Revisi UU Penyiaran Dihujani Kritik: DPR Kok Gak Cape Bikin Publik Gregetan?

17 May 2024 17:05 WIB

thumbnail-article

Sejumlah wartawan menutup mulut menggunakan stiker saat unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (17/5/2024). ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/rwa.

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

DPR seperti gak ada capeknya bikin publik gregetan Jadi gini, baru-baru ini lagi ramai dibahas soal RUU Penyiaran. Banyak pihak ngerasa pasal-pasal di sana kebelinger, apalagi yang ngebatasi jurnalis buat bikin berita investigasi.

"Kalau itu sangat keblinger, masa media tidak boleh investigasi, tugas media itu ya investigasi hal-hal yang tidak diketahui orang," kata mantan Menkopolhukam Mahfud Md dalam keterangan tertulis, Rabu (15/5).

Langsung ajah yuk kita cek informasinya.

Gambaran Besar:

Kontroversi terkait beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran semakin memanas. Banyak pihak menganggapnya sebagai ancaman serius bagi kebebasan pers dan demokrasi. Namun, DPR bersikeras bahwa undang-undang ini tidak akan mengusik kemerdekaan pers. Benarkah demikian?

Konteks:

Jurnalisme adalah pilar penting bagi demokrasi di Indonesia. Revisi UU Penyiaran dengan pasal-pasal yang dianggap bermasalah menimbulkan ketakutan di kalangan jurnalis terkait kebebasan mereka dalam melakukan tugas jurnalistik.

Pasal-Pasal yang Dinilai Bermasalah

Pasal 50B ayat 2 huruf c:

Pasal ini dikritik karena memungkinkan pemerintah untuk membatasi dan mempidanakan produk jurnalistik yang dianggap meresahkan, termasuk larangan penayangan produk jurnalistik investigasi eksklusif.

Pasal 8A huruf q:

Pasal ini memberikan kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menangani sengketa jurnalistik, yang seharusnya menjadi domain Dewan Pers. Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, menegaskan bahwa hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Pers yang memberikan mandat penyelesaian sengketa kepada Dewan Pers.

Implikasi:

Pasal-pasal ini menimbulkan kekhawatiran akan tumpang tindihnya kewenangan KPI dan Dewan Pers, serta penyelesaian sengketa jurnalistik yang langsung berujung pada pidana tanpa melibatkan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur bahwa penyelesaian sengketa pers dilakukan oleh Dewan Pers.

Apa kata Mereka:

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan bahwa aturan baru dalam RUU Penyiaran dapat mengekang kemerdekaan pers dan merusak produk jurnalistik berkualitas. "RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas," kata Ninik.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan jurnalisme investigasi justru membantu mengungkap kasus hukum. "Jurnalisme investigasi justru membantu pengungkapan kasus hukum dan Kejaksaan dengan informasi yang dipaparkan," ujarnya.

Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardhana, menilai aturan ini membingungkan dan mengancam kebebasan pers.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menilai revisi yang berpotensi melarang produk jurnalistik investigasi itu adalah suatu kekeliruan. "Dia akan menjadi hebat media itu kalau punya wartawan yang bisa melakukan investigasi mendalam dengan berani," kata Mahfud.

Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan jurnalisme investigasi penting di tengah apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum. "Kadang-kadang laporan investigasi menjadi masukan untuk melakukan penyelidikan. Laporan investigasi tak ubahnya laporan masyarakat," katanya.

DPR Berkilah:

Anggota Komisi I DPR RI, Nurul Arifin, memastikan bahwa Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran DPR RI tidak bermaksud untuk membungkam kebebasan pers di Indonesia. "Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini," kata Nurul Arifin.

Anggota Komisi I DPR, Mayor Jenderal (Purnawirawan) TB Hasanuddin, menyatakan bahwa DPR tidak memiliki niat untuk memberangus kebebasan pers dengan memuat pasal yang melarang siaran eksklusif jurnalisme investigasi. "Saya kira bisa dipahami. Jadi jangan sampai proses hukum yang dilakukan aparat terpengaruh konten jurnalisme investigasi," kata Hasanuddin.

Kesimpulan:

RUU Penyiaran yang sedang dibahas di DPR ini menuai banyak kritik karena dianggap berpotensi membatasi kebebasan pers dan merusak fungsi pengawasan media. Kebijakan larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi serta tumpang tindih kewenangan penyelesaian sengketa jurnalistik dinilai dapat menghambat transparansi dan akuntabilitas pemerintah, serta mengancam demokrasi di Indonesia.

Berbagai kalangan, termasuk AJI Indonesia, Dewan Pers, dan para penegak hukum, menyerukan agar pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran ini dihapus atau direvisi untuk melindungi kebebasan pers dan menjaga kualitas jurnalisme di Indonesia.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER