Alasan-Alasan SKCK Layak Dihapus: Diskriminatif dan Cuma Menambah Beban Masyarakat Mau Cari Kerja

15 Apr 2025 08:55 WIB

thumbnail-article

Para tersangka kasus kriminal yang ditampilkan di Polres Metro Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (21/3/2023). ANTARA/Luthfia Miranda Putri

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

RINGKASAN

"Saya mau cari kerja misalnya, perlu SKCK, itu benar-benar [membebani] satu ongkos ke kepolisiannya, lalu ngantrinya. Apakah ada biaya? Ya, seterusnya ada ya."

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum mengeluarkan sikap terang tentang usul penghapusan Surat Catatan Keterangan Kepolisian (SKCK) yang dinilai sejumlah pihak diskiriminatif dan tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Padahal, sejak Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) mengirimkan surat resmi kepada Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo mengenai usul penghapusan SKCK, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman telah memberikan persetujuan mengenai usulan ini.

"Saya sih sepakat, enggak usah SKCK," kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, Kamis 27 Maret 2025 dikutip Antara.

Dalam era digital, terdapat alternatif lain yang lebih efektif untuk memverifikasi latar belakang seseorang, seperti referensi dari pemberi kerja sebelumnya, sertifikasi profesional, atau evaluasi kinerja. Metode-metode ini dapat memberikan gambaran yang lebih akurat tentang integritas dan kompetensi seseorang dibandingkan dengan SKCK.

Lantas, apa saja sebetulnya alasan-alasan mengapa SKCK layak dihapus?

Diskriminatif dan Timbulkan Stigma Sosial

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyoal dasar filosofis, validitas, dan relevansi dari keberadaan surat ini.

“Alasannya apa sih (penerbitan) SKCK itu? Orang itu kalau terbukti terpidana, ya masyarakat tahu saja. Dulu itu namanya surat kelakuan baik, tapi ‘baik’ menurut siapa?” ujar Habiburokhman saat memimpin rapat Komisi III DPR RI, Kamis (27/3/2025).

Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM, Nicholay Aprilindo, menambahkan SKCK secara tidak langsung memutus masa depan banyak warga binaan.

"Usulan penghapusan SKCK itu, pertama, bagi narapidana yang sudah selesai menjalani hukumannya. Kemudian, yang sudah menunjukkan perilaku atau berkelakuan baik di dalam lapas atau rutan (rumah tahanan). Kemudian, juga yang mempunyai masa depan seperti anak-anak di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak)," jelasnya.

Kementerian HAM berpendapat setiap manusia memiliki hak asasi yang melekat sejak lahir. Hak itu tidak hilang hanya karena seseorang pernah melakukan kesalahan dan menjalani hukuman.

Menurut Nicholay, sekalipun mantan narapidana mendapatkan SKCK, terdapat keterangan yang menyatakan bahwa mereka pernah dipidana. Oleh sebab itu, sukar perusahaan atau tempat pekerjaan lain mau menerima mantan narapidana.

“Kalau orang sudah bertobat, orang sudah berkelakuan baik, kenapa harus distigma lagi dia sebagai narapidana,” tuturnya

Menghapus SKCK adalah bagian dari penegakan prinsip universal bahwa setiap manusia berhak diberi kesempatan untuk bangkit. Menurut Nicholay, jika seseorang sudah bertobat dan menunjukkan niat kuat untuk memperbaiki hidup, mengapa negara masih membebaninya dengan stigmatisasi?

“Beberapa narapidana ini juga mengeluhkan betapa dengan dibebankannya SKCK itu, masa depan mereka sudah tertutup. Bahkan, mereka berpikiran bahwa mereka mendapatkan hukuman seumur hidup karena tidak bisa untuk hidup yang baik, layak, maupun normal karena terbebani oleh stigma sebagai narapidana,” ujar Nicholay.

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai pemberlakuan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) layak dihapus karena tidak selaras dengan hak asasi manusia (HAM) dan berpotensi menghalangi hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan.

"Dalam hal sisi hak asasi manusia, itu (SKCK) memang sangat merugikan," ujarnya.

Hibnu mengatakan SKCK dapat menjadikan stigma negatif bagi orang-orang yang mempunyai catatan-catatan kriminal atau kejahatan. Padahal, lanjut dia, belum tentu pekerjaan yang diinginkan orang itu selaras dengan apa yang dilakukan ataupun pekerjaan tersebut selaras dengan penggunanya.

"Jangan sampai orang mau berusaha, sudah mendapatkan stigma negatif dulu, itu yang tidak boleh"

Jadi Beban Administratif, Merepotkan, dan Memberatkan Masyarakat

Selain masalah diskriminasi, SKCK juga dinilai sebagai beban administratif yang memberatkan masyarakat. Dalam praktiknya, SKCK memiliki masa berlaku yang terbatas, biasanya hanya enam bulan.

Ini mengharuskan individu untuk memperbarui dokumen secara berkala, yang dapat menjadi proses yang memakan waktu, terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari kantor kepolisian. Belum lagi dari segi biaya, yang mengharuskan masyarakat membayar administrasi sebesar Rp30.000 untuk pengurusan SKCK. Angka ini mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, namun bisa menjadi beban bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, juga menyoroti prosedur pengurusan SKCK yang rumit — mulai dari antrean panjang hingga verifikasi data — sering kali dianggap tidak efisien dan menghambat individu dalam mencapai tujuannya, baik itu dalam hal pekerjaan maupun kegiatan administratif lainnya.

"Saya mau cari kerja misalnya, perlu SKCK, itu benar-benar satu ongkos ke kepolisiannya, lalu ngantrinya. Apakah ada biaya? Ya, seterusnya ada ya, tetapi enggak tahu ya, dicek," katanya.

Terkait penghapusan SKCK untuk masyarakat umum, Nicholay mengatakan hal tersebut akan dirumuskan lebih lanjut. Ia berharap Kementerian HAM bisa mendiskusikan usulan ini dengan Polri, khususnya Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) sebagai unit yang mengeluarkan SKCK.

“Itu nanti kita lihat dalam perkembangan, dalam kita berdiskusi, kita merumuskan tentang persyaratan-persyaratan yang perlu atau tidak perlu di dalam SKCK,” ucapnya.

Tidak Memberikan Keadilan

Salah satu kritik paling tajam terhadap SKCK adalah ketidakkonsistenannya dalam penerapan prinsip keadilan. Hal ini karena pada kenyataannya SKCK tidak berlaku bagi mereka yang ingin menempati posisi atau jabatan publik.

Para narapidana kasus korupsi misalnya, bisa tetap mencalonkan diri sebagai anggota DPR, menjadi kepala daerah, atau menjabat sebagai komisaris BUMN. Sedangkan masyarakat biasa harus menghadapi diskriminasi dan stigma sosial meskin telah menjalani hukuman.

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof. Hibnu Nugroho, menegaskan ketidakadilan ini menjadi paradoks dari fungsi penerapan SKCK. 

"Padahal saat sekarang, mantan narapidana kasus korupsi boleh mencalonkan diri dalam pilkada, kenapa mantan narapidana lainnya harus terkendala dalam mencari pekerjaan karena adanya catatan negatif dari kepolisian," kata Hibnu menegaskan.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, beberapa pihak berpendapat bahwa SKCK tidak selalu diperlukan dan dapat digantikan dengan metode verifikasi lain yang lebih relevan dan adil.

Respons Polri

Sebelumnya, Kementerian HAM berkirim surat kepada Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo yang berisi usulan agar SKCK dihapus karena dinilai berpotensi menghalangi hak asasi warga negara.

Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM Nicholay Aprilindo mengatakan bahwa surat tersebut ditandatangani oleh Menteri HAM Natalius Pigai dan telah dikirim ke Mabes Polri pada hari Jumat (21/3).

"Alhamdulillah, tadi Pak Menteri sudah menandatangani surat usulan kepada Kapolri untuk melakukan pencabutan SKCK dengan kajian yang kami telah lakukan secara akademis maupun secara praktis," katanya.

Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan usulan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) agar surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dihapus, akan menjadi masukan bagi Polri. “Tentunya apa yang menjadi masukan dan sudah dikaji tersebut itu, menjadi masukan bagi kami,” ujar Wisnu di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (24/3/2025).

Brigjen Pol. Trunoyudo mengatakan apabila SKCK memang dirasa menghambat untuk melamar kerja atau lain sebagainya, maka kepolisian akan memberikan catatan khusus.

“Tentu kami hanya memberikan suatu catatan-catatan karena SKCK adalah surat keterangan catatan dalam kejahatan atau kriminalitas,” katanya.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER