Mengapa Publik Pantas Khawatir dengan Revisi UU TNI?

17 Mar 2025 20:18 WIB

thumbnail-article

SEMARANG, 9/10 - HUT TNI. Sejumlah prajurit TNI berbaris sambil memegang senjata, saat mengikuti defile pasukan pada peringatan HUT ke-63 TNI, di lapangan Kodam IV/Diponegoro, di Semarang, Kamis (9/10). Puncak peringatan HUT TNI yang mengusung tema "Dengan Semangat Satu Abad Kebangkitan Nasional, TNI Bersama Segenap Komponen Bangsa Siap Menjaga Kedaulatan NKRI" itu akan berlangsung pada 14 Oktober mendatang di Surabaya. FOTO ANTARA/R. Rekotomo/ss/mes/08

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

RINGKASAN

"Pembahasan ini tidak sesuai karena diadakan tertutup."

Pembahasan revisi UU TNI menuai kritik publik. Kekhawatiran utama dalam revisi ini adalah potensi kembalinya dwifungsi TNI, konsep zaman Orde Baru yang memungkinkan militer memainkan peran ganda dalam urusan pertahanan dan pemerintahan sipil.

Dua dekade lalu, reformasi 1998 berusaha menghapus konsep dwifungsi dengan memastikan militer fokus pada tugas pertahanan negara, sementara urusan pemerintahan dijalankan oleh otoritas sipil. Upaya ini bertujuan agar supremasi sipil tetap terjaga, dan militer tidak lagi menjadi kekuatan politik seperti di era Orde Baru.

Namun, revisi UU TNI yang saat ini dibahas justru memberi sinyal sebaliknya. Pernyataan para wakil rakyat bahwa revisi ini akan mengontrol keterlibatan TNI, tetap menjunjung supremasi sipil, dan dilakukan dengan transparansi serta partisipasi publik yang luas tak selaras dengan praktik di lapangan.

Proses pembahasan yang minim transparansi dan penambahan jumlah lembaga yang boleh diisi militer aktif membuat publik bertanya: apakah revisi akan membuka kembali jalan bagi militer untuk lebih dalam mengatur urusan sipil?

Membatasi Kewenangan Militer Aktif atau Sebaliknya?

Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto misalnya, menegaskan bahwa revisi ini justru membatasi keterlibatan personel TNI aktif dalam jabatan sipil, bukan memperluasnya.

"Saya juga sudah berkali-kali bicarakan, justru ini melimitasi (membatasi)," ujar Utut di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3).

Ia menyampaikan bahwa Komisi I DPR RI telah mendengar berbagai aspirasi dari masyarakat, termasuk pakar, akademisi, purnawirawan, dan lembaga masyarakat sipil. Namun, hingga kini, perdebatan mengenai potensi kembalinya dwifungsi TNI dalam pemerintahan sipil masih menjadi isu utama dalam revisi undang-undang ini.

Menurut Utut, dalam pembahasan tersebut, Komisi I DPR tidak dalam posisi mendukung atau menolak suatu usulan, melainkan bertugas menyerap aspirasi untuk membentuk regulasi yang terbaik.

"Kami menyerap aspirasi untuk pembentukan undang-undang," katanya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa dalam rapat kerja antara Komisi I DPR dan Panglima TNI beberapa waktu lalu, telah disepakati bahwa RUU ini harus tetap mengedepankan supremasi sipil dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Di tengah polemik yang terus bergulir, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa DPR RI berkomitmen menjaga supremasi sipil dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, di balik pernyataan itu, masih ada pertanyaan besar: Benarkah revisi ini memperkuat supremasi sipil, atau justru sebaliknya?

Dasco menyebut ada tiga pasal yang mengalami perubahan dalam RUU TNI, yakni terkait kedudukan TNI, usia pensiun, serta jabatan sipil yang bisa diisi prajurit TNI aktif. Ia menegaskan bahwa penambahan jabatan sipil dalam aturan ini sebenarnya hanya mengakomodasi kondisi yang sudah terjadi saat ini.

"Dan tentunya rekan-rekan dapat membaca nanti dan dapat menilai tentang apa yang kemudian direvisi," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

Namun, pernyataan ini tidak serta-merta meredakan kekhawatiran publik. Sejak RUU ini mulai dibahas, gelombang kritik terus bermunculan, terutama di media sosial, yang menyoroti kemungkinan kembalinya dwifungsi TNI. Dasco pun menyadari hal ini.

"Kami memonitor penolakan-penolakan di media sosial maupun media massa. Nah, untuk itulah konferensi pers dilaksanakan pada hari ini untuk menjelaskan," katanya.

Faktanya Kewenangan Bertambah dari 10 Jadi 16

Berbeda dengan Utut, anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin justru mengonfirmasi bahwa jumlah kementerian/lembaga (K/L) yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif mengalami penambahan menjadi 16, dengan masuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) ke dalam daftar lembaga yang diperbolehkan.

"Karena dalam peraturan presiden itu dan dalam pernyataannya, BNPP yang rawan dan berbatasan memang ada penempatan anggota TNI," ujar Hasanuddin saat ditemui di sela Rapat Panja RUU TNI di Jakarta, Sabtu.

Penambahan ini tentu berlawanan dengan klaim bahwa revisi ini bertujuan membatasi peran militer di ranah sipil. Jika memang ingin membatasi, mengapa jumlah lembaga yang bisa ditempati prajurit aktif justru bertambah?

Dalam UU TNI yang masih berlaku, hanya terdapat 10 kementerian/lembaga yang dapat ditempati oleh prajurit aktif. Namun, dalam revisi ini, jumlahnya bertambah secara bertahap—dari 10 menjadi 15, lalu dalam pembahasan Panja DPR, bertambah lagi menjadi 16.

Menurut Hasanuddin, prajurit TNI yang ingin menduduki jabatan di luar daftar 16 K/L tersebut harus mengundurkan diri dari kedinasan.

"Jadi, yang sudah final sebanyak 16 kementerian/lembaga, di luar itu harus mundur," ujarnya.

Lembaga yang diperbolehkan diisi prajurit aktif mencakup:

  • Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan

  • Kementerian Pertahanan

  • Sekretariat Militer Presiden

  • Badan Intelijen Negara (BIN)

  • Badan Siber dan Sandi Negara

  • Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)

  • Dewan Pertahanan Nasional

  • Badan SAR Nasional

  • Badan Narkotika Nasional (BNN)

  • Kementerian Kelautan dan Perikanan

  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

  • Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

  • Badan Keamanan Laut (Bakamla)

  • Kejaksaan Agung

  • Mahkamah Agung

  • Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

Jika diperhatikan, daftar ini mencakup lembaga-lembaga yang memiliki peran strategis dalam pemerintahan sipil. Dengan bertambahnya jumlah K/L yang bisa ditempati prajurit aktif, muncul kekhawatiran bahwa revisi ini bukan membatasi peran TNI, melainkan membuka jalan bagi militer untuk kembali masuk ke dalam birokrasi sipil dengan justifikasi legal.

Faktanya Pembahasan Dilakukan Tertutup di Hotel

Salah satu aspek yang paling disorot dalam pembahasan RUU ini adalah lokasi dan transparansinya. Rapat Panitia Kerja (Panja) DPR RI membahas RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3) malam, bukan di kompleks parlemen seperti biasanya.

Koalisi masyarakat sipil yang mengkritisi hal ini mencoba mendatangi ruangan rapat, namun mereka tidak diberikan akses.

"Pembahasan ini tidak sesuai karena diadakan tertutup," ujar Andrie Yunus, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), saat menerobos masuk ke ruang rapat Panja.

Menanggapi insiden ini, Dasco mengatakan bahwa DPR RI terbuka terhadap masukan masyarakat, tetapi menilai tindakan koalisi masyarakat sipil tersebut sebagai tindakan yang tidak sesuai prosedur.

"Dan kemudian kalau ada insiden itu ada di luar kekuasaan yang sedang membahas karena kita tidak tahu bahwa di luar kemudian ada kejadian seperti itu. Pada hari ini saya juga menerima perwakilan dari teman-teman NGO untuk berdiskusi karena mereka minta kemarin untuk ditemui," ujarnya.

Namun, pernyataan ini tidak menjawab pertanyaan utama: mengapa pembahasan RUU yang begitu krusial dilakukan secara tertutup di hotel? Jika memang DPR berkomitmen pada transparansi dan supremasi sipil, seharusnya tidak ada alasan untuk membahas revisi ini jauh dari mata publik.

Senada dengan Dasco, Utut juga membantah tudingan bahwa pembahasan dilakukan secara diam-diam dan dikebut tanpa partisipasi publik.

"Kalau ditanya tadi soal keputusan itu sudah dijawab, kalau soal partisipasi itu semua sudah kita undang," ujarnya.

Dengan kondisi seperti ini, wajar jika publik tidak percaya pada klaim pemerintah dan DPR. Wajar jika masyarakat bertanya-tanya, benarkah ini untuk menjaga supremasi sipil, atau justru menjadi jalan baru bagi kembalinya dominasi militer di pemerintahan? Tanpa transparansi yang memadai dan mekanisme pengawasan yang ketat, revisi ini bisa menjadi langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER