5 Maret 2023 14:03 WIB
Penulis: Elok Nuri
Editor: Rizal Amril
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Tengku Oyong baru-baru ini disorot publik setelah mengabulkan gugatan Partai Prima dan menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan pemilu 2024.
Keputusan tersebut tertuang dalam putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Putusan tersebut dikabulkan oleh majelis hakim yang terdiri dari hakim ketua Tengku Oyong dan hakim anggota H.Bakri dan Dominggus Silaban.
“Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari,” ujar majelis hakim PN Jakarta Pusat yang diketuai T. Oyong, dikutip dari Antara.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyayangkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut karena melampaui kewenangannya.
"Begini, pertama, saya cukup menyayangkan putusan PN itu. Putusan itu melampaui kewenangannya," kata Doli.
Hal serupa juga disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud M. D. dengan menyebut hakim PN Jakarta Pusat tak memahami taksonomi hukum.
"Saya kira hakimnya tidak mengerti taksonomi ilmu hukum yang sangat dasar. Semua ahli hukum, semua orang yang tahu hukum, terutama yang tahu taksonomi ilmu hukum menyatakan [putusan] itu salah besar," ujarnya dilansir dari Antara.
Mahfud M. D. kemudian menjelaskan bahwa persoalan mengenai Pemilu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Kamarnya beda. Urusan Pemilu itu pengadilannya bukan pengadilan negeri, tapi ada MK kalau sudah hasil Pemilu, dan kalau proses awal itu PTUN dan Bawaslu," jelas Mahfud.
Melansir dari laman Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Hakim Tengku Oyong merupakan pria kelahiran Medan, Sumatera Utara pada 4 Maret 1964.
Tengku Oyong meraih gelar sarjana bidang hukum tata negara dari Universitas Islam Sumatera Utara. Ia kemudian melanjutkan program Pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Jambi.
Saat ini Tengku Oyong menjabat sebagai Hakim Madya Utama dengan pangkat Pembina Utama Muda (IV/C) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebelum menjadi hakim di PN Jakarta Pusat, pria 59 tahun ini tercatat pernah menjadi hakim di PN Sarolangun, Jambi dan PN Ambon.
Sebagai hakim, rekam jejak Tengku Oyong lekat dengan kasus-kasus kontroversial. Ia pernah memberikan putusan yang janggal, hingga terlibat kasus penganiayaan.
Berikut adalah daftar kontroversi Tengku Oyong selam kariernya:
Saat bertugas di PN Ambon, Tengku Oyong pernah dilaporkan ke Mahkamah Agung karena melakukan penganiayaan kepada seorang Jurnalis televisi lokal bernama Juhri Samanery.
Kejadian pemukulan itu berlangsung setelah proses sidang praperadilan Wakil Bupati Maluku Tenggara Barat, Lukas Uwuratuw.
Akibat dari peristiwa itu Tengku Oyong diperiksa Inspektur Wilayah Badan Pengawas Mahkamah Agung.
Selain Tengku Oyong, empat orang pegawai PN Ambon lainnya, yakni Jordan Sahusilawane, William, Dum Matauseja, dan salah seorang mahasiswa KKN, diduga ikut terlibat dalam aksi pemukulan tersebut.
Kasus tersebut sempat ditangani Polres Ambon. Dia lantas dimutasi ke PN Medan, pada 9 Februari 2017. Di PN Medan, Tengku Oyong merangkap sebagai Humas PN Medan sebelum dimutasi ke PN Jakarta Pusat.
Pada tahun 2021, hakim Oyong diketahui pernah menjatuhkan vonis bebas kepada Siska Sari W Maulidhina alias Siska, terduga kasus penipuan yang mengaku sebagai keturunan Nyi Roro Kidul.
Siska merupakan terduga pelaku dalam kasus penipuan anggota DPR RI Rudi Hartono. Menurut majelis hakim kala itu, perbuatan Siska bukan tindak pidana.
Vonis tersebut sangat jauh berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengharapkan Siska dihukum pidana penjara 10 tahun dan denda Rp2 miliar subsider enam bulan kurungan.
Saat bertugas sebagai hakim di PN Medan, Tengku Oyong pernah menjadi Ketua Majelis Hakim dalam kasus Doni Irwan Malay, pelaku perobekan dan pembuangan Al-Qur’an di Masjid Raya Al-Mashun Kota Medan.
Oyong menjatuhkan vonis hukuman pidana selama tiga tahun penjara kepada Doni, vonis tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan JPU yang menginginkan agar Doni dihukum empat tahun penjara.
KOMENTAR
Latest Comment