15 Juli 2022 08:07 WIB
Editor: Akbar Wijaya
Oleh: Lynda Ibrahim/ Penulis, Konsultan Bisnis Berdomisili di Jakarta
“Lho, kok cuma makan segitu? Ayo, tambah lagi, dong!”
Kalimat tersebut terlalu sering saya dengar. Sepanjang ingatan saya, sejak kecil saya cenderung makan sedikit. Sepanjang ingatan saya juga, tak ada dokter yang pernah mendakwa saya kurang gizi.
Namun, di kehidupan sosial yang penuh dengan peraturan tak tertulis dan jejaring jebakan perasaan, kebiasaan saya untuk makan secukupnya sering dikalahkan kepentingan seperti, saat saya kecil, tak menyinggung perasaan nyonya rumah, dan saat dewasa, tidak jadi pergunjingan teman makan.
Lebih dari sekali nyonya rumah menyendokkan tambahan ke piring saya tanpa bertanya dulu apakah saya mampu menghabiskannya. Sebagai anak kecil saya sering dipetuahi soal nasi yang menangis bila tak dihabiskan, padahal porsi yang diberikan nyonya rumah dari awal sudah kebanyakan. Setelah remaja, pernah saya memberanikan diri menolak halus dengan alasan takut membuat nasi menangis, saya malah menuai ceramah tentang nasi menangis (mitos), anak Afrika kelaparan (statistika) dan drama nyonya rumah masak sekian jam (pasif-agresif).
Lain lagi dari sisi tamu. “Mumpung gratis, rugi makan cuma sedikit,” adalah komentar yang sering terdengar saat menghadiri undangan. Khas Indonesia, mayoritas acara menyajikan hidangan secara prasmanan. Di sinilah saya kerap melihat Olimpiade mengambil makan terbanyak, tercepat dan teragam-rupa. Secawan padat dari pondok kambing guling, semangkuk penuh dari gubuk dimsum, sepiring besar dari meja utama—seringkali tanpa menghabiskan isi piring sebelumnya. Kadang baru disuap sekali dua, langsung ditinggalkan untuk mengganyang hidangan lainnya, seolah takut rugi betul ke hajatan tanpa super kenyang. Pemandangan sangat umum dalam resepsi Indonesia adalah tumpukan piring kotor dengan sisa makanan yang masih banyak.
Belum lagi menghitung konsumsi air minum. Disajikan dalam gelas atau kemasan, sering sekali orang tidak menghabiskan minuman yang disajikan atau diambilnya sendiri.
Pemilik hajatan tentunya ingin menjamu sebaik-baiknya, sehingga cenderung memesan makanan berlebih. Apalagi dalam tatanan sosial Indonesia, kehabisan makanan saat resepsi bisa berbuah aib. Akibatnya, sering sekali makanan bersisa di pinggan penyaji di akhir resepsi. Problem baru akhirnya muncul: dalam prosedur standar operasional hotel dan tempat acara, makanan yang tidak habis, walau sama sekali belum disentuh tamu, harus dibuang demi alasan higienis.
Pantas saja penelitian Bappenas menemukan fakta: sampah makanan Indonesia mencapai 115-184 kg per orang per tahun antara 2000-2019. Ironisnya, kelaparan karena miskin terjadi tiap hari di negeri ini.
Seorang teman pernah berkilah bahwa melicin-tandaskan piring terkesan rakus. Saat saya tanya apakah generasi sekarang sudah tidak dibesarkan dengan ungkapan nasi menangis, ia menukas bahwa jaman sudah berubah. Jadi, intinya, prilaku makan tetap digayuti standar sosial, tapi arahnya berbalik? Baiklah.
Seorang kawan lain mencoba berfilsafat bahwa perilaku asal serbu makanan tanpa menghabiskan bermuara dari jarangnya hidangan mewah dalam hidup keseharian. Saya sulit menerima argumen ini karena banyak orang yang saya saksikan menyisakan makanan berasal dari kalangan yang mampu beli dimsum, Korean BBQ, atau lasagna tanpa diundang makan gratis dulu.
Apalagi 1-2 dekade terakhir ini, saat Indonesia makin makmur dan restoran all you can eat menjamur. Orang datang berduyun, mengisi piring hingga menggunung, dan cenderung acuh saat tidak menghabiskannya di pengujung.
“Kan sudah bayar, hak saya mau habiskan apa tidak,” jawaban seragam tiap saya iseng bertanya.
Saya bukan psikolog apalagi psikiater, tapi saya merasa argumen tentang hak inilah yang meringankan tangan untuk membuang makanan. Sudah bayar di restoran atau bawa kado ke resepsi, berhak memenuhi piring tanpa kewajiban menghabiskannya. Self-entitlement adalah sebuah sikap yang kerap sulit diurut hulunya, tapi selalu bermuara ke kesewenang-wenangan. Termasuk dalam membuang-buang makanan.
Tentu tidak semua sisa makanan datang dari niat buruk atau kemalasan menandaskan. Saat Ramadhan saya sering dapat kiriman penganan bertubi. Pada akhirnya, setelah berterimakasih pada pengirim, saya hanya menyimpan 1-2 porsi, sedang sisanya saya bagikan ke sekitar. Walau lega tidak menghasilkan sampah, saya merasa agak bersalah karena seolah tidak menghargai kiriman teman.
Mengalami problem yang sama, seorang sahabat mulai mengubah kebiasaan Ramadhan dan Natal lalu dengan mengirim tanda kasih dalam bentuk non-makanan. Saya pribadi senang-senang saja karena kebetulan belum punya cawan mungil seperti yang ia kirimkan. Namun, bagi sahabat lain yang sedang berusaha keras “menguras” barang di rumah a la Marie Kondo, hantaran cawan itu menciptakan problem baru – sebuah lingkaran masalah lain yang patut dibahas pada ruang dan waktu yang lain.
Kebiasaan jelek ini menjadi masalah bersama karena pasokan bahan makanan makin mengetat seiring perubahan iklim global. Hukum dasar ekonomi secara alami akan berjalan, di saat pasokan turun dan permintaan sama maka harga naik. Beberapa bulan ini saja se-Indonesia sudah teriak dengan kenaikan harga telur, minyak goreng, cabai, dan bahan pokok lainnya, kan? Bayangkan bila permintaan yang muncul datangnya dari penggelembungan kebutuhan karena berbagai alasan bisnis dan sosial yang diulas di atas. Bila yang saat ini masih mampu terus menyedot pembelian maka harga akan terus terkatrol, terlepas nantinya dihabiskan atau tidak. Pada suatu titik, harga makanan akan tidak terjangkau bagi mayoritas publik.
Mencoba mematuhi RKUHP yang baru, katanya kritik mesti disertai solusi, saya mengajak semua orang untuk keluar dari kebiasaan jelek membuang-buang makanan hanya karena mampu membayar atau merasa diundang sebagai tamu terhormat. Saya juga tidak anti pada orang yang makan banyak. Ambil sebanyak Anda mau, asal bisa habiskan. Bila tidak yakin besaran porsi, tanyakan dulu sebelum pesan. Sebisanya pesan sesuai kapasitas lambung. Tetap berlebih? Hilangkan malas dan malu untuk menentengnya pulang. Bila bisa membuat acara dengan hidangan perorangan, pilih itu ketimbang prasmanan yang rentan jadi sumber makanan terbuang.
Di bawah serangan perubahan iklim global, kita perlu cerdas mengkonsumsi bahan makanan demi tidak ramai-ramai kelaparan di masa depan. Kalau pun Anda tidak pernah percaya mitos nasi menangis atau kasihan orang lain kelaparan, paling tidak pedulilah pada hitungan iklim pertanian dan bisnis bahwa membuang-buang makanan hanya mendorong harga makanan makin tinggi bagi populasi dunia.
Selama belum ikut Elon Musk beremigrasi ke Mars, Anda punya kepentingan terhadap ketersediaan dan harga makanan di bumi.
Stop. Membuang-buang. Makanan.
KOMENTAR
Latest Comment