Revisi UU ITE: DPR dan Pemerintah Ubah 14 Pasal dan Tambah Lima Pasal, Apa Jadi Lebih Baik?

6 Desember 2023 15:12 WIB

Narasi TV

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

"Saya kira Revisi Undang-Undang ITE bertujuan untuk menciptakan ruang digital yang sehat."

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-10, Selasa (5/12/2023).

"Melalui forum ini kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan HAM atas segala peran serta kerja sama yang telah diberikan selama pembahasan RUU tersebut," kata Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Freidrich Paulus sambil mengetuk palu sidang di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi berpendapat secara keseluruhan revisi UU ITE telah membawa banyak peningkatan untuk meregulasi dan menciptakan ruang digital Indonesia menjadi lebih sehat.

Dia berharap revisi dapat memberikan penanganan hukum yang lebih baik sehingga ruang digital semakin produktif dan berkeadilan.

Lantas hal apa saja yang membedakan Undang-Undang ITE versi revisi dan sebelum revisi?

Secara keseluruhan, tim Panitia Kerja (Panja) untuk RUU ITE telah menyelesaikan pembahasan dan menyepakati perubahan yang terdapat pada 14 pasal eksisting dan penambahan 5 pasal RUU Perubahan Kedua UU ITE.

Diklaim Lebih Baik

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria menilai bahwa disahkannya Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menciptakan ruang digital yang sehat.

"Saya kira Revisi Undang-Undang ITE bertujuan untuk menciptakan ruang digital yang sehat," ujar Nezar dikutip Antara di Jakarta, Selasa.

Nezar mengatakan dalam revisi tersebut terdapat 14 pasal yang direvisi serta penambahan lima pasal baru, termasuk revisi yang dilakukan pada pasal 27 yang dikenal sebagai "pasal karet" dalam regulasi sebelumnya.

"Kita harapkan penggunaannya lebih tepat," ucapnya.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong mengatakan setidaknya terdapat dua isu penting setelah UU ITE direvisi.

"(Misalnya) ada pasal pelindungan anak di ruang digital. Sebelumnya sama sekali tidak ada, ini ada," ujar Usman dikutip Antara di Jakarta, sehari sebelum pengesahan, Senin (4/12/2023).

Aturan tentang perlindungan anak saat mengakses sistem informasi elektronik tertuang dalam Pasal 16 A. Dalam beleid ini penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan sejumlah informasi yang beberapa di antaranya:

  1. informasi mengenai batasan minimum usia anak yang dapat menggunakan produk atau layanannya;
  2. mekanisme verifikasi pengguna anak; dan
  3. mekanisme pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak.


Apabila tidak dipatuhi, penyelenggara sistem elektronik dapat dikenakan sanksi teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, hingga pemutusan akses.

Selain itu, terdapat pengecualian yang diatur pada Pasal 27 UU ITE. Dalam beberapa kasus di masyarakat, terdapat perbedaan penafsiran yang dapat mengakibatkan seseorang yang seharusnya melaporkan kasus penghinaan justru menjadi tersangka.

Usman mencontohkan kasus Baiq Nuril, di mana kala itu Baiq malah menjadi tersangka usai melaporkan adanya dugaan pelecehan seksual terhadap dirinya.

Usman mengatakan, dengan adanya pasal pengecualian, seseorang dapat dikecualikan dari sanksi UU ITE jika tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan pembelaan diri dan dapat dibuktikan.

"Kalau sebelumnya kan tidak diatur ya, pengecualian, orang dilarang menghina mencemarkan nama baik, menurunkan martabat orang. Tapi ini ada pasal pengecualian itu boleh. Kalau itu untuk kepentingan pembelaan diri dan bisa menunjukkan maka itu tidak akan terkena UU ITE ini. Itu di Pasal 27 diatur," jelasnya.

Lebih lanjut Usman menegaskan bahwa revisi UU ITE dilakukan untuk menjaga kebebasan berpendapat di ruang publik, namun tetap mempertimbangkan hak dan kebebasan individu lainnya.

Dengan adanya perubahan ini, kata dia, diharapkan ruang digital di Indonesia menjadi lingkungan yang aman dan sehat.

"Revisi Undang-Undang ITE ini juga untuk memberi kepastian hukum. Karena tadi kan ada pengecualian itu, jadi ada kepastian hukum," pungkas dia.

Seluruh pembahasan maupun perubahan yang dibawa dalam naskah RUU ITE tersebut disetujui oleh sembilan fraksi yang terdapat di dalam Komisi I DPR RI yang terdiri dari Fraksi Partai PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat, PKS, PKB, PAN, dan PPP.

Apa Saja yang Berubah?

Selain yang telah disebutkan di atas, berikut ini adalah perubahan-perubahan penting dalam revisi UU ITE terbaru:

Penghapusan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Asing (Pasal 13):

Pasal 13  mengatur tentang pelaksanaan awal sertifikasi elektronik termasuk penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia dan asing.

