Suasana khusyuk menyelimuti Masjid Agung Baitul Makmur di jantung Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, ketika ratusan santri dan teungku dayah (ustaz dari pesantren tradisional) menggelar doa dan zikir bersama. Aksi spiritual ini bukan semata ritual keagamaan, melainkan sebuah bentuk perlawanan simbolik terhadap keputusan pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau di perairan Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Aksi ini digelar sebagai respons atas terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menyatakan bahwa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang kini masuk dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara. Padahal, selama ini keempat pulau tersebut berada di wilayah perairan Aceh, tepatnya dalam administrasi Kabupaten Aceh Singkil, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
“Zikir dan doa bersama yang kami lakukan ini untuk Bapak Gubernur Aceh Muzakir Manaf, agar beliau selalu diberikan kemampuan dan kesehatan untuk mempertahankan kedaulatan Aceh, agar empat pulau yang sudah dinyatakan milik daerah lain tetap kembali milik Aceh,” ujar Teungku Bachtiar, anggota DPRK Aceh Barat yang juga menjadi koordinator aksi, kepada Antara.
Aksi tersebut mencerminkan kegelisahan yang mengakar di kalangan masyarakat bawah Aceh. Pulau-pulau itu bukan sekadar gugusan tanah di tengah laut, tetapi simbol historis wilayah kedaulatan Aceh yang mereka nilai tengah dirampas secara administratif.
“Kami selaku teungku dayah dan santri di Aceh Barat mendukung penuh Mualem dalam hal ini Gubernur Aceh untuk mempertahankan empat pulau milik Aceh yang kini ditetapkan dalam wilayah Sumatera Utara oleh pemerintah pusat,” kata Bachtiar lagi.
Ia menyebut dukungan moral dari kalangan dayah sebagai bentuk solidaritas masyarakat dalam membela kehormatan daerah. Penolakan terhadap keputusan pemerintah pusat tidak hanya muncul dari aspek administratif, tetapi juga menggugah memori historis konflik Aceh di masa lalu. Dalam nada yang tegas dan emosional, Teungku Bachtiar memperingatkan bahwa persoalan kedaulatan wilayah bisa memancing ketegangan baru.
“Jangankan pulau, sejengkal pun tanah Aceh tidak akan kami berikan untuk provinsi-provinsi lain,” tegasnya.
Ia mengimbau Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tidak membuat keputusan yang bisa memicu gejolak sosial.
“Aceh sudah damai, kami sudah nyaman dan aman hidup dalam keadaan damai seperti saat ini. Jangan memancing suasana dengan menggerogoti bumi Aceh, karena Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sudah lama berdamai,” katanya.
Doa dan zikir yang dilantunkan santri-santri muda dan para ulama itu juga ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto agar bertindak bijak dalam menyikapi persoalan ini. Mereka berharap Prabowo mampu melihat persoalan ini tidak semata-mata dari perspektif teknis administratif, melainkan sebagai isu kepercayaan politik antara pusat dan daerah, khususnya dengan Aceh yang memiliki latar sejarah panjang konflik dan perjanjian damai.
Tokoh masyarakat Aceh, H. Ramli MS, turut menyuarakan keprihatinannya. Ia meminta pemerintah pusat agar segera menyelesaikan polemik ini sebelum berkembang menjadi isu yang lebih besar.
“Kami berharap kepada pemerintah agar persoalan empat pulau milik Aceh ini tetap kembali ke Aceh,” ujarnya.
Ramli MS menilai selama ini masyarakat Aceh hidup dalam suasana damai dan tenteram, tetapi polemik mengenai keempat pulau itu mulai menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Ia juga mengungkapkan keyakinannya terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo dalam menyelesaikan masalah ini secara adil dan bijaksana.
Keputusan administratif soal batas wilayah antarprovinsi sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Namun, di Aceh, setiap inci tanah memiliki nilai simbolik dan historis yang tak ternilai. Daerah yang pernah menempuh jalan panjang penuh darah demi kedaulatan dan otonomi ini, selalu menempatkan martabat wilayah sebagai bagian dari harga diri kolektif masyarakatnya.
Kini, tuntutan agar keempat pulau tersebut dikembalikan ke Aceh bukan hanya soal peta dan administrasi, tetapi soal memori, identitas, dan amanah damai yang coba dijaga masyarakat Aceh sejak penandatanganan MoU Helsinki dua dekade silam.