Penulis: Zen RS, Pemimpin Redaksi Narasi
Editor: Akbar Wijaya
Saat dunia sudah berubah begitu dramatis, formula yang ditawarkan justru resep-resep lama yang sudah kapiran.
Seorang patriot yang awas, yang menyadari banyak hal tak menyenangkan dari riwayat bangsa ini, niscaya memahami cinta tanah air sebagai praktik yang ambivalen.
Demi kemerdekaan (1945-1949), atas nama ideologi (1950-1965), demi pembangunan (1966-1998), hingga kemuliaan agama, tak terhitung darah yang ditumpahkan dengan sengaja dan tidak. Cerita-cerita itu selalu berulang, muncul kembali dengan bungkus yang seolah baru.
Seorang yang mempelajari sejarah Indonesia dengan tekun akan menyadari satu hal: bahwa para bandit dan kecu tak pernah berhenti berusaha membajak republik ini, kadang kala mereka gagal, tapi lebih sering berhasil, dan dari sanalah rentetan cerita sedih menjadi Indonesia rutin bermunculan.
Untuk mereka yang kerabatnya, atau orang-orang yang dicintainya, menjadi bagian cerita sedih malapraktik nasionalisme itu, mencintai Indonesia niscaya terasa sebagai hal yang pelik. Mereka akan mengingat para mendiang yang dikenalnya sebagai bukti bukti betapa darah ada batasnya, sedang air mata tidak.
Belum lagi cerita tentang kelakuan ugal-ugalan, dari merampok uang negara hingga merampas kemerdekaan orang lain, yang dilakukan banyak nama-nama besar; dan dibiarkan tanpa pertanggungjawaban.
Rasa frustrasi, mungkin jengkel dan bahkan marah, kadang tidak terhindarkan. Namun, lagi-lagi, sejarah menyodorkan cerita lain –- kali ini dari sisinya yang menghidupkan lagi menggugah: bahwa tidak terbilang pula orang yang mempertaruhkan banyak hal, banyak sekali hal, dalam hidupnya yang hanya selembar demi tanah air yang masih juga centang-perenang ini.
Orang-orang seperti itulah, yang sebagian kecil kita kenal namanya dan sebagian besar sisanya mungkin tak pernah kita kenal namanya apalagi wajahnya, yang membuat tanah air dan tumpah darah terasa masih punya harga.
Kontradiksi itulah yang membuat patriotisme menjelma cinta yang penuh ambivalensi. Dan itu adalah hal sehat. Nasionalisme yang diimbuhi rasa malu dalam dosis yang cukup, malu akan aib-aib yang pernah atau masih menjalari tanah air, yang akan membuat patriotisme bebas dari slogan-slogan.
Kita tidak pernah bisa memilih lahir di tanah air yang mana, ia hadir begitu saja sebagai garis tangan yang muskil ditampik. Seketika setelah lahir, dan memang tiba-tiba dan begitu saja, kita terikat ke dalam identitas tertentu sebagai bagian dari sebuah bangsa yang di dalamnya terdapat sehimpun kewajiban (kadang juga hak) ini dan itu.
Bahkan para pendiri negara ini melihatnya –- pada mulanya -- sebagai fiksi. Tan Malaka, Sukarno, Hatta, Sjahrir dan yang lain memulai segalanya dengan membayangkan sesuatu yang memang tidak atau belum ada.
Abstraksi itu dibangun oleh banyak sekali cerita yang juga sebagian di antaranya fiktif: bahwa bendera merah putih sudah ada sejak 5000 tahun lalu, bahwa Sriwijaya-Majapahit adalah leluhur dan kami hanya meneruskannya, dll.
Indonesia adalah bukti ihwal fiksi yang bertiwikrama menjadi realitas. Spesies yang bisa menciptakan fiksi adalah yang paling mampu bertahan menjawab sekaligus melampaui tantangan alam.
Negara dan bangsa, uang dan perbankan, demokrasi hingga sepakbola dan bulutangkis adalah karangan manusia yang tidak ditemukan dalam dunia hewan. Fiksi adalah lompatan kualitatif yang membuat kita sanggup mengungguli hominid lainnya.
Berawal dari fiksi, sedihnya para pengampu Indonesia berikutnya tak lagi mampu mengakomodasi fiksi-fiksi yang lebih segar. Begitu fiksi tentang Indonesia mewujud menjadi republik, ia seperti kebal dari imajinasi-imajinasi lanjutan yang lebih segar, apalagi yang lebih liar.
Cara para politikus kita memandang dan membayangkan Indonesia rasanya sudah lapuk, hanya mengulang retorika yang sudah berusia puluhan tahun: militer aktif diwacanakan lagi bisa menjabat di pos-pos sipil, perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden menjabat lebih dari dua periode, dikit-dikit bikin logo bentuknya gunungan wayang, perekayasaan kasus dilakukan dan disebarkan tanpa rasa malu oleh penegak hukum, dan kekuasaan umum dilindungi dari penghinaan, dll.
Saat dunia sudah berubah begitu dramatis, formula yang ditawarkan justru resep-resep lama yang sudah kapiran.
Indonesia kini sudah berusia 77 tahun. Ia berusia lebih panjang dari Republik Sosialis Soviet, Republik Weimar, Republik China, atau Republik Ketiga yang dilahirkan sejarah modern Perancis.
Jika Indonesia adalah fiksi yang besar lagi agung, Indonesia yang Raya, maka masa depan tanah air ini sangat membutuhkan fiksimini-fiksimini yang baru. Tanpa hal itu, kita tidak akan ke mana-mana, dan begini-begini belaka. Indonesia akan semakin menua usianya, tapi relevansinya terletak pada kemampuan kita menyodorkan, dengan cara mendesak maupun tidak, fiksi-fiksi yang baru, segar dan menerobos.
Kita mesti lebih keras kepala dalam berimajinasi tentang tanah air.
KOMENTAR
Latest Comment