Penulis: Elok Nuri
Editor: Rizal Amril
Akibat blokade dan invasi kejam Israel terhadap Palestina merembet pada sektor kesehatan. Para dokter di Jalur Gaza disebut terpaksa melakukan tindakan operasi tanpa anestesi atau bius.
Kondisi ini seperti mimpi buruk bagi seorang dokter yang harus melakukan tugasnya di tengah perang dan juga peralatan dan obat-obatan yang minim.
Konflik bersenjata Israel-Hamas yang pecah sejak 7 Oktober lalu tak menunjukkan tanda akan cepat berakhir hingga kini.
Sejak infiltrasi Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober lalu, Israel terus membombardir Jalur Gaza dengan serangan udara. Hingga kini, korban meninggal dari pihak Palestina disebutkan mencapai setidaknya 8.000 jiwa.
Tidak hanya membombardir Gaza, Israel juga memblokade akses transportasi menuju dan keluar Gaza yang membuat banyak bantuan kemanusiaan dari negara-negara lain tersendat.
Mengutip The Associated Press (AP), seorang ahli bedah ortopedi di Rumah Sakit Al Quds Gaza bernama dr Nidal Abed menceritakan kondisi rumah sakit tempat dia menjalankan tugas sebagai seorang dokter.
Abed mengaku dengan segala keterbatasan obat-obatan membuatnya harus tetap melakukan operasi pasien yang terus berdatangan tanpa menggunakan obat bius.
Ia menceritakan kengiluan dan jeritan pasien yang terpaksa harus ia dengar saat dirinya membedah dan menjahit luka-luka tanpa pasien tanpa anestesi.
Abed juga menceritakan dirinya yang merasa tidak tega melihat banyak pasien yang terluka dan masih harus mengantri menunggu giliran untuk dirawat.
"Tidak ada yang lebih ngeri dari jeritan pasien yang dioperasi tanpa cukup anestesi, kecuali mungkin wajah-wajah penuh ketakutan mereka yang menunggu giliran operasi," ungkap Abed.
Bahkan, Abed juga mengaku di tengah persedian medis yang mimin, ia terpaksa merawat pasien dengan peralatan apa saja yang ia temukan, seperti pakaian yang dijadikan perban.
"Kami kekurangan segalanya, dan kami menghadapi operasi yang sangat rumit," kata dr Abed, yang bekerja dengan Doctors Without Borders.
Tidak hanya krisis obat-obatan, para dokter di bangsal bersalin juga mengalami situasi yang rumit untuk merawat bayi-bayi yang baru lahir selama serangan udara Israel ke Gaza.
Tenaga kesehatan di bangsal bersalin mengeluhkan ketiadaan listrik yang sangat berdampak pada kehidupan para bayi di sana.
Seorang dokter dari Rumah Sakit A-Ashifa Gaza menyebutkan bahwa blokade Israel terhadap akses listrik mengancam keselamatan para bayi yang ia rawat di rumah sakit.
“Jika listrik padam di bangsal dengan 55 bayi ini, kami akan kehilangan mereka semua jika listrik tidak menyala selama lima menit,” ungkap dr Nasser Bulbul di Rumah Sakit A-Ashifa Gaza, dikutip dari Antara.
Ahsraf al-Qidra, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, mengatakan ada 130 bayi baru lahir yang dirawat dalam inkubator di seluruh Jalur Gaza.
Dia mengatakan generator listrik di RS-RS, terutama RS Shifa yang paling besar di antara 13 RS di Gaza, kekurangan bahan bakar dan "hanya tinggal sedikit di dasar tangki."
Sementara itu, PBB kini tengah melakukan sidang Majelis Umum PBB yang dimulai sejak Jumat (27/10) untuk membahas resolusi gencatan senjata untuk kemanusiaan di Gaza. Sidang tersebut dilaksanakan setelah diajukan oleh Yordania.
Sebanyak 120 negara, termasuk Indonesia, mendukung rancangan resolusi tersebut. Sebanyak 45 negara memilih abstain, dan 14 negara--termasuk Israel dan AS--menolak rancangan resolusi tersebut. Rancangan tersebut kemudian lolos setelah mendapatkan 2/3 dukungan anggota PBB.
Sebanyak 14 negara yang menolak rancangan tersebut adalah Israel, Amerika Serikat, Austria, Kroasia, Rep. Ceko, Fiji, Guatemala, Hungaria, Marshall Islands, Micronesia, Nauru, Papua New Guinea, Paraguay, dan Tonga.
KOMENTAR
Latest Comment