Opini: Prabowo, Kekuatan Asing, dan Retorika Populis yang Mengancam

9 Apr 2025 13:19 WIB

thumbnail-article

Presiden RI Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kanan) saat melakukan pertemuan di Gedung Putih, Washington, D.C. Amerika Serikat, Selasa (12/11/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./Spt/aa.

Penulis: Jay Akbar*

Editor: Arbi Sumandoyo

RINGKASAN

Populisme bekerja dengan menyederhanakan kompleksitas persoalan ke dalam narasi moralistik, dan menggunakan musuh bersama sebagai alat penarik dukungan.

Dalam sebuah wawancara dengan tujuh jurnalis di kediamannya di Hambalang, Bogor, pada Minggu pagi, 6 April 2025, Presiden Prabowo Subianto merespons demonstrasi yang marak terjadi dalam beberapa hari terakhir.

Alih-alih menanggapi substansi kritik yang disuarakan para demonstran—yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan elemen masyarakat sipil—Prabowo justru mengekspresikan kekhawatiran tentang adanya kemungkinan campur tangan asing di balik gelombang protes tersebut.

"Apakah ada kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan asing yang ingin adu domba? Ini berlaku lazim," ujarnya, sembari melanjutkan pernyataan tersebut dengan menyebut peran lembaga donor asing yang, menurutnya, mendanai banyak LSM di Indonesia.

"Data-data keluar sekarang. Pemerintah Trump membubarkan USAID dan di situ ketemu bukti-bukti bahwa USAID membiayai banyak LSM-LSM di mana-mana. Bahkan, ya ini kan keluar semua, it's public knowledge," imbuhnya.

Bukan hanya kepada demonstran, Prabowo juga pernah menyinggung soal adanya media-media di Indonesia yang dimiliki oleh asing. Mereka, kata Prabowo, adalah pembuat gaduh yang bekerja untuk mengadu-domba dan memecah belah Indonesia.

"Kalau ada yang dihasut-hasut atau mau menghasut, waspada. Ini saya katakan ulah kekuatan asing yang selalu ingin pecah belah Indonesia. Nanti terkuak LSM yang dibiayai oleh negara asing. Nanti terkuak media-media yang pemilik sebenarnya adalah orang asing," kata Prabowo saat pidato di HUT Partai Gerindra ke-17 di SICC, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/2/2025).

Mengapa Politik Populisme Laris di Masyarakat Negara Berkembang?

​Pernyataan Prabowo tentang “kekuatan asing” dapat dibaca sebagai strategi politik populisme. Politik populisme laris atau gampang dimakan masyarakat negara berkembang karena menawarkan solusi instan atas ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang berlarut-larut.

Sejumlah penelitian, salah satunya dijelaskan oleh Eatwell dan Goodwin dalam National Populism: The Revolt Against Liberal Democracy (2018), retorika populisme sering kali menggeser emosi dan menciptakan identitas kolektif yang eksklusif, dengan menunjukkan bahwa setiap kritik merupakan bagian dari konspirasi yang lebih besar. Sehingga solusi sederhana seperti menyalahkan elite atau kekuatan luar atas berbagai persoalan yang kompleks bisa terasa sangat menggugah di hati rakyat.

Populisme Bekerja dengan Mengalihkan Substansi Kritik 

Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser dalam "Populism: A Very Short Introduction" mendefinisikan populisme sebagai ideologi tipis (thin-centered ideology) yang narasinya kerap membagi masyarakat ke dalam dikotomi "kita" versus "mereka". Dalam konteks pernyataan Prabowo, "kita" merujuk pada pemerintah dan rakyat, sementara "mereka" adalah demonstran dan media yang kritikannya dituduh berafiliasi dengan kekuatan asing.

Cas Mudde dalam karyanya, The Populist Zeitgeist (2004) menyebut populisme bekerja dengan menyederhanakan kompleksitas persoalan ke dalam narasi moralistik, dan menggunakan musuh bersama sebagai alat penarik dukungan. Para pemimpin populis acap mengalihkan tanggung-jawab pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah kebijakan yang kompleks dan berketidakadilan menjadi sebatas serangan dari “musuh”.

Retorika Populis Prabowo

Dalam konteks Prabowo, cara pandang peneliti tersebut menemukan relevansinya dalam acara sarasehan ekonomi di Menara Mandiri, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025) atau beberapa hari setelah wawancara dengan tujuh jurnalis dilakukan di Hambalang.

Ketika itu Prabowo—di hadapan para menteri dan para pengusaha yang hadir—menyatakan dirinya sebagai orang paling nasionalis. Ia menganalogikan, jika jantungnya dibuka, warnanya merah putih.

"Saya kalau Saudara—mungkin sudah kenal saya lama, mungkin dari saya ini paling nasionalis. Kalau istilahnya dulu, kalau jantung saya dibuka yang keluar Merah Putih, mungkin,” tutur Presiden dikutip laman setneg.id.

Pernyataan Prabowo, "Saya ini paling nasionalis" mencerminkan penggunaan retorika populis yang menekankan identitas nasional sebagai alat legitimasi politik. Dalam konteks ini, Prabowo membangun citra diri sebagai representasi utama dari nasionalisme Indonesia. Ia hendak menegaskan dirinya sebagai pemimpin yang mewakili kepentingan nasional, sekaligus mereduksi kritik terhadap pemerintahannya sebagai tindakan yang tidak nasionalis atau dipengaruhi oleh kepentingan asing.

Di lain sisi, menuduh demonstran sebagai 'antek asing' merupakan bentuk kesesatan logika yang dikenal sebagai ad hominem, di mana seseorang menyerang karakter atau motif lawan bicara alih-alih menanggapi argumen yang disampaikan. Dalam konteks ini, tuduhan tersebut tidak membahas substansi kritik yang diajukan oleh demonstran, melainkan mengalihkan perhatian dengan mendiskreditkan mereka secara personal.

Kesesatan logika ad hominem terjadi ketika seseorang menyerang karakter, motif, atau atribut pribadi individu yang menyampaikan argumen, daripada membahas substansi argumen itu sendiri. Serangan ini dapat berupa penghinaan langsung atau upaya mendiskreditkan individu berdasarkan karakteristik pribadi yang tidak relevan dengan topik yang dibahas. Tujuan dari taktik ini adalah untuk merusak kredibilitas lawan bicara, sehingga argumen mereka dianggap tidak valid tanpa perlu membahas isinya.

Retorika yang Mengancam

Penggunaan narasi campur tangan asing, dalam pengalaman sejarah dunia, kerap digunakan membungkam media kritis, membatasi kebebasan sipil, hingga membenarkan kriminalisasi terhadap aktivis dan organisasi masyarakat sipil.

Secara sosiologis, narasi ini juga berpotensi menyulut konflik horizontal—antarwarga negara yang berbeda pandangan politik—dan juga konflik vertikal antara warga dan aparat pertahanan. Aparat yang dibentuk untuk netral bisa menjadi alat represif jika diberi doktrin bahwa kelompok tertentu adalah “agen asing”. Narasi ini memupuk jalan pikiran bahwa setiap kritik terhadap pemerintah sama dengan ancaman terhadap negara.

Kendati masih jauh dari level yang disebutkan di atas, namun prasangka bahwa demonstran ditunggangi kekuatan asing patut dibaca sebagai potensi untuk menghadapi para kritikus.

Hal ini terjadi di sejumlah negara yang para pemimpinnya acap menggunakan retorika-retorika populis untuk mengecilkan kelompok oposan:

  • Di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdogan menggunakan tuduhan campur tangan asing terhadap gerakan Gezi Park (2013), dan menyebut mereka bagian dari konspirasi global untuk menggulingkan pemerintahannya. Ribuan aktivis ditahan, media dikontrol, dan masyarakat sipil ditekan.

  • Di Myanmar, junta militer menyebut protes pro-demokrasi sebagai operasi asing, dan menjadikan narasi ini sebagai justifikasi untuk penangkapan massal dan pembunuhan warga sipil sejak kudeta 2021.

  • Di Hungaria, Viktor Orbán menciptakan kampanye besar-besaran melawan George Soros, menggambarkannya sebagai simbol kekuatan asing yang mengendalikan LSM dan media yang kritis terhadap rezimnya. Hasilnya adalah pembungkaman ruang sipil dan pembatasan keras terhadap pendanaan asing.

Landasan Hukum Bantuan Asing

Sebetulnya, tidak ada satu pun hukum di Indonesia yang secara tegas mengharamkan bantuan asing. Sebaliknya, sejumlah peraturan memberikan kerangka legal bagi penerimaan hibah luar negeri:

  • UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa pemerintah dapat mengadakan pinjaman dan/atau menerima hibah baik dari dalam maupun luar negeri untuk mendanai dan mendukung kegiatan pembangunan.

  • PP No. 2 Tahun 2006 mengatur tata cara pengadaan pinjaman dan penerimaan hibah dari luar negeri.

  • Dalam konteks LSM dan media, Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 56 Tahun 2016 mengatur bahwa organisasi kemasyarakatan berbadan hukum dapat menerima bantuan asing selama melaporkan dan mempertanggungjawabkannya secara transparan.

Kritik adalah Instrumen Penting Meski Dibiayai Asing

Dalam konteks demokrasi modern, pembiayaan lintas negara terhadap inisiatif sipil, media, dan penelitian adalah hal yang umum terjadi. Banyak lembaga internasional yang memiliki misi untuk memperkuat transparansi, akuntabilitas, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia memberikan dukungan kepada entitas lokal agar mereka dapat menjalankan kerja-kerja advokasi yang seringkali sulit didanai dari dalam negeri. Dalam banyak kasus, bantuan tersebut datang justru karena pemerintah sendiri tidak menyediakan dukungan yang memadai bagi kehidupan sipil yang independen.

Menanggapi kritik dengan menyoroti sumber pendanaan tanpa membahas substansi isu bisa menjadi upaya pengalihan yang tidak konstruktif. Sebagai contoh, jika sebuah media yang menerima dana dari lembaga internasional mengungkap kasus korupsi atau kebijakan yang merugikan masyarakat, fokus seharusnya diberikan pada kebenaran dan relevansi informasi tersebut.

Kritik dari m
edia atau LSM yang menerima dana asing tidak serta-merta membuat mereka dapat dicap sebagai kekuatan luar yang ingin membuat gaduh dan memecah-belah bangsa. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya merespons kritik dengan membuka ruang dialog yang sehat dan berbasis data, bukan dengan mempertanyakan motif atau sumber pendanaan pihak yang mengkritik. Hal ini penting untuk mencegah delegitimasi terhadap suara-suara kritis yang justru berperan dalam perbaikan kebijakan publik.

Pada akhirnya, narasi “kekuatan asing” belum menjawab kritik yang berangkat dari kekecewaan terhadap kebijakan. Dengan terus memelihara narasi ini, pemerintah sedang berjalan mundur menuju masa di mana kekuasaan boleh tidak menjawab kritik, tapi cukup dengan menunjuk musuh dari luar. Inikah yang kita inginkan?

*Jay Akbar menempuh pendidikan S1 Ilmu Sejarah di Universitas Diponegoro. Pernah bekerja sebagai wartawan di Majalah Historia, Harian Republika, dan Tirto.id. Saat ini, menjadi jurnalis dan produser di Narasi dengan minat pada isu-isu sejarah dan politik.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER