Explain: Berhenti (Cuma) Mengkritik AS dan Israel, Sejarah "Pengkhianatan" Para Pemimpin Arab terhadap Perjuangan Palestina

15 Apr 2025 23:25 WIB

thumbnail-article

Presiden Donald J. Trump, Menteri Luar Negeri Bahrain Dr. Abdullatif bin Rashid Al-Zayani, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed Al Nahyan menandatangani Abraham Accords pada hari Selasa, 15 September 2020, di South Lawn Gedung Putih. (Foto Resmi Gedung Putih oleh Shealah Craighead)

Penulis: Jay Akbar*

Editor: Akbar Wijaya

RINGKASAN

"Kematian saya tidak akan menghentikan perang; itu hanya akan menunjukkan lebih banyak pengkhianatan dunia."

Di sudut Kota Khan Younis yang porak-poranda, Areej al-Qadi bersimpuh di tanah menciumi jenazah tiga anaknya yang terbujur kaku. Air matanya tak terbendung dan tangisnya pecah ketika ia mendekap si sulung Abdul Aziz (7 tahun) yang tewas bersama adiknya Hamza (5 tahun), dan Laila (3 tahun), akibat serangan udara Israel saat mereka tengah bermain di luar rumah.

Areej bilang Aziz bercita-cita menjadi astronot.

“Dia pernah berkata padaku, ‘Aku berharap ada roket datang dan aku bisa pergi ke bulan.’ Dia tidak tahu bahwa roket itu benar-benar akan datang dan mencabik-cabiknya menjadi potongan-potongan,” katanya lirih, seperti dikutip Reuters pada November 2024.

Di tengah suasana duka, seorang pelayat meledak dalam kemarahan. Ia mengecam Amerika Serikat dan para pemimpin Arab yang tak sungguh-sungguh menghentikan perang.

"Apa haknya Amerika berbicara tentang demokrasi, keadilan, dan kesetaraan?" teriak Ra’fat al-Shaer, warga Gaza yang kehilangan tempat tinggal.

"Juga ini pesan untuk dunia Arab, kepada para kepala negara Arab: sampai kapan ini akan terus terjadi?"

Seorang guru Palestina, Marwan, menyatakan bahwa setelah dua tahun konflik dengan Israel, ia kehilangan harapan terhadap dukungan dari dunia Arab dan justru berharap pada bantuan dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Dengan nada frustasi Ia bahkan mendukung rencana relokasi yang diusulkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang bertujuan memindahkan warga Gaza ke negara lain demi pembangunan dan rekonstruksi wilayah tersebut.

"Jadi saya rasa Liga Arab tidak akan memberikan apa pun kepada kami terkait masalah ini," kata Marwan dikutip Newyork Post.

Kekecewaan serupa juga disampaikan seorang gadis Palestina di Gaza yang mengecam negara-negara Arab atas sikap diam mereka terhadap perang Israel di Gaza. Dalam sebuah video viral yang ditayangkan Middle East Eye, ia berkata:

"Mengapa kalian (Arab) diam sampai sekarang? Mengapa? Kalian melihat adegan kematian dan orang-orang yang terbakar hidup-hidup."

Ia bahkan memohon agar jika suatu saat ia terbunuh, tak ada yang mengambil gambarnya.

"Kematian saya tidak akan menghentikan perang; itu hanya akan menunjukkan lebih banyak pengkhianatan dunia."

Kemarahan yang menyebar di antara warga Gaza bukan semata-mata karena tragedi yang menimpa keluarga mereka, melainkan juga karena rasa ditinggalkan oleh bangsa-bangsa Arab. Kemarahan dan kekecewaan ini berakar dari perubahan politik dunia Arab yang tidak lagi menempatkan Palestina sebagai jantung solidaritas, melainkan perhitungan pragmatis dan kepentingan politis rezim di masing-masing negara.

Mesir—yang dahulu memelopori embargo minyak 1973 sebagai tekanan terhadap Barat demi membela Palestina—kini justru memblokade perbatasan Rafah, satu-satunya jalan keluar Gaza ke dunia luar. Tindakan ini menjadikan Gaza tak ubahnya penjara terbuka raksasa, tempat di mana rakyat yang terluka tak bisa keluar dan bantuan kemanusiaan tertahan di perbatasan.

Dari nasionalisme pan-Arab yang menyala di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser, dunia Arab berubah arah setelah Perang Teluk menuju pragmatisme yang transaksional. Hubungan diplomatik dengan Israel tidak lagi dianggap pengkhianatan, melainkan investasi geopolitik. Konferensi, kecaman, dan pernyataan dukungan yang terdengar dari ibukota-ibukota Arab, pada akhirnya tak dibarengi dengan langkah konkret untuk menghentikan pembantaian.

Situasi ini menggambarkan apa yang dikatakan Imad K. Harb, Direktur Riset dan Analisis di Arab Center, Washington DC, “Pemerintah Arab telah lama meninggalkan Palestina.”

Absennya tindakan nyata pemimpin Arab dalam membela hak-hak Palestina turut mengubah bentuk perlawanan terhadap zionisme Israel. Perlawanan bersenjata kini diambil alih oleh kelompok non-negara, seperti Hizbullah dan Hamas, dan baru-baru ini Houthi (secara resmi dikenal sebagai Ansar Allah) di Yaman, setelah PLO kehilangan perannya. 

Di sisi lain, gelombang kecaman dan perlawanan terhadap genosida yang dilakukan Israel ke rakyat Palestina justru terjadi di negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia. Di jalan-jalan Berlin, Madrid, Paris, New York, Tokyo, dan Seoul, demonstrasi besar-besaran menggema.

Tokoh-tokoh parlemen Eropa, aktivis Amerika, hingga pegiat HAM dari Asia mengecam kekejaman yang dilakukan atas nama "tanah yang dijanjikan Tuhan" dan keamanan. Kerasnya dukungan sejumlah negara Eropa terhadap kemerdekaan Palestina sempat membuat Israel geram dan memutuskan menarik duta besar mereka dari Irlandia, Norwegia, dan Spanyol.

Padahal, seperti kata Ussama Makdisi dalam artikel di Middle East Eye, "Perang di Gaza: Mengapa Negara-Negara Arab Gagal Membela Rakyat Palestina" pada 1 Maret 2024, jauh sebelum genosida palestina menjadi isu etika dan kemanusiaan yang menggema di berbagai belahan dunia, negara-negara arab sudah lebih dulu melakukannya. Namun, apa yang membuat negara-negara Arab berubah sikap?

Perang 1948 sebagai Kegagalan Awal

Pada 29 November 1947, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Resolusi 181, yang merekomendasikan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara—satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab—dengan Yerusalem sebagai zona internasional. Meskipun Yahudi hanya membentuk kurang dari sepertiga populasi dan memiliki kurang dari 7% tanah, mereka diberikan lebih dari setengah wilayah tersebut.

Penolakan keras datang dari Komite Tinggi Arab, Liga Arab, Mesir, Arab Saudi, Yaman, Lebanon, Suriah, dan Irak, dan pemerintah-pemerintah Arab lainnya, yang melihat rencana ini sebagai pelanggaran terhadap prinsip penentuan nasib sendiri yang dijamin dalam Piagam PBB.

Perang Arab-Israel 1948, yang dikenal sebagai Nakba atau "malapetaka" dalam bahasa Arab, merupakan titik balik dramatis dalam sejarah Timur Tengah. Perang ini dimulai setelah deklarasi kemerdekaan Israel pada 14 Mei 1948, yang segera diikuti oleh invasi dari negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon. Mereka berusaha mencegah berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina.

Namun, pasukan Israel yang terdiri dari milisi-milisi seperti Haganah, Irgun, dan Lehi, berhasil mengalahkan pasukan Arab dan merebut wilayah yang lebih luas dari yang dialokasikan oleh rencana pembagian PBB.

Selama konflik ini, sekitar 750.000 warga Palestina diusir atau melarikan diri dari rumah mereka, menjadi pengungsi di wilayah-wilayah seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon. Lebih dari 500 desa dan kota Palestina dihancurkan atau dikosongkan, dan banyak dari mereka diganti namanya dengan nama-nama Ibrani.

Sedangkan Kota Suci Yerussalem dibagi menjadi dua, Yerussalem Barat dikuasai dan kemudian dianeksasi oleh Israel, sementara Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua yang memiliki nilai religius tinggi bagi umat Yahudi, Kristen, dan Muslim, direbut dan dianeksasi oleh Yordania.

Yordania secara resmi menggabungkan Yerusalem Timur ke dalam wilayahnya pada tahun 1950, meskipun langkah ini tidak diakui secara luas oleh komunitas internasional.Selama periode ini, akses ke tempat-tempat suci di Yerusalem Timur, seperti Tembok Barat dan Bukit Zaitun, dibatasi bagi warga Israel dan Yahudi. Situasi ini berlangsung hingga Perang Enam Hari pada tahun 1967, ketika Israel merebut Yerusalem Timur dan mengumumkan penyatuan kota tersebut di bawah kendalinya.

Peran Kontroversial Raja Yordania dalam Perebutan Yerussalem

Kekalahan negara-negara Arab dalam perang ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk peran kontroversial Raja Abdullah I dari Yordania.

Raja Abdullah I memiliki ambisi memperluas wilayah Yordania dengan menganeksasi Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang sebelumnya direncanakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjadi wilayah internasional dengan status khusus. Ambisi ini didorong kekhawatiran terhadap dominasi kelompok-kelompok Palestina yang berpotensi mengancam stabilitas dan otoritas kerajaan.

Untuk mencapai tujuan ini, ia menjalin hubungan diam-diam dengan Zionis, termasuk melakukan pertemuan dengan perwakilan Yahudi seperti Golda Meir pada Mei 1948. Dalam pertemuan tersebut, dibahas kemungkinan pembagian wilayah Palestina, dengan Yordania menguasai area Yerussalem Timur yang diinginkannya, sementara Israel mendapatkan wilayah lainnya. 

Meskipun ada kesepakatan dengan Zionis, Raja Abdullah merasa perlu menjaga reputasinya di mata dunia Arab dan rakyatnya sendiri. Untuk itu ia mengirim tentara Yordania, khususnya Legiun Arab, untuk terlibat dalam pertempuran melawan Israel, terutama di sekitar Yerussalem.

Namun langkah "main mata" Raja Abdullah dengan Zionis  menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Arab lainnya, yang melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan kolektif melawan pendirian negara Israel. 

Strategi Raja Abdullah yang lebih fokus pada kepentingan Yordania dibandingkan solidaritas Arab secara keseluruhan menyebabkan kurangnya koordinasi antara pasukan Arab. Hal ini melemahkan efektivitas upaya militer gabungan dan berkontribusi pada kekalahan mereka. Selain itu, tindakan Raja Abdullah yang diam-diam bersekongkol dengan Zionis memicu ketidakpercayaan di kalangan negara-negara Arab lainnya, memperburuk situasi politik internal mereka.

Gamal Abdul Nasser dan Rontoknya Pan Arabisme yang Menggebu

Pengalaman pahit ini memicu refleksi mendalam di kalangan intelektual Arab, termasuk Sati' al-Husri, seorang pendidik dan pemikir nasionalis sekuler yang merenungkan bagaimana beberapa negara Arab bisa gagal mengalahkan Israel.

Jawabannya: justru karena terlalu banyak negara Arab. Menurutnya, negara-negara Arab merupakan hasil kebijakan Barat “pecah belah dan kuasai” (divide et impera), dan ketiadaan persatuan politik Arab melemahkan kemampuan untuk melawan Zionisme kolonial dan untuk mewujudkan penentuan nasib sendiri yang sejati.

Salah satu tokoh yang terpengaruh oleh pengalaman tersebut adalah Gamal Abdel Nasser, seorang perwira muda Mesir yang bertempur di Palestina pada 1948. Pada 1952, Nasser memimpin kudeta yang menggulingkan monarki Mesir dan mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin revolusioner. Pada 26 Juli 1956, Nasser mengumumkan nasionalisasi Terusan Suez, yang sebelumnya dikelola oleh perusahaan gabungan Inggris dan Prancis.

Langkah ini bertujuan untuk mendanai pembangunan Bendungan Tinggi Aswan setelah Amerika Serikat dan Inggris menarik dukungan finansial mereka. Nasionalisasi ini memicu Krisis Suez, di mana Inggris, Prancis, dan Israel melancarkan serangan militer terhadap Mesir. Namun, tekanan internasional, terutama dari Amerika Serikat dan Uni Soviet, memaksa ketiga negara tersebut mundur, dan Mesir berhasil mempertahankan kontrol atas terusan tersebut.

Nasser juga menjadi salah satu pendiri Gerakan Non-Blok, yang menolak keterikatan pada blok Barat maupun Timur selama Perang Dingin. Pan-Arabisme, ideologi yang mengedepankan kesatuan bangsa Arab berdasarkan bahasa dan budaya bersama, mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan Nasser pada 1950-an dan 1960-an. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme, serta menginspirasi gerakan serupa di Suriah dan Irak melalui Partai Ba'ath. Namun, upaya untuk menyatukan Mesir dan Suriah dalam Republik Arab Bersatu pada 1958 gagal dan berakhir pada 1961.

Kekalahan Perang Enam Hari yang Menyakitkan

Setelah sukses dan proyek nasionalisasi Terusan Suez, Naser mengambil langkah lebih berani dengan dengan menutup Selat Tiran bagi pelayaran kapal-kapal Israel pada Mei 1967. Selat Tiran merupakan satu-satunya jalur maritim menuju Pelabuhan Eilat di Israel.

Tindakan ini dianggap oleh Israel sebagai ancaman serius terhadap akses perdagangannya, terutama karena sekitar 90% impor minyak Israel melewati selat tersebut. Pada awal Juni 1967 Israel merespons tindakan itu dengan melancarkan serangan udara mendadak terhadap pangkalan-pangkalan udara Mesir.

Suriah, sebagai pendukung kuat Pan-Arabisme, merasa terpanggil untuk mendukung Mesir. Yordania, di bawah Raja Hussein, awalnya ragu untuk terlibat. Namun, tekanan dari Nasser dan semangat solidaritas Arab mendorong Yordania untuk bergabung. Mereka meluncurkan serangan terhadap wilayah yang dikuasai Israel, termasuk Yerusalem Timur dan Tepi Barat.

Namun aliansi Mesir, Suriah, dan Yordania dengan mudah dipatahkan oleh Israel hanya dalam waktu enam hari, 5 hingga 10 Juni 1967. Dalam perang singkat namun menentukan ini, Israel berhasil merebut wilayah strategis seperti Semenanjung Sinai dari Mesir, Tepi Barat dan Yerussalem Timur dari Yordania, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, dan mengubah peta geopolitik Timur Tengah secara signifikan.

Kemenangan ini tidak hanya memperluas wilayah Israel secara signifikan, tetapi juga memberi pukulan telak yang meruntuhkan semangat kolektif dan kepercayaan diri persatuan Arab yang digaungkan Nasser.

Nasser sempat mengajukan pengunduran diri, namun ditolak oleh rakyat Mesir yang masih melihatnya sebagai pemimpin karismatik. Nasser tetap memimpin Mesir hingga wafatnya pada 28 September 1970 akibat serangan jantung. Pan-Arabisme, yang pernah menjadi harapan besar untuk persatuan dan kemerdekaan bangsa Arab, perlahan meredup.

Perang Yom Kippur dan Kekalahan Beruntun Bangsa Arab

Kekalahan telak negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari 1967, di mana Israel merebut Semenanjung Sinai dari Mesir dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah, memicu Presiden Mesir Anwar Sadat dan Presiden Suriah Hafez al-Assad untuk merebut kembali wilayah yang hilang dan memulihkan harga diri dunia Arab. Mereka juga berharap bahwa keberhasilan militer akan memaksa Israel untuk bernegosiasi dan mengembalikan wilayah yang diduduki.

Perang yang berlangsung dari 6 hingga 25 Oktober 1973 dan menjadi salah satu peristiwa paling menentukan dalam sejarah modern Timur Tengah.​

Pada 6 Oktober 1973, bertepatan dengan hari raya Yom Kippur, Koalisi Arab terdiri dari Mesir dan Suriah sebagai pelopor, didukung oleh negara-negara Arab lainnya seperti Irak, Yordania, dan Arab Saudi melancarkan serangan mendadak terhadap Israel. Uni Soviet juga terlibat dengan memberikan bantuan persenjataan dan pelatihan militer kepada negara-negara Arab.

Mesir menyeberangi Terusan Suez, sementara Suriah menyerang Dataran Tinggi Golan. Serangan ini awalnya berhasil mengejutkan Israel dan merebut beberapa wilayah strategis. Namun, dengan dukungan logistik dan militer dari Amerika Serikat, Israel berhasil membalikkan keadaan dan mendorong pasukan Arab kembali ke posisi semula.

Meskipun secara militer Israel berhasil mempertahankan wilayahnya, perang ini memberikan dampak signifikan terhadap dunia Arab dan perjuangan Palestina. Bagi Mesir dan Suriah, keberhasilan awal dalam perang ini memulihkan sebagian harga diri yang hilang setelah kekalahan dalam Perang Enam Hari 1967.

Bagi Palestina, perang ini menjadi momentum penting. Pejuang dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) turut serta dalam pertempuran, terutama di wilayah Golan dan Lebanon Selatan. Partisipasi aktif ini meningkatkan pengakuan internasional terhadap PLO sebagai representasi sah rakyat Palestina. Pada tahun 1974, Yasser Arafat, pemimpin PLO, diundang untuk berpidato di Majelis Umum PBB, menandai pengakuan resmi terhadap perjuangan Palestina di kancah internasional.

Perang Yom Kippur juga memicu krisis minyak global. Negara-negara Arab anggota OPEC memberlakukan embargo minyak terhadap negara-negara pendukung Israel, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Embargo ini menyebabkan lonjakan harga minyak dan krisis energi di negara-negara tersebut, menunjukkan kekuatan ekonomi negara-negara Arab dalam geopolitik global.

Namun, secara keseluruhan, perang ini menandai kemunduran semangat Pan-Arabisme yang dipelopori oleh Gamal Abdel Nasser. Kekalahan dan ketidakmampuan negara-negara Arab untuk bersatu secara efektif melawan Israel menunjukkan keterbatasan ideologi Pan-Arabisme dalam menghadapi realitas politik dan militer yang kompleks.

Perjanjian Camp David yang Meminggirkan Isu Kemerdekaan Palestina dan Melemahkan Solidaritas Arab

Setelah wafatnya Nasser dan kekalahan Arab di Perang Yom Kippur, Mesir dan Israel tetap berada dalam kondisi ketegangan. Di sisi lain, Amerika Serikat terus meningkatkan dukungannya terhadap gerakan Zionisme Israel, termasuk dalam bidang militer.

AS juga mendukung monarki-monarki konservatif di kawasan teluk untuk mengisolasi gerakan anti-kolonial dan nasionalis yang menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai isu sentral. Semua itu mereka lakukan demi menjaga kepentingan Barat akan kebutuhan minyak.

Presiden Mesir Anwar Sadat, yang menghadapi krisis ekonomi dan tekanan domestik, memutuskan untuk mencari solusi damai guna mengakhiri konflik berkepanjangan dengan Israel. Pada November 1977, Sadat melakukan kunjungan bersejarah ke Yerusalem yang membuka jalan bagi dialog langsung antara kedua negara.​

Pada September 1978, dengan mediasi Presiden AS Jimmy Carter, Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin bertemu di Camp David, Maryland, AS. Selama 12 hari perundingan intensif, mereka mencapai dua kesepakatan utama:

  1. "Kerangka untuk Perdamaian di Timur Tengah," yang menetapkan prinsip-prinsip umum untuk menyelesaikan konflik Arab-Israel, termasuk isu Palestina.

  2. "Kerangka untuk Penyelesaian Perdamaian antara Mesir dan Israel," yang mengarah pada penarikan Israel dari Semenanjung Sinai dan normalisasi hubungan diplomatik antara kedua negara.

Perjanjian ini ditandatangani pada 17 September 1978 di Gedung Putih, dengan Carter sebagai saksi.Dampak dari perjanjian ini sangat luas. Bagi Mesir, perjanjian ini mengembalikan Semenanjung Sinai dan membuka pintu bantuan ekonomi dari AS. Sejak saat itu, militer Mesir lebih fokus menekan aspirasi demokratis domestik daripada menghadapi Israel.

Namun, Mesir juga menghadapi isolasi dari dunia Arab, dengan banyak negara memutuskan hubungan diplomatik sebagai protes terhadap perjanjian tersebut. Di sisi lain, Israel mendapatkan pengakuan resmi dari negara Arab terbesar dan memperkuat posisinya di kawasan.

Bagi Palestina, perjanjian ini dianggap sebagai pengkhianatan, karena isu Palestina tidak mendapatkan solusi konkret. Perjanjian ini juga menandai kemunduran semangat Pan-Arabisme yang dipelopori oleh Gamal Abdel Nasser, karena menunjukkan perpecahan di antara negara-negara Arab dalam menghadapi Israel.

Revolusi Iran dan Sentimen Sunni-Syiah yang Memecah Belah Timur Tengah

Di tengah friksi yang terjadi di antara negara-negara Arab, tantangan baru muncul dari Revolusi Islam Iran tahun 1979, yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Revolusi ini memperkenalkan model pemerintahan teokratis berbasis Syiah yang menekankan solidaritas Islam lintas batas negara dan etnis, berbeda dengan fokus etnis Arab dalam pan-Arabisme yang digelorakan Gamal Abdul Nasser.

Saat beberapa negara Arab mulai menjalin hubungan diplomatik dengan Israel atau mengambil pendekatan pragmatis terkait isu Palestina berdasarkan kepentingan negara mereka, Iran tetap konsisten dalam menolak keberadaan Israel dan mendukung perjuangan Palestina.

Kehadiran Iran sebagai kekuatan baru dengan ideologi revolusioner dan pendekatan yang berbeda terhadap isu-isu regional memperdalam perpecahan di dunia Arab. Perbedaan sektarian antara Sunni dan Syiah semakin menonjol, dan ketegangan antara Iran dan negara-negara Arab Sunni seperti Arab Saudi menjadi lebih intens.

Pada Juni 1982, Israel melancarkan invasi besar-besaran ke Lebanon dengan dalih merespons serangan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari wilayah selatan negara tersebut. Namun, tujuan sebenarnya adalah menghancurkan basis PLO di Beirut dan mendirikan pemerintahan pro-Israel di Lebanon.

Selama tiga bulan, Israel membombardir Beirut, menyebabkan korban jiwa yang besar di kalangan warga sipil. Tragedi paling mengerikan terjadi di kamp pengungsi Sabra dan Shatila, di mana ribuan warga Palestina dibantai oleh milisi Kristen Lebanon dengan dukungan pasukan Israel. Secara keseluruhan, Israel menewaskan 20.000 warga sipil Lebanon dan Palestina pada musim panas itu. Ironisnya, pembantaian ini terjadi setelah Amerika Serikat menegosiasikan pengasingan PLO ke Tunis dengan janji perlindungan bagi pengungsi Palestina .​

Kehadiran militer Israel di Lebanon selatan menciptakan kekosongan kekuasaan dan ketidakstabilan yang dimanfaatkan oleh Iran untuk memperluas pengaruhnya.​ Saat negara-negara Arab pro-Barat seperti Mesir dan Arab Saudi memilih diam, Iran, melalui Garda Revolusi Islam (IRGC), mengirim sekitar 1.500 pasukan ke Lembah Beqaa di Lebanon. Mereka memberikan pelatihan militer dan ideologis kepada kelompok-kelompok Syiah setempat, yang kemudian bertransformasi menjadi Hizbullah pada tahun 1985.

Hizbullah mengadopsi ideologi revolusi Islam Iran dan menjadi alat utama Iran dalam melawan kehadiran Israel di Lebanon. Hizbullah tidak hanya menjadi kekuatan militer yang signifikan di Lebanon, tetapi juga memperkuat posisi Iran dalam konflik regional.

Di tengah kemelut Hizbullah versus Israel, Iran tetap berupaya mengekspor ideologi revolusionernya dan memperluas pengaruhnya di kawasan, termasuk dengan mendukung kelompok-kelompok perlawanan terhadap Israel, salah-satunya HAMAS yang didirikan pada 1987. Meskipun terdapat perbedaan ideologi antara Iran yang beraliran Syiah dan Hamas yang berakar pada Sunni, keduanya menemukan titik temu dalam perjuangan melawan Israel.

Perlawanan Hizbullah, PLO, dan Hamas turut menandai pergeseran perlawanan kepada zionisme Israel dari negara-negara Arab ke kelompok-kelompok non-negara. Namun, kuatnya pengaruh dan popularitas Iran dalam isu pembebasan Palestina dari penjajahan Israel turut menyebabkan kekhawatiran di negara-negara Arab bermazhab Sunni. Beberapa negara Arab bahkan menuduh Iran mendukung kelompok-kelompok Syiah di wilayah mereka. Walhasil, upaya  membangun solidaritas Arab yang kuat dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina semakin sulit diwujudkan.

Invasi Irak ke Kuwait dan Dominasi AS dalam Perjanjian Oslo yang Melemahkan Palestina

Pada 2 Agustus 1990, Irak di bawah Saddam Hussein menginvasi Kuwait dengan tuduhan negara itu telah mencuri minyak dari ladang perbatasan dan menurunkan harga minyak secara tidak adil. Invasi yang mengejutkan dunia Arab dan internasional memicu kecaman luas dan pembentukan koalisi internasional yang dipimpin AS untuk memaksa Irak mundur.

Negara-negara Arab terbagi antara yang mendukung Irak dan yang mendukung koalisi internasional. Setelah perang, terjadi pengusiran massal warga Palestina dari Kuwait, karena PLO dianggap mendukung Irak. Hal ini memperdalam sekaligus mempercepat perpecahan solidaritas Arab terhadap perjuangan Palestina.​

Kekalahan Irak dan melemahnya solidaritas Arab membuka jalan bagi inisiatif perdamaian yang lebih besar antara Israel dan Palestina, yang dimotori Amerika Serikat.Dalam konteks ini, Perjanjian Oslo muncul sebagai upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Meskipun awalnya memberikan harapan, perjanjian ini justru menimbulkan dampak merugikan yang melemahkan posisi tawar Palestina dan menandai kemunduran solidaritas Pan-Arabisme.  Di sisi lain kehadiran Amerika Serikat sebagai mediator utama, proses perdamaian ini mencerminkan dominasi kekuatan Barat dalam menentukan arah penyelesaian konflik, menggeser peran negara-negara Arab dalam proses tersebut.

Perjanjian ini terdiri dari dua bagian utama: Oslo I yang ditandatangani pada 1993 di Washington, D.C., dan Oslo II pada 1995 di Taba, Mesir. Melalui perjanjian ini, Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) saling mengakui eksistensi satu sama lain, dengan PLO mengakui hak Israel untuk eksis dan menolak kekerasan, sementara Israel mengakui PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina.

Salah satu hasil utama dari perjanjian ini adalah pembentukan Otoritas Nasional Palestina (PNA), yang diberikan wewenang terbatas untuk mengelola urusan sipil dan keamanan di sebagian wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Namun, meskipun diberikan otonomi, PNA memiliki kewenangan yang sangat terbatas, sementara Israel tetap mengontrol sebagian besar wilayah dan aspek penting lainnya.

Perjanjian Oslo juga menetapkan bahwa isu-isu penting seperti status Yerusalem, pengungsi Palestina, perbatasan definitif, dan pemukiman Israel akan dinegosiasikan lebih lanjut dalam waktu lima tahun. Namun, hingga kini, kesepakatan mengenai isu-isu tersebut belum tercapai.

Dampak dari perjanjian ini terhadap Palestina cukup signifikan. Alih-alih menghentikan pembangunan pemukiman, Israel terus memperluas pemukiman ilegal di Tepi Barat, yang melanggar hukum internasional dan mempersempit wilayah yang semestinya menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan. Negara-negara Arab, yang sebelumnya bersatu dalam mendukung perjuangan Palestina, menunjukkan respons yang lemah terhadap perkembangan pasca-Oslo, menandai melemahnya solidaritas dan kepemimpinan kolektif dalam mendukung perjuangan Palestina. ​

Kegagalan perjanjian dalam memenuhi harapan rakyat Palestina menyebabkan kekecewaan yang mendalam, yang kemudian memicu gelombang kekerasan baru, termasuk Intifada Kedua pada tahun 2000.

Palestina sebagai Beban Diplomatik Negara-Negara Arab

Pada tahun 2002, di tengah gejolak Intifada Kedua dan kegagalan berbagai upaya diplomatik untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina, negara-negara Arab mengajukan sebuah tawaran perdamaian melalui apa yang disebut Inisiatif Perdamaian Arab.

Diprakarsai Putra Mahkota Arab Saudi, Abdullah bin Abdulaziz, dan disahkan secara bulat oleh Liga Arab dalam KTT Beirut, inisiatif ini menawarkan normalisasi penuh hubungan antara negara-negara Arab dan Israel.

Sebagai imbalannya, Israel diminta menarik diri sepenuhnya dari wilayah yang didudukinya sejak Perang Enam Hari 1967, termasuk Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Lebanon Selatan. Selain itu, inisiatif ini menyerukan penyelesaian yang adil bagi pengungsi Palestina sesuai dengan Resolusi PBB 194, serta pembentukan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya

Namun, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon menolak menolak mentah-mentah inisiatif tersebut. Ia menganggap tawaran itu sebagai "non-starter" atau dianggap tidak memiliki peluang untuk berhasil sejak awal.

Imbas dari penolakan ini adalah, negara-negara Arab yang pro-Barat, seperti Mesir, Yordania, dan Arab Saudi, mulai menunjukkan sikap lebih pragmatis terhadap pergolakan isu di Palestina. Respons-respons mereka cenderung melihat kebijakan Amerika Serikat, apakah menguntungkan kepentingan nasional atau tidak. Isu Palestina, yang sebelumnya menjadi simbol persatuan dan identitas bersama dunia Arab, mulai dianggap sebagai beban diplomatik yang menghambat hubungan strategis dengan Barat dan Israel.

Kegagalan tentang Yerussalem dan Perjanjian Abraham

Ketidakberdayaan sekaligus pragmatisme negara-negara Arab dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina atas penjajahan Israel tampak kian nyata ketika pada 6 Desember 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memerintahkan pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Langkah ini segera disambut hangat oleh pemerintah Israel, namun memicu gelombang kecaman dari komunitas internasional, termasuk negara-negara Arab, yang menilai keputusan tersebut sebagai ancaman serius terhadap proses perdamaian di Timur Tengah. Namun, respons negara-negara Arab sebagian besar terbatas pada pernyataan diplomatik tanpa tindakan konkret.

Sebagai contoh, negara-negara Arab tidak mengambil tindakan konkret seperti penarikan duta besar, pemutusan hubungan diplomatik, atau sanksi ekonomi terhadap AS atau Israel sebagaimana dilakukan para pendahulu mereka pada 1973 lewat embargo minyak.

Contoh lainnya terjadi ketika Menteri Luar Negeri Lebanon Gebran Bassil mengusulkan sanksi ekonomi terhadap AS, namun usulan tersebut tidak diadopsi dalam pernyataan resmi Liga Arab usai pertemuan darurat di Kairo pada 9 Desember 2017.

Aliansi terbuka rezim pemimpin Arab dengan Israel seperti yang terjadi hari ini merupakan hal yang sulit untuk dibayangkan pada masa-masa sebelumnya. Namun penandatanganan Abraham Accords pada tahun 2020 menandai titik balik dalam dinamika politik Timur Tengah, khususnya dalam konteks solidaritas Arab terhadap perjuangan Palestina.

Perjanjian ini, yang dimediasi oleh Amerika Serikat, melibatkan normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.

Sebelumnya, negara-negara Arab secara kolektif menolak pengakuan terhadap Israel sebelum ada penyelesaian yang adil bagi Palestina. Namun, Abraham Accords mempertegas pergeseran prioritas dari solidaritas terhadap perjuangan Palestina menuju kepentingan nasional masing-masing negara, seperti kerja sama ekonomi, teknologi, dan keamanan. Sebagai contoh, Uni Emirat Arab dan Israel telah menjalin kerja sama di berbagai bidang, termasuk pariwisata dan pertahanan.

Amerika Serikat memainkan peran kunci dalam mendorong negara-negara Arab untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Sebagai imbalannya, AS menawarkan insentif seperti penjualan senjata canggih dan penghapusan sanksi. Misalnya, setelah menandatangani Abraham Accords, Uni Emirat Arab mendapatkan persetujuan untuk membeli pesawat tempur F-35 dari AS. Insentif semacam ini memperkuat ketergantungan negara-negara Arab pada dukungan AS, yang pada gilirannya memengaruhi sikap mereka terhadap konflik Israel-Palestina.

Dikutip dari Arab Center Washington DC, sejak penandatanganan Abraham Accords, hubungan ekonomi antara Israel dan beberapa negara Arab mengalami peningkatan signifikan. Misalnya, perdagangan antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) mencapai lebih dari $2,5 miliar pada 2022, mencakup sektor seperti teknologi, pertanian, dan energi. Selain itu, perusahaan-perusahaan Israel mulai berinvestasi di UEA, termasuk dalam bidang kecerdasan buatan dan teknologi finansial .​

Mesir dan Yordania juga menjalin kesepakatan energi dengan Israel. Pada 2016, Yordania menandatangani perjanjian impor gas alam cair dari Israel senilai $10 miliar, sementara Mesir melalui perusahaan Dolphinus Group menandatangani kontrak senilai $15 miliar untuk pasokan gas dari Israel .

Arab Saudi, meskipun belum menormalisasi hubungan secara resmi dengan Israel, telah menjalin kerja sama keamanan siber. Pada 2012, Riyadh menggunakan perusahaan keamanan siber internasional, termasuk yang berbasis di Israel, untuk melindungi infrastruktur minyaknya dari serangan siber.

Abraham Accords telah mengubah lanskap politik Timur Tengah, dengan mendorong normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab. Namun, perjanjian ini juga berkontribusi pada sikap bungkam sebagian pemimpin Arab terhadap serangan Israel ke Palestina, karena pertimbangan kepentingan nasional, ketergantungan pada dukungan AS, dan kekhawatiran terhadap pengaruh Iran.

Absennya Perwakilan Arab saat Pemakaman Haniyeh: Simbol Kekhawatiran terhadap Iran dan Arab Spring

Sikap sejumlah negara Arab yang tampak tunduk pada orbit kepentingan Amerika Serikat dan Israel, serta kekhawatiran strategis mereka terhadap pengaruh Iran di kawasan, tampak mencolok dalam peristiwa pemakaman petinggi Hamas, Ismail Haniyeh, yang digelar pada 2 Agustus di Doha, Qatar.

Ribuan pelayat dari berbagai penjuru dunia Muslim hadir untuk memberi penghormatan terakhir kepada sosok yang diyakini menjadi korban serangan Israel. Namun yang paling menyita perhatian bukanlah banyaknya hadirin, melainkan absennya perwakilan dari negara-negara kunci seperti Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, dan Maroko.

Ketidakhadiran ini bukan sekadar simbolik. Ia mencerminkan transformasi politik mendalam yang terjadi di dunia Arab pasca-Gaza, dan mencerminkan keberanian para rezim untuk secara terbuka mengabaikan isu Palestina demi menjaga hubungan strategis dengan kekuatan global dan regional lain.

Abdullah Al-Arian, Associate Professor Sejarah di Georgetown University Qatar, mengingatkan bahwa dalam peristiwa serupa di masa lalu—seperti pemakaman Yasser Arafat—para pemimpin Arab dapat mengesampingkan perbedaan politik demi menunjukan wajah persatuan dan kesetiakawanan, setidaknya secara simbolis. Ketika itu, isu Palestina masih menjadi titik temu politik yang penting di mata publik Arab.

Dulu, bahkan di tengah kontradiksi internal dan tekanan geopolitik, sebagian besar negara Arab merasa wajib menjaga ilusi dukungan terhadap perjuangan Palestina sebagai alat legitimasi kekuasaan di hadapan rakyatnya. Tetapi sejak kegagalan gelombang pemberontakan Arab (Arab Spring) dan penindasan brutal terhadap aspirasi demokrasi di kawasan, rezim-rezim otoriter tidak lagi merasa perlu mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui dukungan terhadap Palestina. Ketergantungan pada legitimasi rakyat digantikan oleh kooptasi militer, kendali media, dan dukungan diplomatik dari kekuatan besar seperti Amerika Seriakt dan Israel.

Tidak Kompak Merespons Keputusan ICC

Pada November 2024 Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan putusan yang berisi surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang di Gaza.  Namun, momen penting dalam upaya menegakkan keadilan internasional ini malah ditanggapi setengah hati oleh negara-negara Arab.

Tidak semua negara Arab memberikan respons yang jelas atau terbuka terhadap keputusan ICC tersebut. Beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, belum mengeluarkan pernyataan resmi yang mendukung atau menolak keputusan tersebut.

Sekali pun ada dukungan kepada ICC, pernyataan tidak disampaikan oleh pemimpin tertinggi negara. Pemerintah Irak, misalnya, menggunakan juru bicara pemerintah untuk menyatakan dukungan atas putusan ICC.

"menghargai sikap berani dan adil yang diambil oleh Mahkamah Pidana Internasional dalam mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap kepala pemerintahan entitas Zionis dan mantan menteri pertahanannya," kata Basim al-Awadi dikutip Anadolu.

Demikian pula Yordania. Seperti dikutip Reuters mereka hanya menggunakan suara menteri luar negerinya untuk mendukung keputusan ICC dan pentingnya menegakkan keadilan bagi rakyat Palestina.

Respons negara-negara Arab terhadap keputusan ICC mencerminkan kepentingan pemerintahan mereka. Sementara beberapa negara menunjukkan dukungan terhadap upaya menegakkan keadilan internasional, yang lain memilih untuk tidak memberikan pernyataan resmi.

Analisis terbaru dari Foreign Policy mengungkap beberapa alasan utama mengapa para pemimpin Arab enggan mengambil sikap tegas terhadap Israel:

  1. Ketergantungan Ekonomi dan Keamanan: Banyak negara Arab, seperti Yordania dan Mesir, memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Israel. Yordania, misalnya, sangat bergantung pada Israel untuk pasokan air dan energi. Selain itu, negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi melihat Israel sebagai mitra strategis dalam menghadapi pengaruh Iran di kawasan tersebut.

  2. Prioritas Nasional dan Realignment Regional: Negara-negara Teluk semakin memprioritaskan kepentingan nasional mereka, seperti diversifikasi ekonomi dan modernisasi, yang mendorong mereka untuk menjalin hubungan dengan Israel. Abraham Accords pada tahun 2020 menandai pergeseran ini, dengan normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab tanpa prasyarat penyelesaian konflik Palestina.

  3. Kekhawatiran terhadap Reaksi Publik: Meskipun ada hubungan di balik layar, para pemimpin Arab menyadari bahwa sentimen publik masih sangat pro-Palestina. Mengambil langkah terbuka yang mendukung Israel dapat memicu ketidakstabilan domestik. Oleh karena itu, mereka memilih pendekatan yang lebih hati-hati dan tidak konfrontatif. The Times of Israel

  4. Ketergantungan pada Mediasi AS: Beberapa negara Arab mengandalkan Amerika Serikat untuk menengahi konflik dan enggan mengambil tindakan sepihak yang dapat merusak hubungan mereka dengan Washington. Mereka percaya bahwa hanya AS yang memiliki pengaruh untuk menekan Israel agar menghentikan tindakan militernya. New Eastern Outlook

Mengapa Mengkritik Arab Menjadi Penting

Sejak Israel membalas serangan HAMAS pada 7 Oktober 2023 lewat operasi bersandi Pedang Besi, Jalur Gaza telah menjadi saksi dari tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Lebih dari 51.000 warga Palestina kehilangan nyawa, dengan perempuan dan anak-anak mencakup lebih dari separuh korban jiwa. Hampir 90% dari 2 juta penduduk Gaza kini mengungsi, banyak di antaranya tinggal di kamp-kamp darurat dengan rasa takut dan tanpa akses terhadap kebutuhan dasar.

Serangan udara dan darat Israel telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur vital di Gaza. Mulai dari akses air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, sekolah, rumah sakit, bahkan tenda-tenda pengungsian.

The Guardian melaporkan serangan terbaru Israel pada 15 April 2025 menghantam Rumah Sakit Lapangan Kuwait di al-Muwasi, menewaskan seorang tenaga medis dan melukai sembilan lainnya. Serangan ini memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah kritis, dengan banyak fasilitas medis tidak berfungsi akibat kekurangan bahan bakar dan pasokan medis.

Situasi ini terjadi bukan semata-mata karena Israel dan Amerika Serikat tetapi juga diakibatkan hipokrisi para pemimpin Arab. Negara-negara Arab gagal bertindak selaras dengan retorika mereka.

Dengan kekuatan ekonomi dan diplomatik yang dimiliki, negara-negara Arab memiliki potensi menekan Israel dan sekutunya agar menghentikan agresi militer di Palestina.

Kekuatan Ekonomi dan Energi: Negara-negara Arab, terutama di Teluk, memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan, terutama dalam sektor energi. Mereka dapat menggunakan kekuatan ini untuk menekan negara-negara yang mendukung Israel, misalnya dengan mengurangi ekspor minyak atau menjalin kerja sama ekonomi dengan syarat tertentu.​

Pengaruh Diplomatik: Sebagai blok regional, Liga Arab memiliki pengaruh diplomatik yang dapat digunakan untuk menggalang dukungan internasional bagi Palestina. Mereka dapat mendorong resolusi di PBB atau membentuk koalisi internasional untuk menekan Israel agar menghentikan agresinya, termasuk mendukung keputusan ICC menangkap Benjamin Netanyahu.

Kerja Sama Militer dan Keamanan: Negara-negara Arab memiliki kerja sama militer dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Mereka dapat menggunakan kerja sama ini sebagai alat tawar untuk menekan perubahan kebijakan terhadap Israel.​

Negara-negara Arab mengendalikan wilayah udara yang luas dan jalur maritim penting yang digunakan oleh Israel untuk keperluan militer dan perdagangan. Sebagai contoh, pekerja pelabuhan di Maroko berusaha memblokir pengiriman senjata ke Israel melalui pelabuhan mereka, menunjukkan potensi untuk menghambat perdagangan militer Israel. Dengan menutup atau membatasi akses ini, mereka dapat memberikan tekanan signifikan terhadap Israel.​

Beberapa negara Arab, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, telah menunjukkan kemampuan ini. Misalnya, pada April 2024, kedua negara tersebut menolak permintaan Israel dan Amerika Serikat untuk menggunakan wilayah udara mereka dalam operasi militer terhadap Iran. Keputusan ini menunjukkan bahwa negara-negara Arab dapat menggunakan kontrol atas wilayah udara mereka sebagai alat diplomatik.

Pada akhirnya, dengan bermacam kekuatan strategisnya, negara-negara Arab sebenarnya memiliki daya tawar untuk lebih aktif mendorong penyelesaian konflik dan mendukung hak-hak rakyat Palestina. Namun, pragmatisme dan ego sektarian membuat banyak dari mereka lebih memilih menggunakan pendekatan retorika.

Sudah layakah kritik diarahkan kepada mereka?

*Jay Akbar menempuh pendidikan S1 Ilmu Sejarah di Universitas Diponegoro. Pernah bekerja sebagai wartawan di Majalah Historia, Harian Republika, dan Tirto.id. Saat ini, menjadi jurnalis dan produser di Narasi dengan minat pada isu-isu sejarah dan politik.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER