Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/1192/2025 yang ditandatangani pada 6 Mei 2025. Dalam lampiran telegram itu, setiap Kodam diperintahkan menyiapkan satu peleton atau 30 personel untuk mengamankan kantor Kejaksaan Tinggi, serta satu regu atau 10 personel untuk Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia.
Langkah ini memicu perdebatan sengit mengenai peran militer dalam ranah sipil dan potensi pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil dalam sistem hukum Indonesia.
Argumen Sinergi dan Keamanan Institusional
Brigadir Jenderal TNI Wahyu Yudhayana, Kepala Dinas Penerangan TNI AD, menegaskan bahwa Surat Telegram Nomor ST/1192/2025—ditandatangani pada 6 Mei 2025—bukanlah instruksi sepihak, melainkan wujud sinergi institusional dengan Kejaksaan yang memiliki struktur Jampidmil.
Ia menegaskan bahwa kehadiran unsur TNI dalam kompleks Kejaksaan semata-mata untuk memperkuat tata kerja yang telah diatur secara hierarki
“Yang akan dilaksanakan ke depan adalah adanya kerja sama pengamanan secara institusi, sejalan dengan adanya struktur Jampidmil (Jaksa Agung Muda Pidana Militer) di Kejaksaan,” kata Wahyu dikutip Antara.
Di lampiran telegram tersebut, setiap Kodam diperintahkan menyiapkan satu peleton—sekitar 30 personel—untuk tugas pengamanan di tingkat Kejaksaan Tinggi, serta satu regu—10 personel—untuk tingkat Kejaksaan Negeri. Rangkaian tugas ini dijadwalkan berjalan mulai Mei 2025 hingga batas waktu yang akan disesuaikan kemudian.
Namun, demi menjaga fleksibilitas, Wahyu menambahkan bahwa “dalam pelaksanaannya, jumlah personel yang akan bertugas secara teknis diatur dalam kelompok yang terdiri dua hingga tiga orang dan sesuai kebutuhan atau sesuai keperluan.”
Sekali lagi, Wahyu menegaskan, “Surat Telegram Nomor ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025 mengenai perintah dukungan pengamanan itu tergolong surat biasa. Jadi, saya perlu menegaskan bahwa surat telegram tersebut tidak dikeluarkan dalam situasi yang bersifat khusus.”
Bagi Wahyu, penugasan ini hanyalah kelanjutan dari kerja sama pengamanan yang bersifat rutin dan preventif, sesuai praktik yang telah berlangsung sebelumnya.
“TNI AD akan selalu bekerja secara profesional dan proporsional, serta menjunjung tinggi aturan hukum sebagai pedoman dalam setiap langkah dan kegiatannya,” tutupnya.
Di lain pihak, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar memandang kehadiran TNI sebagai dukungan konkret bagi Korps Adhyaksa.
“Pengamanan itu bentuk kerja sama TNI dengan Kejaksaan. Itu bentuk dukungan TNI ke Kejaksaan dalam menjalankan tugas-tugasnya,” ujarnya.
Harli menambahkan bahwa penempatan prajurit tak hanya di institusi pusat, melainkan akan diperluas hingga kantor Kejaksaan Negeri di berbagai daerah—sebuah langkah yang “sedang berproses.”
Ketika pertanyaan muncul tentang urgensi militer di ranah sipil, Harli kembali menegaskan, “TNI juga memiliki fungsi pengamanan, apalagi di kami ada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil).”
Sementara soal teknis dan jadwal detail, baik TNI maupun Kejaksaan masih merancang mekanisme bersama melalui serangkaian rapat teknis.
“Masih akan ditindaklanjuti dengan rapat-rapat teknis,” tutup Harli.
Kritik dan Kekhawatiran: Ancaman terhadap Supremasi Sipil
Pengerahan personel TNI untuk pengamanan kejaksaan menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran militer dalam ranah sipil, yang selama ini telah dikurangi melalui reformasi sektor keamanan pasca-Orde Baru. Langkah ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai motif politik di balik kerja sama antara TNI dan Kejaksaan, serta potensi pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil dan supremasi hukum.
Hendardi, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, mendesak Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat untuk segera menarik atau membatalkan Surat Telegram tentang dukungan TNI dalam pengamanan Kejaksaan. Menurutnya, instruksi tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah undang-undang turunan—mulai dari UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, hingga UU TNI.
“Tidak ada kondisi objektif yang mengindikasikan bahwa pengamanan institusi sipil penegak hukum, Kejaksaan RI, memerlukan dukungan pengerahan personel dari satuan tempur dan satuan bantuan tempur TNI,” tegas Hendardi di Jakarta, Senin lalu.
Lebih jauh, ia menganggap kolaborasi terbuka antara Kejaksaan dan TNI ini menimbulkan kecurigaan motif politik di baliknya. Bagi Hendardi, Kejaksaan harus menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sistem hukum pidana yang sepenuhnya bersifat sipil—bukan arena bagi intervensi militer.
“Tarik-menarik militer ke dalam keseluruhan elemen sistem hukum pidana,” ujarnya, “bakal bertentangan dengan supremasi sipil dan supremasi hukum.”
Hendardi juga menyoroti potensi melemahnya supremasi hukum apabila TNI diperluas perannya di ranah sipil. Berdasarkan hukum positif Indonesia, TNI hanya memiliki yurisdiksi penegakan hukum di lingkungan internalnya, dengan mekanisme peradilan militer yang kini membutuhkan pembaruan. Alih-alih memperluas tugas TNI ke ranah sipil, ia mendorong agar revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjadi prioritas.
“UU tentang Peradilan Militer sudah tidak sesuai dengan spirit rakyat, supremasi sipil, dan supremasi hukum dalam tata kelola pemerintahan demokratis,” pungkasnya.
Pengamat militer dan politik dari Universitas Nasional, Selamat Ginting, menilai bahwa kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari revisi Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan pada Maret lalu. Ia menyatakan bahwa revisi tersebut memperluas daftar lembaga sipil yang bisa diisi militer dari 10 menjadi 14, termasuk Kejaksaan Agung. Namun, posisi yang disebut hanya satu, yakni Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil).