Mengenal Sejarah Halal Bihalal di Indonesia: Dari Tradisi hingga Makna Spiritual

8 Apr 2025 10:53 WIB

thumbnail-article

Antara .

Penulis: Elok Nuri

Editor: Elok Nuri

Tradisi halal bihalal merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Indonesia setelah menyelesaikan ibadah puasa Ramadan. Selain menjadi momen berkumpul, halal bihalal memiliki makna mendalam yang terkandung dalam suasana saling memaafkan.

Istilah halal bihalal sendiri adalah istilah yang sangat khas Indonesia dan tidak ditemukan dalam budaya Arab, meskipun terinspirasi dari nilai-nilai Islam.

Secara etimologis, halal bihalal berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, yakni "halal" yang berarti dibolehkan atau diperbolehkan, dan "bihalal" yang bisa diartikan sebagai saling memberikan izin atau pengampunan.

Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas halal bihalal berfokus pada pembersihan hati dan memperbaiki hubungan antar individu dalam masyarakat, terutama setelah bulan suci Ramadan.

Kegiatan halal bihalal biasanya dilakukan dalam konteks silaturahmi. Dalam suasana ini, individu akan saling menjabat tangan, berpelukan, dan mengungkapkan permohonan maaf.

Tradisi ini tidak hanya terbatas pada keluarga, tetapi juga melibatkan teman, sahabat, dan kolega, sehingga menjadi momen yang sangat spesial dan dinanti-nanti setiap tahunnya.

Sejarah Perkembangan Halal Bihalal

Sejarah halal bihalal di Indonesia berakar sejak awal kemerdekaan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan politik. Penggunaan pertama istilah halal bihalal dikemukakan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh Nahdlatul Ulama, yang memperkenalkan istilah ini pada tahun 1948.

Pada masa itu, Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk konflik politik yang mengancam stabilitas negara.

KH Wahab mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk mengadakan pertemuan yang mengundang tokoh-tokoh politik di Istana Negara dalam rangka mempererat persatuan bangsa. Acara tersebut diadakan untuk saling memaafkan dan menghalalkan segala kesalahan di antara pemimpin.

Sejak saat itu, kegiatan halal bihalal menjadi agenda tahunan, meluas ke berbagai jejaring masyarakat, dari keluarga hingga organisasi formal.

Masyarakat Indonesia mendapati bahwa kegiatan ini sangat penting tidak hanya dalam konteks agama, tetapi juga sebagai bentuk integrasi dan persatuan umat.

Jauh sebelum itu istilah halal bi halal terdapat dalam manuskrip Babad Cirebon CS 114/ PNRI halaman 73. Dalam hal ini terdapat keterangan yang ditulis dengan huruf Arab Pegon berbunyi: 

“Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan sami anglampah Halal Bahalal sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kampung.”

Sedangkan tradisi halal bi halal sebenarnya sudah dipraktikkan sejak abad ke-18 atau 1700-an yang berakar dari “Pisowanan” di Praja Mangkunegara Surakarta. 

Pada waktu itu setelah Idul Fitri, Raja Mangkunegara I (Pengeran Sambernyawa), mengadakan pertemuan antara raja dengan punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Pada acara tersebut seluruh punggawa dan prajurit antri tertib untuk sungkem kepada raja dan permaisuri.

Makna Spiritual Halal Bihalal

Dari perspektif spiritual, halal bihalal mengaji makna mendalam yang berhubungan dengan nilai-nilai Islam. Tradisi ini menggambarkan pentingnya prinsip saling memaafkan, kerendahan hati, dan memperkuat ukhuwah atau persaudaraan di antara umat Muslim.

Dalam setiap pelaksanaannya, halal bihalal memberikan kesempatan kepada individu untuk merenung dan bertobat atas kesalahan yang mungkin telah dilakukan selama periode sebelumnya.

Halal bihalal juga memiliki fungsi introspeksi, di mana individu dapat mengevaluasi relasi sosial mereka dan berusaha untuk memperbaiki jika ada ketidakharmonisan.

Memaafkan bukan hanya sekedar ritual fisik, tetapi merupakan langkah penting untuk menyucikan hati, membuka jalan bagi kedamaian, dan memperkabarkan nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat.

Lebih jauh, halal bihalal diharapkan menjadi pengingat bagi umat untuk terus mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

Momen ini hadir sebagai simbol pernyataan bahwa setiap individu, terlepas dari perbedaan pandangan atau latar belakang, memiliki komitmen untuk membina kualitas moral dalam interaksi sosial.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER