Mengapa Mengatasi Ancaman AI Dinilai Lebih Mendesak Ketimbang Perubahan Iklim?

8 Mei 2023 23:05 WIB

Narasi TV

Pelopor kecerdasan buatan, Geoffrey Hinton, berhenti dari Google dan menyuarakan kekhawatirannya pada teknologi itu.(Reuters: Mark Blinch/File)

Penulis: Dzikri N. Hakim

Editor: Akbar Wijaya

Geoffry Hinton, tokoh pelopor kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) Geoffrey Hinton mengingatkan potensi bahaya atas karya buatannya itu. Hinton bilang ancaman AI terhadap eksistensi manusia lebih mendesak ketimbang perubahan iklim.

Pria berusia 75 tahun ini baru saja mengumumkan pengunduran diri dari Google setelah bekerja selama kurang lebih satu dekade di perusahaan tersebut.

Selain karena faktor usia yang menjadi pertimbangannya, keputusan itu juga tak lepas dari niatnya untuk meningkatkan perhatian akan bahaya dari kecerdasan buatan secara lebih bebas.

Kenapa Mengatasi AI Lebih Mendesak dari Krisis Iklim?

Kekhawatiran Hinton berangkat dari maraknya pengembang AI yang berlomba-lomba menciptakan temuan lebih canggih. Ia khawatir perkembangan kecanggihan AI yang terlalu pesat membuat teknologi tersebut lebih cerdas daripada pembuatnya: manusia.

"Bukannya saya bermaksud meremehkan perubahan iklim. Saya tidak ingin mengatakan, 'Anda tidak perlu khawatir tentang perubahan iklim.' Itu juga risiko yang sangat besar," kata Hinton kepada Reuters.

"Tapi saya pikir, ini (masalah AI) mungkin akan menjadi lebih mendesak.", jelasnya.

Hinton mengatakan ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencegah ancaman perubahan iklim. Namun untuk ancaman AI, upaya pencegahannya belum mencapai titik yang jelas.

"Dengan perubahan iklim, sangat mudah untuk merekomendasikan apa yang harus Anda lakukan: Anda berhenti membakar karbon. Jika Anda melakukannya, pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja. Untuk ini (AI) sama sekali tidak jelas apa yang harus Anda lakukan," katanya mewanti-wanti.

Bukan Berarti Menghentikan Penelitian

Meski khawatir, Hinton tidak setuju bila penelitian terkait teknologi AI dihentikan.

“Ini sama sekali tidak realistis,” katanya dalam wawancara kepada Reuters.

"Saya di kubu yang berpikir ini adalah risiko eksistensial, dan itu cukup dekat sehingga kita harus bekerja sangat keras sekarang, dan mengerahkan banyak sumber daya untuk mencari tahu apa yang bisa kita lakukan," tambahnya.

Pada November 2022 lalu, OpenAI yang didukung Microsoft memulai persaingan dalam teknologi ini, dengan merilis chatbot yang bernama ChatGPT yang bisa diakses secara leluasa oleh umum.

Sejak itu, tanpa butuh waktu lama, chatbot tersebut mampu meraih 100 juta pengguna pertama mereka dalam kurun waktu dua bulan saja, terhitung pada Januari 2023.

Sejauh ini, penggunaan ChatGPT masih sekadar dilakukan manusia untuk membantu kebutuhan mereka, tapi di sisi lain kehadiran chatbot ini juga sudah dapat menggantikan pekerjaan yang bisa dilakukan manusia, seperti menjadi asisten pribadi dan penerjemah.

Pentingnya Mendorong Transparansi

Di Uni Eropa, sebuah komite anggota parlemen menanggapi surat yang ditandatangani CEO Twitter Elon Musk, menyerukan Presiden AS Joe Biden untuk mengadakan pertemuan puncak global, tentang arah masa depan teknologi dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

Pekan lalu, serangkaian proposal penting yang menargetkan AI generatif disetujui.

Kesepakatan ini akan memaksa perusahaan seperti OpenAI untuk mengungkapkan materi hak cipta apa pun yang digunakan untuk melatih model temuan mereka.

Sementara itu, Biden mengadakan pembicaraan dengan sejumlah pemimpin perusahaan AI, termasuk CEO Alphabet Sundar Pichai dan CEO OpenAI Sam Altman di Gedung Putih, menjanjikan sebuah diskusi yang jujur ​​​​dan membangun, tentang perlunya perusahaan lebih transparan tentang sistem mereka.

Menanggapi hal ini, Hinton menyebut memang perlu adanya sinergi antara politisi dan petinggi perusahaan pengembangan teknologi.

“Pemimpin teknologi paling memahaminya, dan politisi harus terlibat”, kata Hinton.

“Itu mempengaruhi kita semua, jadi kita semua harus memikirkannya.”

Elon Musk Minta Perkembangan AI Ditunda

Sebelumnya, pada bulan April lalu, CEO Twitter Elon Musk bergabung dengan sekelompok pakar AI dalam penandatanganan surat terbuka yang menyerukan jeda enam bulan.

Bertajuk “Pause Giant AI Experiment” surat itu mengacu pada keamanan serta potensi ancaman yang bisa timbul bagi masyarakat.

Selain Elon, surat terbuka itu juga ditandatangani oleh CEO Stability AI Emad Mostaque, peneliti di DeepMind milik Alphabet, dan sesama perintis AI Yoshua Bengio dan Stuart Russell.

Jeda tersebut diambil sebelum nantinya dilakukan kembali pengembangan sistem yang lebih kuat daripada GPT-4 OpenAI yang baru saja diluncurkan.

Sejak dikembangkannya jaringan neural oleh Hinton pada 2012 lalu, kecepatan perkembangan AI telah mengejutkan banyak orang, karena bisa dibilang memiliki perubahan yang signifikan.

Saking cepatnya perkembangan AI tersebut, petinggi Google Sundar Pichai dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa dia sendiri tidak sepenuhnya paham dengan teknologi ciptaan perusahaannya sendiri, Bard.


NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR