28 Juli 2022 15:07 WIB
Editor: Akbar Wijaya
Sudah 10 tahun Rusia memasok kebutuhan gas untuk negara-negara di Eropa melalui pipa Nord Stream 1.
Pipa sepanjang 1.200 km yang terpendam di dasar Laut Baltik ini terhubung dari Kota Vyborg, Rusia ke Kota Greifswald, Jerman.
Normalnya, pipa Nord Stream 1 memasok gas hingga 170 m3 per hari. Namun, sejak pertengahan Juni gas yang dialirkan melalui Nord Stream 1 turun drastis menjadi hanya sekitar 40 m3 saja. Bahkan, pada awal Juli kemarin, Nord Stream 1 sempat berhenti beroperasi selama 10 hari.
Gazprom, perusahaan Rusia yang mengendalikan distribusi gas ke luar negeri berdalih berkurangnya pasokan lantaran ada keterlambatan pengiriman komponen turbin oleh produsen Siemens Energy AG di Kanada.
Keterlambatan pengiriman turbin diduga karena sanksi yang diberikan oleh negara barat. Padahal, turbin berperan penting sebagai pemompa gas untuk melewati pipa Nord Stream 1.
Tidak berhenti sampai di situ, pada Senin (25/72022) Gazprom membuat geger Uni Eropa karena mengumumkan akan mematikan satu dari dua turbin mereka dengan alasan teknis mesin.
Dampaknya, pasokan gas menjadi semakin anjlok. Sejak Rabu (27/7/2022) pasokan gas alam melalui pipas Nord Stream 1 jadi tinggal sekitar 34 m3 per hari, atau turun sebesar 80%.
Ketua Kebijakan Energi Uni Eropa Kadri Simson menyebut tindakan kurangnya pasokan gas Rusia dilatarbelakangi isu politik.
Menurutnya dalik kendala teknis yang disampaikan pihak Gazprom mengada-ada. Jerman juga menolak alasan yang disampaikan perusahaan Rusia tersebut.
“Rusia menggunakan (pengurangan) gas sebagai senjata. Mereka seperti ingin membuktikan bahwa (Rusia) merupakan negara adidaya energi dan dapat membalas sanksi yang diberikan oleh Eropa,” ujar Kadri seperti dikutip BBC dalam pertemuan anggota Uni Eropa, Selasa (26/7/2022).
Juru bicara Rusia Dmitry Peskov menekankan pihaknya tidak pernah berniat menghentikan pengiriman gas ke Eropa. Dmitry justru menantang, pihak produsen Siemens lah yang justru mengerti bahwa komponen yang belum terkirim merupakan komponen penting dan menjadi penghambat pengiriman gas.
“Namun, jika negara-negara Eropa terus-menerus memberikan sanksi dan pembatasan yang sembrono, situasinya dapat berubah” ancam Dmitry seperti dilansir melalui Al Jazeera.
Harga gas di Eropa naik sebanyak 450% dibandingkan tahun lalu sebelum invasi Rusia ke Ukraina.
Kenaikan ini diprediksi bakal terus terjadi dan berdampak terhadap pelemahan ekonomi Eropa serta memicu terjadinya resesi.
Gas menjadi kebutuhan penting bagi warga Eropa yang mana sepertiga pasokannya berasal dari. Apalagi, saat ini negara-negara di Eropa sedang membutuhkan gas alam untuk menghadapi musim dingin.
Para menteri Uni Eropa bersepakat mengurangi konsumsi gas sebesar 15% demi menghemat sekitar 45 miliar m3 gas sepanjang musim dingin nanti.
Jerman mencoba mencari alternatif gas dari Norwegia dan Belanda. Jerman juga membeli terminal terapung untuk diletakan di pelabuhan yang dapat digunakan untuk mengimpor gas alam cair dari Qatar dan Amerika Serikat. Namun, tentu saja, pembuatan ulang pipa tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat.
Selain itu Jerman juga berencana memperpanjang penggunaan batu bara yang sebelumnya ingin mereka kurangi demi menghindari efek buruk perubahan iklim yang ekstrem.
Beberapa penduduk setempat pun turut aktif menghadapi polemik ini dengan membeli tungku kayu sebagai pemanas. Beberapa diantaranya bahkan mulai memasang panel surya.
Sementara itu Spanyol dan Italia juga mencari alternatif gas dari negara lain. Kedua negara ini mencoba untuk mengimpor gas dari Aljazair.
Reporter: Berlian Rahmy Lidia
KOMENTAR
Latest Comment