Namun sebagai bagian dari perubahan ini, ketentuan mengenai penyedia e-sertifikat asing telah dihapus. Pasal 13 kini menegaskan bahwa penyedia sertifikat elektronik dapat menyediakan layanan seperti tanda tangan elektronik, stempel elektronik, stempel waktu elektronik, layanan pengiriman pendaftaran elektronik, situs web otentikasi, tanda tangan elektronik yang diawetkan dan/atau segel elektronik, serta identifikasi digital dan/ atau layanan lain yang menggunakan sertifikat elektronik.

Revisi pada Pasal 'Karet' (Pasal 27):

Pasal 27, yang dianggap beberapa pihak sebagai pasal yang bersifat ambigu, mengalami perubahan. Beberapa pihak mengusulkan agar pasal tersebut dihapus, tetapi dalam revisi kedua ini, pemerintah dan DPR memilih untuk mengubah substansinya.

Pasal 27 dalam UU pertama terdiri dari 4 ayat dan mengatur distribusi atau produksi informasi atau dokumen di ruang digital, melarang konten yang melanggar etika, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, dan ancaman.

Dalam peraturan baru ini, pasal 27 disederhanakan menjadi 2 ayat yang menangani konten yang melanggar etika dengan penambahan frasa "untuk diketahui umum," dan konten perjudian. Pasal yang mengatur konten penghinaan, pencemaran nama baik, dan pemerasan atau ancaman dihapus. Namun, DPR dan pemerintah menambahkan dua pasal baru, yaitu Pasal 27 A dan 27 B.

Pasal 27 A menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduh suatu hal dengan maksud agar hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik."

Penjelasan Pasal 27 A menyebutkan bahwa 'menyerang kehormatan atau nama baik' mencakup perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.

Sementara Pasal 27 B mengatur larangan distribusi informasi elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, seperti memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau orang lain; atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.

Pasal 28 B ayat (2) menjelaskan larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau ancaman membuka rahasia, memaksa orang agar: memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau orang lain; atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.

Berita Pemalsuan yang Menyulut Kerusuhan (Pasal 28).

Dalam pasal 28, terdapat penambahan satu ayat yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Selain melarang penyebaran berita palsu yang menyebabkan kerugian, terdapat juga larangan menyebarkan informasi berbau kebencian dan permusuhan individu atau SARA. Ayat (3) baru pun ditambahkan, menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di  masyarakat."

Eliminasi Ungkapan Pribadi dalam Ancaman Kekerasan (Pasal 29)

Pasal 29, semula mengenai ancaman kekerasan atau intimidasi secara pribadi, mengalami perubahan menjadi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti."

Intervensi Pemerintah dalam Sistem Penyelenggara Elektronik (Pasal 40 A)

Pasal 40 A, disisipkan pemerintah di antara pasal 40 dan 41, mengatur tentang intervensi pemerintah.

Dalam ayat (2), dijelaskan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk memerintahkan penyelenggara sistem elektronik melakukan penyesuaian atau tindakan tertentu guna mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.

"Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)," demikian bunyi pasal 40 A ayat (3).

Jika penyelenggara sistem elektronik melanggar kewajibannya, sanksi administratif dapat diberlakukan, mulai dari teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, hingga pemutusan akses.

Penyidik Berhak Menutup Akun Media Sosial Secara Sepihak

(Pasal 43) Pasal 43 mengatur mengenai penyidikan. Selain penyidik pejabat Polisi, pejabat ASN tertentu di lingkungan pemerintah yang relevan di bidang ITE juga diberi wewenang untuk melakukan intervensi dalam penyidikan.

Wewenang tersebut mencakup menerima laporan, memanggil dan memeriksa saksi hingga tersangka. Selain itu, melakukan pemeriksaan alat, penggeledahan, hingga menghentikan penyidikan.

Dalam revisi UU ITE kali ini, DPR dan pemerintah menambahkan klausul baru dalam huruf (i), yang menyatakan, "memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital."

Pelanggaran Terhadap Informasi Kesusilaan dan Pencemaran Nama Baik Dapat Menghindari Hukuman dengan Syarat (Pasal 45)

Pasal 45 mengatur mengenai ketentuan pidana. Sejumlah perubahan diterapkan, termasuk beberapa pengecualian bagi pelanggar Pasal 27, asalkan memenuhi sejumlah kondisi.

Misalnya, setiap individu yang mendistribusikan informasi kesusilaan dapat dihukum penjara paling lama enam tahun atau denda maksimal Rp1 miliar. Namun, dalam peraturan baru ini, ditambahkan beberapa pengecualian.

"Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal: a. dilakukan demi kepentingan umum; b. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau, c. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan."

Dalam kasus lain, setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud agar hal tersebut diketahui umum melalui media elektronik, dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp400 juta.

Dalam revisi kedua UU ITE ini, kini terdapat pengecualian untuk menghindari pidana, yaitu jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

Selanjutnya, ada tambahan klausul dalam pasal 45 A. Pemerintah dan DPR memasukkan sanksi pidana bagi individu yang menyebarkan berita palsu dan menyebabkan kerusuhan di masyarakat, dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.

 

Topik:

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR