Advertisement

Pemerkosaan Massal 1998: Fakta Tragis yang Dibungkam, Bukan Sekadar Rumor

20 June 2025 16:43 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi rasa takut yang tak terucapkan Sumber: Davies Surya/BBC.

Penulis: Salsabila Farenza

Editor: Indra Dwi Sugiyanto

RINGKASAN

Pernyataan Fadli Zon soal kekerasan seksual Mei 1998 menuai kecaman. Ignatius Sandyawan Sumardi membongkar fakta tragis pemerkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998. Bukan sekadar rumor, tapi kejahatan kemanusiaan yang nyata.

Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara di program Real Talk IDN Times memicu polemik luas.

Ia menyebut bahwa kekerasan seksual yang terjadi dalam peristiwa Mei 1998 merupakan "rumor" yang membutuhkan pembuktian konkret. Hal ini memantik reaksi keras, terutama dari mereka yang selama ini memperjuangkan keadilan bagi korban tragedi tersebut.

Mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Ignatius Sandyawan Sumardi, menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai bentuk conspiracy of silence atau konspirasi pembungkaman terhadap para korban. 

Pernyataan tersebut tak hanya mengabaikan luka lama, tetapi juga menambah derita mereka yang hingga kini masih bergelut dengan trauma.

“Jadi Fadli Zon sedang berbicara sebagai orang yang sedang berkuasa. Tapi dia lupa usia kekuasaan itu pendek dan tidak seterusnya dia akan berkuasa seperti itu. Dan tanpa sadar ataupun tidak, ini semacam conspiracy of silence. Jadi bentuk konspirasi pembungkaman terhadap korban-korban itu untuk bersaksi. Jadi makin menyengsarakan mereka. Menurut saya, negara tidak bisa membiarkan ini. Pengakuan itu penting dalam artian sesungguhnya untuk tidak berbuat lagi, supaya tidak terjadi lagi,” jelas Sandyawan Sumardi dalam wawancara bersama Narasi.

Bukan Rumor, Kasus Pemerkosaan 98 Itu Nyata!

Dalam hukum Indonesia, terdapat perbedaan antara tindak perkosaan dan pelecehan seksual. 

Perkosaan didefinisikan sebagai tindakan memasukkan alat kelamin ke dalam tubuh korban, dan untuk membuktikannya biasanya diperlukan rekam medis sebagai bukti. 

Sementara itu, tindakan seperti meraba atau menyentuh secara tidak pantas dikategorikan sebagai pelecehan seksual, bukan perkosaan.

“Menurut hukum yang digunakan PBB, itu kalo semua kekerasan seksual entah sexual attack, entah perkosaan maupun pelecehan disebut pelecehan. Tapi kalo menurut hukum di Indonesia dibedakan, antara perkosaan yang artinya alat kemaluan dimasukkan, itu bahkan mesti ada pembuktian medical record-nya. Atau hanya pelecehan seksual, meraba raba itu bukan perkosaan,” Ujar Sandyawan Sumardi. 

Data TGPF menemukan 85 korban kekerasan seksual, di mana 52 diantaranya merupakan korban pemerkosaan. Dari jumlah tersebut, 14 orang mengalami pemerkosaan disertai penganiayaan. 

Sebagian besar pemerkosaan dilakukan secara beramai-ramai dan terjadi di ruang terbuka.  

Selain pemerkosaan, TGPF juga mencatat 9 korban pelecehan seksual.

“TGPF itu menggunakan hukum di Indonesia sebetulnya, maka sudah membedakan antara pelecehan dengan perkosaan. Nah, ada diantara 85 korban kekerasan seksual, ada 52 korban perkosaan, yang terdiri dari 14 perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan. Jadi waktu itu kebanyakan korban merupakan gang rape, bahkan ada yang di depan orang lain. Jadi bukan di dalam rumah semuanya. Kemudian ada 9 korban pelecehan seksual.”

Sandyawan Sumardi juga menyinggung orang-orang yang masih terjebak dalam logika “angka” ketika membahas kekerasan seksual. 

Ia mengaku seringkali mendapat pertanyaan terkait jumlah korban yang ia temui, seperti “kok hanya satu?”, atau “kok cuma sedikit?”.

Ia menyayangkan pertanyaan-pertanyaan konyol semacam itu masih dilontarkan oleh sebagian orang, seakan kasus kekerasan seksual merupakan persoalan kuantitas.

“padahal pelanggaran hak asasi yang brutal seperti itu bukan perkara angka,” ujarnya.

Kematian Tragis Ita Martadinata: Dituduh Sodomi Hingga Keluarga Dibungkam

Salah satu kasus yang paling mengguncang adalah kematian Ita Martadinata, korban kekerasan seksual yang diduga dibunuh saat akan memberi kesaksian mengenai Tragedi 98 di PBB. 

Sandyawan Sumardi mengatakan bahwa ia bersama dengan salah satu wartawan Tempo bernama Iwan Setiawan mendatangi tempat kejadian, dan melihat bercak darah hingga ke loteng. 

Tubuh Ita juga ditemukan dalam keadaan tanpa busana. 

