Alasan Masyarakat Anti Korupsi Tolak Keputusan KPU Hapus Aturan Pelaporan Dana Sumbangan Kampanye di PKPU

7 Juni 2023 20:06 WIB

Narasi TV

Penulis: Dzikri N. Hakim

Editor: Akbar Wijaya

Masyarakat Indonesia Anti Korupsi untuk Pemilu Berintegritas yang mewakili 144 organisasi dari Aceh hingga Papua meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap mengatur Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Hal ini untuk mendorong publik terus mengawasi proses Pemilu 2024 berjalan jujur, adil, bersih, demokratis, dan konstitusional.

“Kami menuntut KPU untuk membuka akses informasi publik atas laporan dana kampanye secara memadai, termasuk akses terhadap informasi dalam Sistem Informasi Dana Kampanye (SIDAKAM) dalam format yang mudah diakses, dan membuka akses informasi atas data SIDAKAM tersebut ke publik (Pasal 101),” kata Valentina Sagala perwakilan Masyarakat Anti Korupsi untuk Pemilu Berintegritas dalam konferensi pers di Gedung KPU RI, Selasa (6/6/2023).

Valentina mengatakan KPU harus mewajibkan peserta pemilu untuk menyusun dan melaporkan LPSDK pada periode masa kampanye dan sebelum pemungutan suara, sebagaimana telah diterapkan sejak Pemilu 2014.

Menurutnya KPU perlumemberikan ruang partisipasi publik lebih luas dengan memperpanjang jangka waktu pengaduan masyarakat atas laporan dana kampanye dengan waktu yang memadai, serta menyosialisasikan secara luas kepada seluruh masyarakat pemilih.

Selain itu, mereka juga meminta KPU dan BAWASLU untuk melakukan pemeriksaan dan verifikasi yang memadai atas kebenaran data laporan dana kampanye baik LADK, LPSDK dan LPPDK untuk mencegah risiko manipulasi data dan potensi aliran dana ilegal dari sumber-sumber rawan tindak pidana khususnya korupsi.

Masyarakat Indonesia Anti Korupsi untuk Pemilu Berintegritas juga meminta Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengaturan oleh KPU untuk memastikan terwujudnya pemilu yang berkepastian hukum dan berintegritas.

“Karenanya, Bawaslu harus segera menerbitkan Rekomendasi kepada KPU untuk segera menetapkan kewajiban peserta pemilu menyusun dan melaporkan LPSDK Pemilu 2024,” kata Valentina.

Selain itu mereka juga mendesak KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk melakukan rapat tripartit untuk memastikan KPU mengatur kewajiban peserta pemilu menyusun dan melaporkan LPSDK, disertai pengawasan oleh Bawaslu.

“Dalam hal lembaga penyelenggara pemilu tidak menindaklanjuti tuntutan di atas, Kami akan mengambil upaya pelaporan/pengaduan ke DKPP,” ucap Valentina.

Sudah Dihapus KPU

Kewajiban para peserta pemilu untuk menyusun dan melaporkan LPSDK sudah diatur dan diterapkan sejak Pemilu 2014 dan terus diberlakukan pada Pilkada 2015, Pilkada 2017, Pilkada 2018, Pilkada 2020, dan Pemilu Serentak 2019.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI bersama KPU RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/52023) KPU menjelaskan alasan menghapus ketentuan pembukuan dan penyampaian LPSDK dari peserta pemilu kepada KPU untuk Pemilu 2024

“LPSDK dihapus karena tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu),” ujar anggota KPU RI Idham Kholid dikutip Antara.

Pada Pemilu 2019, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 34 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu, KPU mewajibkan setiap peserta pemilu menyampaikan LPSDK.

PKPU Nomor 34 Tahun 2018 mengatur bahwa peserta Pemilu 2019 wajib menyusun pembukuan penerimaan sumbangan dana kampanye yang mereka terima setelah membukukan laporan awal dana kampanye (LADK) serta menyampaikan kepada KPU sesuai dengan tingkatannya.

Namun, pada Pemilu 2024, KPU menghapus ketentuan itu dalam Rancangan PKPU tentang Pelaporan Dana Kampanye. Selain karena LPSDK tidak diatur dalam UU Pemilu, KPU menghapus ketentuan tersebut karena masa kampanye Pemilu 2024 lebih singkat dibandingkan masa kampanye di Pemilu 2019 yang berlangsung selama enam bulan tiga minggu.

"Singkatnya, masa kampanye mengakibatkan sulitnya menempatkan jadwal penyampaian LPSDK. Sebagaimana diatur dalam Lampiran I PKPU Nomor 3 Tahun 2022, masa kampanye selama 75 hari yang akan dimulai pada 28 November 2023 dan akan diakhiri pada 10 Februari 2024," ujarnya.

KPU juga memutuskan untuk menghapus ketentuan penyampaian LPSDK oleh peserta pemilu karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye itu telah dimuat dalam LADK dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).

Idham menyebut LPSDK dihapus karena akan diganti dengan sistem informasi dana kampanye (Sidakam).

Ia memastikan penerimaan sumbangan dana kampanye tetap wajib disampaikan ke KPU melalui Sidakam. Ia mengklaim Sidakam justru lebih mendorong transparansi ketimbang sistem sebelumnya.

“Misalnya yang bersangkutan (peserta pemilu) menerima dana kampanye di hari ketiga masa kampanye, di hari keempat kami akan meminta ke mereka untuk mengupdate informasi itu [ke Sidakam] dan ditampilkan ke publik,” kata Idham di Jakarta, Selasa (6/6/2023).

Idham menjelaskan, Sidakam milik KPU itu nantinya akan bisa diakses oleh publik melalui situs infopemilu.kpu.go.id agar publik juga bisa tetap mengontrol aliran dana kampanye oleh peserta pemilu.

Kendati demikian Idham mengatakan dalam Sidakam tidak semua data dana kampanye ditampilkan. Sebab, ada beberapa data yang dilindungi oleh Undang-undang perlindungan data pribadi.

“Berisi tentang dana kampanye, bersifat sumbangan, nilainya disampaikan. Yang enggak ditampilkan itu berupa kwitansi, NIK,” tutup dia.

Mencoreng Rekam Jejak KPU

Menurut Valentina, meskipun KPU mengatakan akan mengakomodasi penyampaian LPSDK melalui aplikasi Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), ketentuan yang mewajibkan peserta Pemilu 2024 untuk menyampaikan laporan tersebut tetap harus dimuat dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pelaporan Dana Kampanye Pemilu 2024.

Hal ini karena kewajiban itu merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan pemilu untuk menghasilkan pemerintahan bersih yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Penghapusan LPSDK juga dinilai bertentangan dengan prinsip pemilu berintegritas yang mensyaratkan penyelenggara pemilu melaksanakan tugas sesuai 11 prinsip berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No. 7 tahun 2017, yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien.

“Perubahan aturan ini bahkan bertentangan dengan semangat menciptakan keteraturan aturan pemilu dan mencoreng rekam jejak KPU sebagai penyelenggara pemilu yang berintegritas selama ini,” kata Valentina.

Dirinya juga menyebut KPU memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugasnya secara profesional. Guna mewujudkan pemilu yang berintegritas dan memperkuat pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

“KPU wajib melaksanakan tugasnya dengan profesional dan menerbitkan pengaturan teknis pemilu yang mempunyai manfaat untuk mewujudkan pemilu berintegritas dan memperkuat pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi,” ucapnya.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR