26 Oktober 2022 19:10 WIB
Penulis: Rahma Arifa
Editor: Akbar Wijaya
“Apa yang lebih berharga? Seni atau nyawa? Apakah seni lebih berharga dari makanan? Lebih berharga dari keadilan? Apa anda lebih peduli terhadap perlindungan sebuah lukisan atau perlindungan planet ini dan manusia?"
Rentetan pertanyaan retoris itu dilontarkan Phoebe Plummer usai ia dan rekannya Anna Holland menumpahkan sekaleng sup tomat ke salah satu lukisan legendaris dan termahal di dunia "Sunflowers" karya Van Gogh di Galeri Nasional London, Kamis (13/10/2022) lalu.
Phobe dan Anna merupakan aktivis Just Stop Oil yang gelisah dengan isu perubahan iklim dan krisis pangan dunia akibat kenaikan harga energi fosil.
"Harga yang melonjak karena krisis kehidupan adalah bagian dari krisis bahan bakar minyak! Harga bakar tidak terjangkau oleh keluarga yang kedinginan dan kelaparan! Mereka bahkan tidak mampu memanaskan sekaleng sup!” teriak Phoebe.
Phobe dan Anna menyadari tindakan mereka akan dianggap sebagian orang sebagai kekonyolan. Namun di situlah tujuannya. Bukankah kekonyolan lebih mudah mendapat sorotan media dan diperbincangkan publik?
"Kami melakukan ini agar mendapatkan perhatian media, agar orang-orang membicarakan hal ini sekarang," kata Phoebe.
Sembilan hari setelah aksi ‘Sup dan Sunflower’ Phoebe dan Anna, kelompok aktivis Jerman, Lezte Generation, melemparkan kentang tumbuk ke lukisan Claude Monet di Museum Bar, Potsdam (22/10/22).
Aktivisme lingkungan memang sering menggunakan demonstrasi distruptif. Misalnya, organisasi lingkungan seperti Extinction Rebellion menutup paksa jalan raya, menggangu pertunjukkan London Fashion Week 2019 dan Paris Fashion Week 2021, dan demonstrasi telanjang di depan Gedung Parlemen Inggris, House of Commons (9/03/2019).
Demonstrasi tanpa kekerasan (non-violent demonstration) telah menjadi salah satu ciri khas aktivisme radikal pegiat lingkungan. Namun aksi ini bukan tanpa kritik.
Bagi sebagian kalangan aksi yang dilakukan Phoebe dan Anna bukan saja tak relevan dengan isu yang mereka usung namun bahkan bersifat kontradiktif.
Aksi membuang makanan misalnya, justru kontraproduktif dengan kekhawatiran mereka terhadap isu ketahanan pangan dan emisi karbon.
Aksi demonstratif yang menyasar sendi-sendi kehidupan masyarakat alih-alih jantung pengambil kebijakan seperti pemerintah dan perusahaan, dinilai hanya akan membuat masyarakat kehilangan empati terhadap substansi dan pesan gerakan yang dibawa.
Jika gerakan distruptif tersebut hanya akan melahirkan keresahan masyarakat maka yang yang dihasilkan adalah aksi performatif, bukan perubahan substantif.
Namun, Wen Stephenson dalam bukunya What We’re Fighting For Now Is Each Other menyatakan radikalisme khususnya dalam isu iklim bukan hanya diperbolehkan, namun diharuskan demi kelangsungan hidup manusia.
Mencari perhatian masyarakat, media dan pemerintah adalah tujuan utama dari aksi-aksi tersebut. Gangguan yang diciptakan diharapkan menjadi pemantik ruang diskusi tentang isu lingkungan, sekalipun awalnya memicu cemohan.
Harapannya, komentar dan keresahan masyarakat dapat terdengar luas sampai ke telinga para elit pemerintahan dan perusahaan.
Selain itu, tujuan aksi dalam menciptakan chaos menjadi gambaran urgensi yang seharusnya tergambar pada kebijakan dan respons publik terhadap krisis iklim yang terjadi.
Walaupun lukisan Van Gogh dan Monet terlindungi oleh kaca, efek kejut dan ketakutan masyarakat akan kerusakan adalah hasil yang ditujukan oleh gerakan-gerakan ini.
“Kami tidak akan pernah berfikir untuk melakukan aksi ini tanpa tahu bahwa lukisan (Van Gogh) tidak dilindungi kaca… Saya mengerti bagaimana aksi ini terlihat konyol. Tahun lalu Sir David Kings berkata bahwa apa yang kami lakukan dalam 3-4 tahun kedepan akan menentukan masa depan kemanusiaan. Jadi kita menggunakan aksi ini untuk mendapatkan perhatian media karena kita butuh membuat orang membicarakan hal ini sekarang juga,“ jelas Pheobe dalam klarifikasinya usai menjalani sidang pengadilan.
KOMENTAR
Latest Comment