Mengapa Sepak Bola Menjadi Anak Emas yang Rawan Dipolitisasi?

23 Mei 2023 09:48

Narasi TV

Menpora Dito Ariotedjo (keempat kanan) bersama Ketum PSSI Erick Thohir (ketiga kanan), pesepak bola Timnas Indonesia U-22, ofisial dan pengurus PSSI saat mengikuti arak-arakan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (19/5/2023). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.

Penulis: Dzikri N. Hakim

Editor: Akbar Wijaya

Siman Sudartawa, atlet renang Indonesia peraih emas nomor 50 meter gaya punggung putra pada SEA Games XXXII/2023 memilih meninggalkan kirab juara Sea Games yang digelar Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Jum’at (19/5/2023).

Siman awalnya ikut dalam mobil karnaval yang disediakan Kemenpora RI untuk puluhan atlet dari 31 cabang olahraga (cabor) peraih medali Sea Games 2023.

Namun di tengah perjalanan Siman memutuskan turun dan tidak melanjutkan kirab hingga selesai. Kekecewaan Siman dipicu perlakuan lebih spesial ke Timnas U-22 dari cabor sepak bola.

Ketika para atlet menaiki bus karnaval yang disediakan Kemenpora, Timnas Indonesia U-22 yang datang terlambat justru menaiki bus double decker milik Transjakarta.

Tak cuma itu, Timnas Indonesia bahkan langsung memimpin rombongan kirab.

Padahal menurut Siman para atlet sama-sama berjuang mengharumkan nama Indonesia di Sea Games.

Rawan Dipolitisasi

Peneliti sepak bola sekaligus Koordinator Save Our Soccers Akmal Marhali mengatakan respons Siman Sudarwata saat kirab juara menggambarkan atlet nonsepak bola yang kurang dihargai pemerintah.

“Seperti parade sekarang lah, kan ada tuh kan atlet renang yang pada balik badan sebelum acara itu berakhir,” kata Akmal kepada Narasi, Minggu (21/5/2023).

“Atlet renang, atlet silat, pada pawai hari ini. Itu mereka merasa tidak dihargai,” katanya lagi.

Menurut Akmal Kemenpora harusnya memberikan perhatian yang setara kepada para atlet yang menyumbang medali di Sea Games Kamboja.

Lain halnya jika acara itu memang ditujukan untuk merayakan kemenangan turnamen yang diikuti oleh cabor sepak bola saja. Misalnya, gelaran Piala AFF.

“Terkait ini (prestasi) mestinya kemenpora lebih bijak dalam melihat ini, karena kan cabornya banyak. Berbeda dengan gelaran AFF yang emang cuma ada sepak bola doang,” katanya.

Perlakuan spesial terhadap sepak bola menurut Akmal tidak lepas dari tingginya antusiame masyarakat terhadap cabor ini. Hal ini pula lah yang menurut Akmal membuat sepak bola acap dipolitisasi oleh para politikus untuk kepentingan politik pribadi mereka.

Tak lama setelah Tim Nasional U-22  meraih medali emas Sea Games di Kamboja, sejumlah politikus langsung menunggangi momentum ini sebagai ajang panjat sosial.

Di media sosial, mereka yang tak jelas kontribusinya bagi kemajuan sepak bola, mengunggah ucapan selamat hingga momen kebersamaan dengan pemain maupun official Timnas.

Menurut Akmal sikap panjat sosial semacam itu tak lepas dari derasnya dukungan dan kecintaan masyarakat terhadap sepak bola di tanah air.

“Masyarakat yang senang sama sepakbola itu banyak. (secara otomatis) Matanya ya banyak,” ujar Akmal.

Maka dari itu, keberhasilan Tim Nasional U-22 menjadi momentum yang tak diboleh dilewatkan para politis mengais simpati publik, khususnya pecinta sepak bola.

“Sehingga kemudian orang-orang berlomba-lomba untuk memanfaatkan. Para politisi tahu kapan tepatnya strategi yang mereka harus mainkan. Masuk ketika timnas menang,” ujar Akmal.

“Makanya seringkali sepakbola dijadikan sebagai kendaraan politik. Termasuk salah satunya, ya, itu piala dunia (U-20) kemarin,” katanya.

Beda Perlakuan

Akmal membandingkan perlakuan para politisi ke sepak bola dengan prestasi cabor basket putri, yang menanti medali emas sejak Sea Games pertama kali diadakan.

“Padahal kalo mau dilihat (secara lebih lama mana), Basket (putri) misalnya, kalo sepak bola Indonesia itu (kembali juara sea games) 32 tahun, basket itu 64 tahun kan,” katanya.

Kendati tim basket putri berhasil menorehkan sejarah namun lantaran atensi publik minim maka prestasi mereka tak begitu dilirik para pejabat dan politisi.

“Kenapa kemudian banyak pejabat yang memilih sepakbola dibanding basket, karena itu, matanya banyak,” ujar Akmal.

Menteri Pemuda dan Olah Raga Dito Ariotedjo tidak memungkiri adanya pengistimewaan terhadap para atlet dari cabor sepak bola dalam kirab tersebut. Namun menurutnya ini bukan berarti cabor selain sepak bola dianaktirikan.

Dito beralasan sengaja menunggangi antusiasme masyarakat atas kemenangan Timnas untuk mempromosikan kirab juara yang merupakan budaya baru dalam olah raga.

"Ini adalah budaya pertama di mana kita bisa dibilang yang memang kita menunggangi antusias masyarakat kepada bola yang menang, dengan mempromosikan juga bahwa cabor-cabor (cabang olahraga) lain ini kita juga berprestasi," ucap Dito Ariotedjo menambahkan.

Dito meminta maaf atas perasaan kecewa atlet di luar cabor sepak bola yang merasa dianaktirikan. Dia berharap induk federasi cabor-cabor selain sepak bola melakukan hal serupa dengan PSSI saat para atletnya meraih prestasi.

"Memang pasti ada yang tidak nyaman dan kita sangat mohon maaf, dan semoga ini menjadi budaya baru yang nantinya juga cabor-cabor itu juga bisa mengikuti apa yang tadi PSSI lakukan," kata Dito Ariotedjo.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR