Dalam berbagai forum internasional, pemerintah Indonesia sering mengklaim sebagai bagian dari tata kelola internet yang demokratis dan berbasis pendekatan multistakeholder. Konsep multistakeholderism sendiri berakar dari forum-forum global seperti Internet Governance Forum (IGF), yang menempatkan negara, swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan pengguna internet sebagai aktor setara dalam menyusun arah kebijakan digital. Konsep ini menjunjung keterbukaan, partisipasi bermakna, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap proses. Tata kelola model ini bertumpu pada anggapan bahwa internet adalah ruang bersama yang tidak boleh dimonopoli oleh negara, pasar, maupun aktor tunggal mana pun.
Namun, praktiknya di lapangan jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi ruang deliberasi publik yang inklusif, ruang digital di Indonesia kini menjadi medan pertempuran narasi yang timpang. Pengambilan kebijakan digital berlangsung secara top-down, tertutup, dan minim konsultasi substansial. Ambil contoh Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Aturan ini menuntut platform digital, baik lokal maupun global, untuk tunduk pada permintaan sensor dan data pengguna. Dengan dalih perlindungan data dan keamanan nasional, negara justru membuka jalan pengawasan tanpa akuntabilitas. Ironisnya, saat negara punya akses pada privasi warga, warga tidak punya akses terhadap proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hak-hak digital mereka.
Tak hanya berhenti di situ, pendekatan multistakeholder yang semestinya menjadi pondasi demokrasi digital justru dikangkangi oleh dominasi negara dan aktor-aktor bayangan yang bekerja untuk menjaga kekuasaan tetap steril dari kritik. Salah satunya lewat kehadiran buzzer. Buzzer adalah entitas digital yang bukan cuma pendengung tagar, tetapi arsitek narasi, penjaga gerbang opini, dan eksekutor reputasi. Menggunakan bahasa yang manipulatif dan cara kerja sistematis, buzzer menciptakan dikotomi palsu: antara "rakyat baik" yang loyal terhadap negara, dan "pemberontak" yang kritis dan bertanya.
Buzzer tidak pernah disebut dalam dokumen tata kelola digital resmi. Mereka bukan aktor sah dalam skema multistakeholder, tidak hadir dalam konsultasi publik, tidak terlibat dalam penyusunan kebijakan, dan tidak bekerja untuk kepentingan publik. Namun, dalam kenyataan, mereka memegang kendali terhadap arus informasi digital.
Sejarah Buzzer di Indonesia
Menurut studi Centre for Innovation Policy and Governance, buzzer pertama kali digunakan di Indonesia pada 2009 untuk meningkatkan penjualan produk dan layanan brand lewat endorsement berbayar kepada tokoh atau akun dengan jumlah pengikut besar di Twitter. Namun, buzzer mulai terlibat dalam peristiwa politik saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Sukarelawan kampanye Joko Widodo adalah yang pertama kali memanfaatkan jaringan akun terkoordinasi untuk membanjiri media sosial dengan dukungan dan menandai lahirnya “pasukan siber” yang bekerja bukan lagi untuk brand, melainkan untuk kandidat politik.
Fenomena buzzer semakin masif sejak kampanye Pilpres 2014, ketika Joko Widodo membangun persona sebagai pemimpin merakyat. Pada Pemilu 2014 hingga Pemilu 2019, kita mengenal istilah “cebong vs kampret”, istilah yang menjadi nama lain untuk mewakili para kubu ‘hiper-nasionalisme’ dan ‘politik identitas’ yang saling bersitegang. Narasi ini dipelihara lewat tagar, meme, dan framing yang dirancang agar kritik terhadap pemerintah selalu tampak seperti serangan terhadap “orang baik”. Ketika pelemahan KPK terjadi, buzzer menuduh para aktivis sebagai penghambat reformasi. Saat Omnibus Law ditentang berbagai kalangan masyarakat, buzzer menuding penolak tidak nasionalis. Dalam framing ini, oposisi tidak punya tempat dan kritik dianggap deviasi. Kritik dipersonalisasi, didelegitimasi, dan dijinakkan.
Narasi manipulatif ini kian memburuk di Pemilu 2024. Kontestasi politik antara kubu Prabowo-Gibran dan lawan-lawannya penuh dengan polusi digital. Ketika Mahkamah Konstitusi membuat keputusan kontroversial yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran, reaksi publik dibungkam lewat mesin tagar. Kritik tentang nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan dibalas dengan glorifikasi “anak muda visioner”. Pelanggaran etik disulap jadi kebanggaan lewat jargon atau joget “gemoy”, yang didesain untuk menutupi kebusukan dengan kelucuan. Warga yang bersuara diserbu dengan spam, doxing, bahkan laporan pidana menggunakan UU ITE.
Pada Januari 2025, terungkap bahwa TNI AL menggunakan buzzer dengan anggaran 100 miliar untuk membangun citra positif di media sosial. Ini menunjukkan bahwa model buzzer kini telah melibatkan institusi negara dan anggaran publik, sejalan dengan temuan Global Disinformation Order 2019 yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memanfaatkan pasukan siber untuk kepentingan politik dan bisnis dengan skala operasi dan anggaran yang terus meningkat setiap Pemilu dan Pilkada.
Buzzer biasanya berupa akun anonim atau akun bot yang mempublikasikan pesan serupa berulang kali, saling meng-amplifikasi (like, share, dan komentar) lewat jaringan akun terkoordinasi, serta memanfaatkan tagar unik atau mendompleng isu populer yang memancing engagement. Buzzer kerap menyamar sebagai pengguna biasa sambil menyisipkan kampanye positif atau narasi hitam dan disinformasi yang lebih mengutamakan impresi daripada kualitas atau kredibilitas, bahkan melibatkan key opinion leader demi terkesan valid dan terlihat organik.
Analisis wacana Norman Fairclough memberi kita kerangka untuk membaca fenomena buzzer di Indonesia. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cara dominasi atau kekuasaan bekerja secara halus. Dalam konteks Indonesia hari ini, buzzer merebut fungsi produksi wacana dari media dan masyarakat sipil. Mereka mendefinisikan apa yang boleh dibicarakan dan siapa yang boleh bicara. Padahal mereka bukan jurnalis, bukan akademisi, bukan representasi publik. Mereka adalah aktor politik bayangan tanpa mandat publik.
Tercemarnya Demokrasi dan Kiamat Digitalisasi
Digitalisasi seharusnya memberikan ruang partisipasi yang inklusif, tapi di Indonesia, ruang ini justru dimanfaatkan untuk mencemari demokrasi yang didominasi narasi tunggal. Dalam konsep “Democracy Nothing” yang disampaikan oleh George Ritzer, kondisi ini menggambarkan demokrasi kosong makna: semua orang bisa bicara, tapi hanya satu suara yang didengar. Semua orang bisa mengakses platform, tapi hanya satu narasi yang benar. Inilah kiamat digitalisasi, ketika prinsip-prinsip demokrasi digital runtuh pelan-pelan, bukan hanya karena sensor formal, tapi karena algoritma dan narasi yang dihembuskan para buzzer.
Ekosistem buzzer bukan hanya gejala sosial digital, tetapi indikasi kerusakan serius tata kelola internet di Indonesia. Negara abai—atau sengaja— memelihara para buzzer sehingga terus melanggeng bebas, dengan impunitas, dan dalam banyak kasus, mendapat legitimasi melalui pembiaran institusional yang sistemik.
Sementara itu, warga yang menjadi korban serangan digital (kebanyakan karena buzzer) justru kesulitan mendapatkan perlindungan. Terbaru, Komdigi malah membuat kebijakan migrasi ke eSIM yang diklaim sebagai solusi perlindungan data pribadi. Namun, SAFEnet mencatat bahwa pada 2024, ada 146 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi, 330 insiden serangan digital, dan 1902 aduan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Mereka yang diserang merupakan warga yang kritis terhadap berbagai kebijakan, regulasi, dan program pemerintah, terutama saat momen Pemilu, Pilkada, People Water Forum, dan demonstrasi #PeringatanDarurat. Banyak dari mereka akhirnya memilih diam, bukan karena setuju, tetapi karena takut menjadi sasaran buzzer.
Kiamat digital ini tidak datang tiba-tiba, tetapi dibangun melalui regulasi yang ambigu, diamnya pihak platform, dan sistem insentif politik yang mendorong penggiringan opini alih-alih dialog terbuka. Dan yang paling menyedihkan, ini berlangsung dalam iklim yang terus-menerus menyebut dirinya demokratis.
Jika pendekatan multistakeholder masih ingin direalisasikan secara tepat dan benar, buzzer harus diakui sebagai aktor perusak tata kelola yang dipelihara oleh negara. Bukan hanya karena mereka tidak memiliki legitimasi, tetapi karena mereka merusak prinsip dasar ruang publik yang sehat. Tanpa langkah tegas untuk menghentikan buzzer, Indonesia akan terus hidup dalam ilusi demokrasi digital yang kosong dan membusuk dari dalam.
*Penulis merupakan Fellow Indonesia School on Governance 2025.