24 Maret 2023 15:03 WIB
Penulis: Rahma Arifa
Editor: Akbar Wijaya
Greenpeace Indonesia membenarkan adanya penggunaan uang dari hasil bisnis kejahatan lingkungan/ green financial crime (GFC) untuk mendanai kampanye pemilu.
Isu ini sebelumnya dilemparkan Humas Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Natsir Kongah yang menyebut adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp45 triliun dari hasil green financial crime (GFC) yang mengalir ke para politikus untuk membiayai Pemilu 2024 mendatang.
"Kalau dari temuan Greenpeace dan KPK, bisnis di sumber daya alam ini berkelindan dengan yang kami sebut dengan politically exposed person," kata juru kampanye Greenpeace Indonesia Rio Rompas kepada Narasi, Senin (24/3/2023).
Politically exposed person (PEP) mengacu kepada aktor politik yang memiliki kewenangan untuk mempermudah proses dan aktivitas ekstraksi SDA.
Rio mengatakan pelaku kejahatan lingkungan melibatkan aktor politik yang ada di parlemen maupun pemerintahan. Bisnis mereka merentang dari perkebunan sawit, pertambangan, hingga pembalakan hutan.
Rio menjelaskan uang kejahatan lingkungan beredar pada musim pemilu level lokal atau nasional.
"Jadi ada uang yang beredar yang berasal dari praktik-praktik kejahatan lingkungan untuk praktik dan dana politik. Apa peran dari political exposed person ini? Mereka duduk di pemerintahan atau kekuasaan daerah atau pusat, mereka memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin. Misalnya izin tambang, sawit, pelepasan kawasan hutan," papar Rio.
"Inilah titik temu dari transaksi-transaksi itu terjadi. Bisa secara langsung dia punya conflict of interest atau mereka mendapat dana-dana dari korporasi yang sedang mengurus izin."
Rio mencontohkan Greenpeace pernah menemukan izin eksploitasi lingkungan yang dikeluarkan sebelum pemilu. Modusnya, pemberi izin yang butuh biaya untuk berkontestasi politik, menjual izin ke pengusaha.
Selain praktik "legal" semacam itu, Rio mengatakan ada juga praktik eksploitasi lingkungan ilegal juga mengalir ke pejabat publik atau partai politik.
Selain simbiosis mutualisme antara pejabat dan pengusaha, Rio mengungkapkan ada juga pelaku kejahatan lingkungan yang berperan ganda sebagai pejabat sekaligus pengusaha.
Menurut analisis Greenpeace tahun 2022, terdapat setidaknya 43 aktor yang terafiliasi dengan 97 perusahaan tambang dan energi. Diantara aktor tersebut adalah pebisnis yang secara langsung merupakan seorang PEP ataupun terkoneksi erat dengan PEP.
PEP tersebut antara lain adalah anggota DPR, anggota DPD, pejabat kementerian, duta besar, petinggi TNI, ataupun Pemda. Sedangkan, 32 dari 43 aktor tersebut merupakan pengurus partai politik.
“Dan lagi-lagi ke partai politik karena partai politik itu yang menjadi mesin, menggunakan dana untuk operasional kampanye,” kata Rio.
Menurut Rio fenomena ini tidak lepas dari mahalnya biaya politik pascareformasi sehingga memberikan peluang transaksi dan tawar-menawar.
"Demokrasi kita kaya pasar, kalau mau pemilu peredaran uang ini besar, sehingga transaksi-transaksi ini terjadi. Ini yang sudah ditangkap oleh PPATK. Tapi ini butuh dibuka secara transparansi," kata Rio.
Merusak Kemandirian Politik
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. Ninis mengatakan anggaran kampanye politik yang bersumber dari bisnis kejahatan lingkungan merusak iklim demokrasi di Indonesia.
“Situasi ini tidak sehat bagi partai. Partai jadi tidak mandiri dalam mengambil keputusan” kata Ninis kepada Narasi.
Ninis mengatakan hubungan transaksional antara pengusaha sebagai pemberi dana menjadikan partai politik tidak mandiri dalam mengambil keputusan.
“Maka bisa jadi ketika sudah terpilih maka kebijakan yang dikeluarkan adalah yang pro pada pemberi dana tadi,” kata Ninis.
Menurut Ninis transaksi semacam ini langgeng lantaran biaya kampanye yang terlalu mahal. Sehingga iuran anggota ataupun dana negara tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional, melakukan pendidikan politik, hingga membayar atribut kampanye.
“Dana dari pihak ketiga ini yang bisa saja berasal dari perusahaan perusak lingkungan tadi” ujar Ninis.
Sebelumnya, PPATK menemukan setidaknya Rp 45 triliun yang diduga TPPU di bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan dan kelautan. Pasalnya, diantara dana hasil green financial crime (GFC) atau kejahatan finansial tersebut disinyalir mengalir ke kantong para politikus dan partai politik dan diduga untuk pembiayaan pemilu 2024 mendatang.
Humas PPATK Natsir Kongah menyatakan terdapat dugaan tindak pidana pencucian uang di kejahatan GFC yang diduga digunakan untuk mendanai pemilu. Pola serupa kerap ditemukan pada pemilu 2019 dan bahkan pemilu-pemilu sebelumnya.
“Dari penelitian yang dilakukan PPATK setiap periode pemilu ada saja muncul gejala seperti itu, hampir sama polanya”
“Sama misalnya memberikan izin terhadap galian tambang atau lahan” kata Natsir dikutip Kompas TV (16/3/2023).
KOMENTAR
Latest Comment