30 Juni 2022 20:06 WIB
Editor: Akbar Wijaya
Ne bis in idem memberi kepastian hukum kepada seseorang dalam satu perkara.
Jaksa Agung St. Burhanuddin telah mengumumkan penetapan tersangka kepada eks-Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar dan pemilik PT. Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedajo, Selasa (29/6/2022) dalam kasus korupsi di PT. Garuda Indonesia.
Eh, bentar dulu deh, bukannya mereka sudah divonis pengadilan dalam perkara korupsi di PT. Garuda Indonesia yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Iyap benar banget. Itulah makanya Jaksa Agung bilang akan koordinasi dengan KPK agar perkara ini tidak masuk ne bis in idem.
“Karena KPK ada beberapa yang sudah tuntas di KPK. Kami akan selalu berkoordinasi agar tak terjadi ne bis in idem,” kata Burhanuddin saat konferensi pers di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Minggu (19/01/2022).
Nebis in idem merupakan asas hukum yang bermakna suatu perkara dengan subjek dan objek materi sama dan telah diputus pengadilan berkekuatan hukum tetap maka perkara itu tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya (niet ontvankelijk verklaard).
Nebis in idem diatur dalam Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan seseorang tidak boleh dihukum dua kali untuk perkara yang sama apabila sebelumnya sudah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan asas nebis in idem ada untuk memberi kepastian hukum terhadap nasib seseorang dalam sebuah perkara.
Di sisi lain nebis in idem juga dimaksudkan agar aparat penegak hukum bekerja hati-hati dan komprehensif dalam menangani perkara demi menjunjung tinggi kehormatan peradilan.
“Dakwaan yang pertama itu harus mengakomodir juga perbuatan selain yang terakhir tapi juga yang pertama. Dakwaannya harus mengakomodir semua perbuatan,” kata Fickar saat dihubungi Narasi (29/06).
“Ini juga harusnya jadi memberikan kepastian hukum bagi seseorang yang pernah dijatuhi putusan, terlebih lagi kalau putusannya bebas, misalnya.”
Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Febrie Ardiansyah memastikan perkara Emirsyah Satar yang mereka tangani tidak masuk asas ne bis in indem.
“Apakah ini ne bis in idem atau tidak, itu ada objek yang berbeda dan ada konstruksi perbuatan yang berbeda,” ujar Febrie.
Menurut Febrie Kejagung lebih menyoroti pertanggungjawaban penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki Emirsyah, sehingga dijerat UU Tipikor. Sedangkan KPK saat itu mengusut kasus penerimaan suap yang dilakukan jajaran direksi Garuda, termasuk Emirsyah.
Namun, Fickar menilai dalil ini tak bisa dijadikan Kejagung untuk mengklaim sebagai penyidikan baru.
“Nah, ketika dia diadili, ya sama aja dengan mengadili juga tanggung jawab pekerjaannya. Artinya gini loh, tidak mungkin perbuatan yang dituduhkan KPK itu dilakukan oleh orang yang tidak berkapasitas pekerjaannya seperti ES,” katanya.
Fickar mengatakan Kejagung bisa menjerat Emirsyah sepanjang locus dan tempus dalam perkara yang diperiksa berbeda dengan yang pernah ditangani KPK.
“Celahnya adalah perbuatan lain. Kalau perbuatannya masih itu, satu dari sudut perbuatan, satu dari sudut akibat, misalnya, itu kan sama aja, tetep bisa ne bis kalau itu,” ujar Fickar.
“Pokoknya ada kegiatan lain ada unsur pidana lain yang merugikan negara yang berbeda objeknya. Tapi bukan yang digarap KPK.”
Penyelidikan Kejagung berawal dari laporan Menteri BUMN Erick Thohir yang menyebut Garuda punya masalah keuangan hingga Rp140 triliun. Setelah diusut masalah ini bersumber dari Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) tahun 2009-2014 yang mau mengadakan pesawat baru.
Pengadaan pesawat-pesawat ini dinilai tidak lulus analisis segala kebutuhan perusahaan, hingga ngerugiin Garuda. Nah, karena saat itu Emirsyah menjabat sebagai Dirut, Kejagung menjeratnya dengan UU Tipikor karena menggunakan kewenangannya hingga merugikan negara juga.
Sedangkan KPK menjerat Emirsyah dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atas kasus pengadaan pesawat dan mesin Airbus juga Rolls-Royce. Emirsyah terbukti dapat suap sebesar Rp 5,8 Miliar untuk menyetujui proyek perawatan mesin dan pengadaan pesawat baru lewat pihak ketiga.
Pada 8 Mei 2020, PN Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara kepada Emirsyah dan diwajibkan mengembalikan uang korupsi ke negara senilai SGD 2,1 juta.
KOMENTAR
Latest Comment