2 Mei 2023 15:05 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Margareth Ratih. F
Peraturan mengenai cuti hamil dan melahirkan di Indonesia bagi pekerja perempuan nyatanya masih menuai pro dan kontra. Apalagi pasca disahkannya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) menjadi RUU Inisiatif DPR RI 2021.
Sekilas RUU tersebut tampak progresif dan memenuhi kebutuhan ibu pekerja. Namun, kita pun perlu mengkritik RUU KIA ini. Jangan sampai alih-alih mengakomodasi hak ibu pekerja, aturan ini justru membatasi karier mereka.
Aturan cuti hamil dan melahirkan
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hanya sedikit waktu yang diberikan kepada perempuan untuk cuti melahirkan. Durasi cuti tersebut hanya 1,5 bulan sebelum dan 1,5 pasca melahirkan.
Lain halnya dalam RUU KIA yang memberikan durasi lebih lama bagi perempuan untuk cuti. Perempuan diberi waktu enam bulan dengan gaji yang tetap dibayarkan utuh (100%) di 3 bulan pertama, dan 75% di 3 bulan selanjutnya.
Tidak hanya perempuan, laki-laki pun diberi hak cuti untuk mendampingi perempuan pasca melahirkan. Laki-laki diberi waktu 40 hari untuk pendampingan pasca melahirkan, dan 7 hari untuk kasus keguguran.
Jika kita melihat kembali pada Perppu Cipta Kerja, di sana hak cuti hamil dan melahirkan tidak dijamin. Perusahaan bisa saja memberikan cuti tersebut kepada perempuan. Namun, aturan tersebut tidak memiliki payung hukum yang jelas seperti tertera pada UU Ketenagakerjaan.
Membatasi perempuan berkarya
Dilansir dari Magdalene, Anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah mengatakan bahwa RUU KIA ini dibuat dengan dua pertimbangan.
Pertimbangan tersebut adalah penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak yang masih dilakukan parsial dan keinginan pemerintah untuk menjamin hak tumbuh, berkembang, dan hidup sejahtera ibu dan anak.
Terlepas dari itu, kita juga perlu melihat bahwa RUU KIA rentan membatasi ruang berkarya bagi perempuan. Berikut alasannya:
Domestifikasi perempuan
Walaupun RUU KIA memberikan cuti bagi ayah (paternity leave), namun tidak dijelaskan lebih rinci pembagian peran antara ayah dan ibu. RUU KIA masih terkesan menekankan kewajiban pengasuhan hanya kepada perempuan.
Hal ini terlihat dari Pasal 10 Ayat (1) RUU KIA yang merinci 9 poin kewajiban ibu. Mirisnya tidak ada satu pasal pun yang menekankan kewajiban ayah.
Dari situ dapat dilihat ketimpangan peran laki-laki dan perempuan. Perempuan rentan mengalami domestifikasi lantaran harus menjalankan kewajiban atau pekerjaan di rumah tanpa dukungan peran dari laki-laki.
Perempuan rentan di-PHK
Perusahaan tentu akan berpikir ulang ketika akan mempekerjakan perempuan, terlebih yang tengah hamil.
Pasalnya, mereka akan diberi cuti dengan jangka waktu lama dan tetap dibayar. Di satu sisi, perusahaan harus memfasilitasi training karyawan baru untuk menggantikan peran perempuan yang tengah cuti melahirkan. Pengeluaran ini tentu tidak efektif.
Apalagi masih ada perusahaan yang menganggap bahwa perempuan adalah pekerja sekunder. Kariernya bisa saja terhambat, atau malah putus di tengah jalan lantaran kebijakan perusahaan yang tidak ingin buang-buang sumber daya.
Hal ini termasuk upaya feminisasi atau pemiskinan perempuan karena dijauhkan dari sumber daya ekonomi.
Tuntutan ASI eksklusif membebani perempuan
Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan juga menuntut perempuan untuk bisa menjamin terpenuhinya air susu ibu (ASI) pada anak. Padahal, ada beberapa kondisi di mana perempuan tidak bisa memberikan ASI eksklusif secara intens, terlebih dengan alasan medis.
Dalam RUU KIA diatur tentang kewajiban ibu untuk memberi ASI eksklusif, kecuali bagi yang memiliki indikasi medis, meninggal, atau terpisah dengan anak. Ada pula pasal yang mengatur partisipasi masyarakat yang secara tidak langsung meminta masyarakat untuk mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Walaupun RUU KIA adalah langkah yang baik untuk kesejahteraan ibu dan anak, namun masih ada banyak hal yang harus diperbaiki agar tidak merugikan perempuan.
KOMENTAR
Latest Comment