“Waktu itu dengan wartawan Tempo bernama Iwan Setiawan, langsung meluncur ke lokasi, dan secara kebetulan saya sendiri melihat bahwa rumah di situ sudah mulai ada orang, di dinding banyak bercak darah, sampai naik ke atas, ke loteng.”

Ironisnya, setelah meninggal dengan tragis, Ita Martadinata justru dituduh sebagai pelaku sodomi. 

“Kami mendengar rencana dari yang sedang memeriksa baik dari kepolisian maupun militer untuk mengatakan bahwa ini korban sodomi, atau pelaku sodomi sebetulnya. Saya kaget sekali, seandainya betul dia pelaku sodomi, apakah bisa dibunuh dengan cara begitu keji?”

Keluarga Ita dibungkam. Orang tuanya, kakaknya, diminta untuk tidak bersaksi. 

Kakak ita yang bernama Evi bahkan memberikan kesaksian palsu di Polda Metro Jaya, bahwa adiknya merupakan korban kasus kriminal biasa, bukan korban yang dibunuh karena ingin memberikan kesaksian di PBB.

Sandyawan Sumardi mengatakan bahwa sebenarnya ia juga ingin mengetahui kebenarannya. Namun, keselamatan keluarga Ita tidak dapat diabaikan.

“Waktu itu saya juga mengatakan ke publik, saya buat surat, saya mengatakan bahwa saya bukan polisi, saya tidak berwenang, saya ingin mendengar apa yang tidak dikatakan, tapi memang keluarga Ita perlu dilindungi. Itu pernyataan saya,” ujarnya.

Di Balik Pernyataan BJ Habibie Mengenai Tragedi 98

Sandyawan Sumardi mengungkapkan bahwa di balik pernyataan BJ Habibie mengenai Tragedi 98, prosesnya tidak berjalan sebaik yang dibayangkan oleh publik. 

Sempat terjadi kegaduhan karena beberapa pihak menolak kesimpulan rapat terakhir.

“Saya ingat sekali kesimpulan rapat terakhir sebelum kita mengadakan konferensi pers itu sempat gaduh. Karena ada terutama pihak dari ABRI dan juga beberapa lembaga lain itu tidak setuju dengan kesimpulan terakhir itu,” tuturnya.

Sandyawan Sumardi juga mengungkapkan bahwa presiden pada saat itu sempat tidak mempercayai laporan TGPF.

“Memang tidak se-smooth yang dibayangkan orang karena gaduh, bahkan sempat seperti reaksi presiden tidak begitu saja percaya. Presiden mempercayai itu setelah beberapa lama terutama kan kejadian ini bahkan kekerasan seksual termasuk perkosaan ini bukan hanya terjadi saat tanggal 12,13,15 Mei saja, tapi juga sebelum dan sesudahnya,” tambahnya.

Jalan Keadilan Untuk Korban

Sandyawan Sumardi mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan delapan poin rekomendasi yang dibuat oleh TGPF.

8 poin rekomendasi tersebut antara lain:

  1. Penyelidikan lebih lanjut terhadap peristiwa 13-15 Mei 1998.

  2. Menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan pada peristiwa 13-15 Mei 1998, termasuk membawa pihak militer yang terlibat ke Pengadilan Militer.

  3. Pemberian jaminan keamanan bagi saksi dan korban.

  4. Pemberian rehabilitasi dan kompensasi bagi korban.

  5. Ratifikasi terhadap konvensi internasional mengenai anti-diskriminasi rasial dan membuat produk hukumnya sebagai bentuk implementasi.

  6. Membersihkan premanisme.

  7. Penyusunan Undang-Undang tentang intelijen negara.

  8. Pembentukan mekanisme pendataan lanjutan untuk menampung data-data mengenai kerusuhan Mei 1998.

“Delapan rekomendasi dari TGPF dijalankan. Rekomendasi itu sangat jelas. Karena begini, satu tindakan kekerasan yang sistematik, terencana, skalanya luas, pola yang sama dimana mana, itu namanya crime against humanity (kejahatan kemanusiaan),” jelasnya.

Sandyawan Sumardi menjelaskan bahwa sistem hukum dan kebijakan dapat menjadi alat yang memungkinkan terjadinya kekerasan atau pelanggaran HAM, meskipun pelaku atau penguasa yang menjalankannya sudah berganti.

Jika aturan, undang-undang, atau sistem yang bermasalah tidak diubah, maka siapa pun yang berkuasa dapat menggunakannya sebagai alat untuk melakukan kekerasan atau ketidakadilan yang sama.

“Alat itu bisa bentuknya Undang-Undang, hukum aturan, dan sebagainya. Tapi operatornya bisa berganti. Kalau alatnya tidak diganti, operatornya seperti sekarang ini, korban perkosaan bisa diperkosa sekian kali lagi dengan cara itu.”

Sandyawan juga menyerukan agar negara membawa kasus ini ke ranah hukum secara serius. Tak cukup hanya penyelidikan, tetapi harus sampai ke penyidikan. 

Ia juga menekankan perlunya revolusi dalam sistem hukum di Indonesia agar lebih peka terhadap HAM dan isu-isu gender.

“Ini yang saya pikir betul betul harus diadakan semacam revolusi di dalam sistem hukum kita yang menjadi lebih sensitif HAM, dan sensitif gender juga.”

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER

Advertisement
Advertisement