun berjalan (year-to-date/ytd) mencapai Rp16.309 per dolar AS.

Menurut Sri Mulyani, pelemahan ini sebagian besar dipicu oleh kebijakan Trump yang berdampak luas pada pasar keuangan global.

“Mulai Januari, dan terutama semenjak Presiden Donald Trump dilantik, begitu banyak kebijakan eksekutif Trump yang terus-menerus menimbulkan gejolak. Gejolak ini dirasakan di seluruh dunia dan ini terefleksikan pada kurs rupiah,” ujarnya.

Dinamika Global dan Pasar Obligasi Indonesia

Selain pergerakan nilai tukar, gejolak ekonomi global juga memengaruhi imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun. Hingga 10 Maret 2025, yield SBN mengalami fluktuasi dan ditutup di level 6,88 persen, dengan rata-rata tahun berjalan di 6,98 persen.

Meskipun demikian, Kementerian Keuangan menilai bahwa yield SBN masih berada pada level yang kompetitif dan stabil. Pemerintah terus mewaspadai risiko global serta mengambil langkah-langkah mitigasi guna menjaga stabilitas pasar keuangan domestik.

Namun, tekanan terhadap rupiah berlanjut. Pada penutupan perdagangan Rabu (12/3) di Jakarta, rupiah melemah 44 poin atau 0,27 persen, turun ke Rp16.452 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.409 per dolar AS.

Faktor Internal: Pengaruh Rating Fitch terhadap Rupiah

Selain faktor eksternal, tekanan terhadap rupiah juga dipengaruhi oleh hasil penilaian lembaga pemeringkat kredit Fitch Ratings. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa pelemahan rupiah turut didorong oleh rilis rating terbaru dari Fitch.

“Fitch mengafirmasi (kredit) rating Indonesia di level ‘BBB’ dengan outlook stable pada Selasa (11/3). Namun, Fitch menggarisbawahi potensi ketidakpastian dari APBN, terutama dalam jangka menengah, dan memperkirakan pelebaran defisit di tahun-tahun mendatang,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Fitch memproyeksikan bahwa defisit fiskal Indonesia akan sedikit melebar menjadi 2,5 persen dari PDB pada tahun ini, dibandingkan dengan 2,29 persen pada 2024. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Indonesia perlu lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan negara guna menjaga kredibilitas fiskal di mata investor global.

Selain itu, Fitch menyoroti potensi tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026, yang dapat dipicu oleh penurunan permintaan impor dari China serta kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh AS di bawah kepemimpinan Trump.

Sovereign Wealth Fund Danantara dan Risiko Kewajiban Kontijensi

Fitch juga memberikan perhatian khusus pada pembentukan sovereign wealth fund (SWF) Danantara, yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan menarik investasi strategis.

Meskipun secara konsep Danantara bertujuan positif, Fitch menilai bahwa pemerintah perlu memperhatikan potensi risiko kewajiban kontijensi yang dapat timbul akibat pengelolaan dana ini. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, SWF ini berpotensi menambah beban fiskal dalam jangka panjang.

Ancaman Perang Dagang dan Proyeksi Rupiah

Selain faktor internal dan kebijakan AS, rupiah juga menghadapi risiko dari ketegangan perdagangan global. Pengamat pasar uang sekaligus Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menyatakan bahwa pasar masih mencermati ancaman perang dagang yang terus digaungkan oleh Presiden Trump.

Menurutnya, dampak kebijakan proteksionisme AS dapat semakin menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

“Pasar masih mewaspadai ancaman perang dagang karena Presiden AS Donald Trump masih menebar ancaman kenaikan tarif ke negara lain,” ujarnya.

Berdasarkan berbagai faktor yang mempengaruhi pergerakan rupiah, Ariston memperkirakan bahwa nilai tukar masih berpotensi menguat ke arah Rp16.400 per dolar AS, dengan potensi resisten di kisaran Rp16.480 per dolar AS.

Pada pembukaan perdagangan Kamis pagi (13/3) di Jakarta, rupiah mengalami pelemahan tipis 1 poin atau 0,01 persen, turun ke Rp16.453 per dolar AS dari posisi sebelumnya di Rp16.452 per dolar AS.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER