Advertisement

PM Thailand Diskors Usai Skandal Panggilan Telepon dengan Hun Sen

01 July 2025 20:00 WIB

thumbnail-article

Paetongtarn Shinawatra. Sumber: ANTARA/Anadolu.

Penulis: Nuha Khairunnisa

Editor: Nuha Khairunnisa

Pengadilan Konstitusi Thailand menangguhkan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra, Selasa (1/7/2025). Keputusan ini memicu gelombang baru ketidakpastian politik di negeri Gajah Putih.

Perkara bermula dari dugaan pelanggaran etik terkait percakapan telepon yang bocor antara Paetongtarn dan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen. Tindakan ini diambil setelah adanya pengaduan dari sekelompok 36 senator yang menuduh Paetongtarn telah melanggar standar etika.

Merespons keputusan terhadapnya, Paetongtarn menyatakan bahwa ia menghormati keputusan pengadilan dan berkomitmen untuk memberikan klarifikasi mengenai niat dan tindakan yang dilakukannya. Ia berusaha memastikan bahwa semua tindakannya bertujuan untuk kebaikan negara.

Kontroversi telepon yang bocor

Isi pembicaraan telepon yang bocor antara Paetongtarn dan Hun Sen menjadi sorotan publik. Dalam panggilan tersebut, Paetongtarn terdengar memanggil Hun Sen dengan sebutan "paman” dan mengungkapkan kritik terhadap tindakan militer Thailand.

Dalam rekaman tersebut, ia juga meminta Hun Sen agar tidak memperhatikan pendapat “seberang,” merujuk pada seorang komandan militer Thailand yang vokal. Pernyataan ini menyebabkan kemarahan di kalangan politikus dan masyarakat, yang merasa bahwa pemimpin mereka tidak membela kepentingan nasional.

Kebocoran percakapan ini menuai reaksi negatif dari berbagai kalangan, termasuk anggota parlemen yang menuduhnya telah menjilat kaki pihak asing dan merusak reputasi militer Thailand. Kritik keras diarahkan kepada Paetongtarn, mendorong banyak orang untuk menyerukan pengunduran dirinya.

Situasi politik Thailand terkini

Dampak dari skandal ini sangat dirasakan dalam koalisi yang dipimpin oleh Partai Pheu Thai, yang mulai goyah setelah kehilangan satu mitra utama. Hal ini menambah beban bagi perdana menteri yang baru menjabat kurang dari setahun, ketika dukungan publiknya merosot drastis dari 30,9 persen pada bulan Maret menjadi hanya 9,2 persen. Keputusan pengadilan ini datang bersamaan dengan ancaman pemungutan suara tidak percaya di parlemen.

Ribuan orang juga turun ke jalan di Bangkok untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintahan Paetongtarn, meminta agar ia mundur dari jabatannya. Aksi protes ini menunjukkan adanya gelombang ketidakpuasan di antara rakyat yang merasa bahwa pemerintah saat ini tidak dapat diandalkan dalam mengelola situasi krisis.

Masa depan Paetongtarn

Menyusul penangguhan ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat diambil oleh Paetongtarn. Salah satunya adalah memanggil pemilihan umum baru jika dia memutuskan untuk membubarkan parlemen. Namun, langkah ini memiliki risiko tinggi, mengingat masih banyak kekuatan politik yang dapat berbalik menentangnya.

Tindakan hukum juga mungkin diambil baik oleh Paetongtarn sendiri dalam upaya membersihkan namanya di pengadilan maupun oleh pihak-pihak lain yang melihat situasi ini sebagai kesempatan untuk memperkuat posisi politik mereka. Paetongtarn harus mengevaluasi dukungan politik yang masih tersisa, terutama dari partai-partai koalisi lainnya yang mungkin tergerak untuk berpaling setelah skandal ini.

Ke depannya, masa depan politis Paetongtarn akan sangat tergantung pada keputusan Pengadilan Konstitusi dan bagaimana ia mengelola krisis ini untuk mempertahankan kekuasaan serta kepercayaan publik.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER

Advertisement
Advertisement