Rakernas VIII Aliansi Masyarakat Adat Nusantara: Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak

15 Apr 2025 15:57 WIB

thumbnail-article

Ratusan peserta dari berbagai wilayah adat berkumpul di Desa Kedang Ipil, wilayah adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, untuk mengikuti Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKERNAS AMAN) VIII.

Penulis: Arbi Sumandoyo

Editor: Akbar Wijaya

RINGKASAN

Konstitusi sudah mengakui hak-hak Masyarakat Adat, tapi hingga hari ini belum ada operasionalisasi yang jelas.

Ratusan peserta dari berbagai wilayah adat berkumpul di Desa Kedang Ipil, wilayah adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, untuk mengikuti Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKERNAS AMAN) VIII. Rakernas kali ini mengusung tema: “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak.”

Pembukaan Rakernas ditandai dengan pawai budaya yang melibatkan ratusan peserta berpakaian adat pada Senin, 14 April 2025. Selain sebagai penanda dimulainya RAKERNAS AMAN VIII, pawai ini juga memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 2025 serta 26 tahun berdirinya AMAN. Di tengah gelombang pembangunan yang mengancam, pawai ini menjadi simbol keteguhan Masyarakat Adat dalam menjaga budaya dan identitasnya.

Ketua Panitia Pelaksana, Yoga Saeful Rizal, menjelaskan bahwa pemilihan Desa Kedang Ipil sebagai lokasi Rakernas bukan sekadar keputusan teknis, melainkan mengandung makna politis yang mendalam. Wilayah adat ini berada di garis depan ancaman ekspansi perkebunan sawit dan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Seluruh kekuatan AMAN berkumpul di sini, memperkuat solidaritas dan strategi perjuangan,” ujarnya.

Dalam sambutan pembukaan, Kepala Desa Kedang Ipil, Kuspawansyah, menyampaikan keresahan warganya yang sering distigma sebagai pelaku pembakaran hutan.

“Padahal, sejak nenek moyang, ladang kami tak pernah menyulut kebakaran,” katanya menegaskan.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menyoroti semakin represifnya situasi nasional terhadap Masyarakat Adat. AMAN mencatat sedikitnya 110 kasus yang melibatkan komunitas adat hanya dalam rentang Januari hingga Maret 2025. Pada tahun sebelumnya, terdapat 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat yang mencakup lebih dari 2,8 juta hektare, menimpa 140 komunitas adat.

Kalimantan Timur menjadi salah satu contoh paling nyata. Dua orang dari komunitas Masyarakat Adat Muara Kate menjadi korban kekerasan saat memprotes penggunaan jalan umum oleh truk tambang milik PT Mantimin Coal Mining (MCM).

Leher keduanya disayat—salah satunya meninggal dunia. Di wilayah Sepaku, Suku Balik semakin terdesak karena proyek IKN. Di Paser, hutan mangrove milik Masyarakat Adat Rangan diuruk untuk pembangunan stockpile batu bara. Sementara itu, di Kedang Ipil, warga terus bertahan mempertahankan hutan adat dari ekspansi sawit.

Menurut Rukka, kondisi ini diperkirakan akan memburuk setelah Presiden Prabowo Subianto menetapkan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN), ditambah dengan pengesahan revisi Undang-Undang TNI.

“Kebijakan itu memperkuat watak militeristik dan melegalkan perampasan wilayah adat,” ujarnya.

“Di sisi lain, konstitusi sudah mengakui hak-hak Masyarakat Adat, tapi hingga hari ini belum ada operasionalisasi yang jelas. Aturan tentang Masyarakat Adat tercecer di berbagai undang-undang—ibarat tubuh yang diatur oleh kepala, tangan, dan kaki yang tidak terhubung.”

Ia juga menekankan bahwa perampasan wilayah adat yang dianggap sah secara hukum, belum tentu memiliki legitimasi.

“Legal, but not legitimate.”

Rukka turut mengecam praktik kriminalisasi terhadap para pembela hak-hak adat, serta regulasi yang memperkuat model pembangunan yang eksploitatif, seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, UU Konservasi, dan kebijakan nilai ekonomi karbon.

“Kami yang menjaga hutan, tapi pihak lain yang menikmati keuntungannya,” katanya.

Namun di tengah tekanan, Rukka menegaskan bahwa Masyarakat Adat tidak akan menyerah.

“Itulah resiliensi—bangkit dari trauma dengan kesadaran politik, sejarah, dan spiritualitas. Dunia telah mengakui bahwa keberlanjutan lingkungan tak lepas dari peran Masyarakat Adat.”

Ia menutup pidatonya dengan mengingatkan sejarah pendirian AMAN.

“AMAN lahir dari perlawanan terhadap militerisme Orde Baru. Hari ini, wajah penindasan mungkin berubah, tapi wataknya tetap sama. Dalam situasi ini, sahabat kita adalah alam semesta, leluhur, dan pencipta.”

Dalam sesi Dialog Umum, akademisi Fakultas Hukum UGM, Yance Arizona, menyampaikan bahwa Indonesia saat ini bukan sedang dalam proses pendalaman demokrasi, melainkan bergerak ke arah yang berlawanan.

“Masyarakat Adat tidak anti pembangunan. Tetapi Masyarakat Adat menolak pembangunan yang menghilangkan tanah (baca: wilayah). Sebab bagi Masyarakat Adat, identitas melekat pada tanah. Jika tanah diganggu, berarti ada identitas yang hendak dihapus,” ujarnya.

Yance juga menyoroti tidak sinkronnya mekanisme antar kementerian terkait pengakuan hak-hak Masyarakat Adat.

“Karena itu, solusinya hanya satu: segera sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat,” tegasnya.

RAKERNAS AMAN VIII akan berlangsung selama tiga hari, dari 14 hingga 16 April 2025, dan diikuti oleh sekitar 500 peserta dari seluruh struktur organisasi AMAN. Forum ini menjadi ruang penting untuk mengevaluasi gerakan, merefleksikan tantangan, dan merumuskan strategi politik Masyarakat Adat dalam menghadapi tekanan yang kian berat di masa depan.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER