Seorang balita berinisial J diduga menjadi korban malpraktik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Anak dari Adam Harits, Co-Founder Gem Research International Laboratory, ini mengalami kebocoran usus setelah menjalani prosedur endoskopi yang disarankan oleh seorang dokter senior di rumah sakit tersebut.
Peristiwa ini berawal ketika Adam membawa J untuk pemeriksaan rehabilitasi medik pada 28 Agustus 2024, karena balita tersebut mengalami kesulitan dalam mengonsumsi makanan pendamping air susu ibu (MPASI) dan menunjukkan gejala muntah.
“Ada keluhan muntah, gumoh, juga,” kata Adam melalui siaran pers.
Balita J, yang saat itu berusia di bawah satu tahun, menjadi pusat perhatian setelah menerima tindakan medis yang dianggap tidak semestinya. Adam merasa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa J mendapatkan perawatan yang sesuai dengan kondisinya. Ia telah melakukan serangkaian konsultasi sebelum akhirnya merujuk J ke spesialis THT, yang kemudian merekomendasikan tindakan endoskopi.
Proses Medis Sebelum Endoskopi
Balita J datang ke RSCM dengan sejumlah keluhan, termasuk muntah dan tidak mau makan. Setelah konsultasi awal, Adam diarahkan untuk membawa J ke dokter spesialis rehabilitasi medik dan THT.
“Dari sana (rehabilitasi medik), kami dirujuk ke spesialis THT (telinga, hidung, tenggorokan) yang didampingi langsung oleh dokter rehab medik,” ujar Adam.
Pemeriksaan THT menunjukkan adanya kelainan di tenggorokan J, berupa cobblestone appearance. Hasil ini kemudian dibawa ke dokter senior berinisial P, yang merupakan profesor di RSCM.
Pada 23 Oktober 2024, Adam membawa J untuk konsultasi dengan dokter tersebut. Namun, tanpa pemeriksaan fisik, dokter langsung menyarankan prosedur endoskopi.
“Hanya duduk di meja sambil mengetik dan melihat hasil dari THT,” ungkap Adam.
“Saya tanya, se-urgent apa kondisi ini untuk endoskopi? Gimana kalau menunggu sampai J umur satu tahun sambil coba dulu pengobatan GERD berdasarkan hasil THT?” lanjutnya.
Namun, respons dari dokter disebut tidak menjawab substansi pertanyaan, justru bernada intimidatif.
“Bapak lihat saja sendiri se-urgent apa ini. Ini pertanggungjawaban Bapak di akhirat. Kenapa? Bapak nggak punya uang? Pinjam saja sama engkongnya. Pinjaman lunak,” kata Adam menirukan jawaban dokter.
“Saya tidak pinjam uang untuk urusan anak saya. Dan saya punya uang, Prof. Ayo, kapan endoskopi? Besok?” jawab Adam saat itu.
Endoskopi pertama kemudian dilakukan pada 1 November 2024. Hasilnya menunjukkan bahwa J mengalami Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) yang cukup parah.
Tindakan Endoskopi dan Dampaknya
Setelah endoskopi pertama, J menjalani kontrol rutin. Pada awalnya kondisi tampak membaik, namun dua hingga tiga pekan kemudian, gejala muntah kembali muncul dengan frekuensi yang lebih tinggi.
Adam kembali berkonsultasi dengan dokter rehabilitasi yang menyarankan pemasangan selang untuk memenuhi kebutuhan nutrisi J. Namun saat saran itu disampaikan ke dokter P, tanggapannya justru menyalahkan Adam.
“Kan selama ini Bapak yang nggak mau diselang. Waktu itu Bapak habis endoskopi buru-buru pulang. Takut asuransi nggak cover?” ucap Adam menirukan dokter.
“Prof, yang mengizinkan pulang itu kan Anda sendiri? Mana mungkin saya tolak kalau Anda menyarankan pasang selang?” bantah Adam.
Ketika Adam meminta selang dipasang hari itu juga, sang dokter menolak dan malah menyarankan dilakukan endoskopi kedua lebih dulu.
“Ya nggak bisa sekarang. Harus endoskopi dulu,” ujar dokter, menurut penuturan Adam.
Meski terkejut karena merasa prosedur selang seharusnya bisa dilakukan tanpa endoskopi, Adam tetap menuruti anjuran dokter. Endoskopi kedua dilakukan pada 13 Desember 2024.
Dalam prosedur tersebut, dokter melakukan tindakan dilatasi usus akibat dugaan penyempitan. Namun, menurut Adam, tindakan ini tidak pernah diinformasikan sebelumnya.
“Yang saya tahu, tindakan dilatasi baru saya dengar setelah kondisi anak saya memburuk. Tidak ada penjelasan apa pun soal itu sebelumnya,” katanya.
Setelah endoskopi kedua, kondisi J malah semakin memburuk.
Komplikasi dan Perawatan Intensif
Setelah prosedur kedua, J mengalami muntah berulang, kesakitan terus-menerus, dan tidak bisa mengonsumsi susu. Adam berkali-kali meminta informasi perkembangan, namun dokter tidak kunjung hadir dan sulit dihubungi karena menghadiri acara Kementerian Kesehatan.
“Saya terus tanya ke suster, ‘dokter P di mana?’ tapi infonya selalu sibuk. Bahkan untuk membalas WhatsApp saja sangat lama,” ucap Adam.
Pada akhirnya, J dilarikan ke PICU RSCM menggunakan ambulans karena kondisinya yang memburuk. Pemeriksaan menunjukkan adanya kebocoran pada usus.
“Operasi kemudian dilakukan dan terkonfirmasi memang terjadi kebocoran pada usus,” jelas Adam.
Esoknya, kondisi J semakin kritis. Ia didiagnosis mengalami sepsis berat dengan indikasi gagal jantung, gagal paru, dan gagal ginjal. Untuk menangani situasi tersebut, tim medis melakukan cuci darah selama 72 jam nonstop.
Selama lebih dari 40 hari, J menjalani perawatan intensif di RSCM dan total menjalani empat kali operasi, termasuk penutupan stoma pada April 2025.
Tindakan Hukum dan Harapan Keluarga
Adam menyebut bahwa dugaan malpraktik dalam prosedur endoskopi serta kelalaian dalam mendeteksi kebocoran usus membuat kondisi J kian memburuk hingga menyebabkan kegagalan organ. Ia pun melaporkan kasus ini ke Majelis Disiplin Profesi (MDP).
Hingga berita ini diturunkan, pihak RSCM belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut.