Putusan MK Soal Pasal Pencemaran Nama Baik UU ITE Beri Kepastian Hukum Mengkritik Pemerintah Bukanlah Kejahatan

2 May 2025 16:48 WIB

thumbnail-article

Demonstran yang tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) membentangkan poster saat berunjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (20/10/2020). Para demonstran yang terdiri atas pekerja dan mahasiswa menentang pengesahan Undang-undang Cipta Kerja yang mereka nilai merugikan rakyat. Sumber: (ANTARA FOTO/MOCH ASIM).

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

RINGKASAN

Dengan keputusan ini, kritik terhadap kebijakan pemerintah, lembaga publik, maupun korporasi yang disampaikan dalam ruang digital tak lagi dapat dijerat pidana pencemaran nama baik, selama dilakukan dalam kepentingan umum dan tidak melanggar hukum lainnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengambil langkah penting dalam menjaga marwah demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Melalui Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak lagi dapat digunakan untuk menjerat kritik terhadap lembaga pemerintah, institusi, maupun sekelompok orang dengan identitas tertentu.

Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo pada Selasa (29/4/2025) ini menjadi penegasan bahwa delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU ITE hanya berlaku apabila ditujukan kepada individu atau perseorangan.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ucap Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Frasa “orang lain” dalam Pasal 27A yang sebelumnya multitafsir, kini dipersempit maknanya. Mahkamah menyatakan frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.”

Putusan ini sekaligus menutup celah kriminalisasi terhadap kritik publik yang kerap dibungkam dengan tudingan pencemaran nama baik. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan ketidakjelasan batasan frasa “orang lain” telah menimbulkan risiko disalahgunakan oleh aparat penegak hukum, padahal pasal serupa dalam KUHP 2023 sudah tegas mengecualikan lembaga atau kelompok dari korban pencemaran.

Mahkamah juga menegaskan bahwa dalam negara demokrasi, kritik—sekalipun tajam dan mengandung ketidaksetujuan—harus dijamin eksistensinya sebagai bentuk pengawasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan. “Terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi justru akan mengikis fungsi kontrol publik,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pembacaan pertimbangan hukum.

Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa delik pencemaran nama baik adalah delik aduan yang hanya dapat diproses atas laporan dari individu yang merasa dirugikan. Ini memperkuat kedudukan warga negara sebagai pemilik hak atas ekspresi di ruang publik, dan sekaligus memperlemah posisi lembaga negara jika hendak memidanakan kritik atas nama kehormatan institusi.

Uji materi ini diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan dari Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali). Ia pernah dijatuhi vonis di Pengadilan Negeri Jepara karena video kritik atas kerusakan tambak di Karimunjawa, namun kemudian dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Semarang. Kasus ini menjadi simbol bagaimana UU ITE digunakan untuk membungkam suara-suara yang kritis atas kebijakan publik.

Putusan ini tidak hanya menjadi kemenangan bagi Daniel, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi digital Indonesia—bahwa kritik terhadap kekuasaan bukanlah kejahatan, melainkan fondasi kebebasan dan partisipasi rakyat yang dijamin konstitusi.

Kritik Bertanggungjawab

Merespons keputusan MK, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia sudah berlangsung dan dijamin oleh konstitusi, tetapi tetap harus dijalankan dengan tanggung jawab serta penghormatan terhadap orang lain.

“Keputusan MK yang kemudian dianggap ini merupakan kabar baik terhadap kebebasan berpendapat. Maka, menurut kami yang terpenting adalah bahwa kita semua memahami selama ini kebebasan berpendapat tersebut juga sudah terjadi dan juga dilindungi oleh Undang-Undang Dasar,” ujarnya dalam rekaman suara yang diterima Antara di Jakarta, Rabu (1/5/2025).

Namun demikian, Prasetyo mengingatkan bahwa kebebasan bukan berarti tanpa batas. “Kebebasan berpendapat juga harus dilandasi dengan tanggung jawab serta tidak dengan rasa kebencian,” tambahnya.

Dari sisi legislatif, Anggota DPR RI sekaligus Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid, menilai putusan ini sebagai “tonggak penting dalam memperkuat kebebasan berekspresi.”

Ia menekankan bahwa koreksi Mahkamah terhadap Pasal 27A UU ITE adalah bagian dari upaya merawat demokrasi digital, sekaligus mencegah kriminalisasi terhadap kritik publik yang selama ini kerap menjadi ancaman bagi warga negara di ruang siber.

“Putusan MK ini merawat nilai-nilai substantif dari demokrasi. Kritik itu seperti vitamin. Mungkin terasa pahit, tetapi justru itulah yang menyehatkan demokrasi,” kata Kholid di Jakarta, Jumat (2/5).

Ia melanjutkan bahwa negara yang kuat dibangun dari keberanian dan kejujuran dalam mendengar serta menjawab kritik dari masyarakat secara bijak dan matang.

Lebih lanjut, Kholid menjelaskan bahwa keputusan MK juga memberikan kepastian hukum yang lebih jelas, terutama dalam membedakan antara ruang fisik dan ruang digital.

“Putusan MK juga memperjelas bahwa frasa ‘kerusuhan’ dalam UU ITE hanya berlaku untuk gangguan ketertiban di ruang fisik, bukan di dunia maya. Ini sebagai koreksi konstitusional yang arif. Kita butuh hukum yang melindungi, bukan menakut-nakuti rakyat,” tegasnya.

Sementara itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan kesiapan untuk menyesuaikan diri dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi. Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, menegaskan bahwa institusinya tunduk dan akan mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.

“Tentu Polri akan beradaptasi atau menyesuaikan serta tunduk pada putusan MK yang merupakan aturan berlaku untuk memberikan pelindungan dan pelayanan kepada masyarakat,” kata Trunoyudo kepada wartawan.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER