Putra Riza Chalid, Kerry Adrianto Riza kini tengah menjadi sorotan publik dan media lantaran namanya masuk dalam daftar tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) periode 2018-2023.
Pria yang akrab disapa Kerry ini ditahan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama enam orang lainnya pada Senin, 24 Februari 2025.
“Berdasarkan keterangan saksi, keterangan ahli, bukti dokumen yang telah disita secara sah, tim penyidik pada malam hari ini menetapkan tujuh orang sebagai tersangka,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin malam, 25 Februari 2025.
Adapun ketujuh tersangka, tiga tersangka dari kalangan swasta yakni pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR), Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW), dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo (GRJ).
Sisanya meliputi etinggi subholding Pertamina yang menjadi tersangka meliputi Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) dan Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin (SDS). Selain itu dua tersangka lainnya adalah Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF) dan VP Feedstock Management PT KPI Agus Purwono (AP).
Lantas seperti apa sosok Kerry Adrianto Riza dan perannya dalam kasus dugaan ata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina yang merugikan negara samapi Rp 193 Triliun ini?
Sosok Muhammad Kerry Adrianto Riza
Muhammad Kerry Adrianto Riza lahir pada 15 September 1986 di Jakarta. Ia merupakan putra dari pengusaha minya terkemuka Mohammad Riza Chalid dan Roestriana Adrianti. Keluarga Kerry memiliki latar belakang bisnis yang kuat, terutama di sektor minyak dan gas.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Indonesia, keluarga Kerry pindah ke Singapura pada tahun 1998. Di sana, ia melanjutkan pendidikan di United World College of South East Asia, dan kemudian meraih gelar BSc Applied Business Management dari Imperial College, University of London, Inggris, pada tahun 2008.
Tidak berbeda jauh dengan sang ayah sang ayah, Kerry berprofesi sebagai seorang pengusaha. Dirangkum dari Antara, Kerry diketahui menduduki kursi Komisaris Utama klub basket Hangtuah Jakarta pada 2021. Dia juga berprofesi sebagai Komisaris PT Orbit Terminal Merak pada 2015 dan masih menjabat sebagai Presiden Direktur PT Aryan Indonesia (KidZania Jakarta).
Kerry juga tercatat memegang 25 persen saham PT GAP Capital senilai Rp 6,25 miliar per 2011. Dia juga memiliki 51 persen saham senilai Rp 6,37 miliar di PT Rama Putera Investindo Tbk per 2018, serta bertindak sebagai Direktur Utama.
Peranan Kerry dalam Kasus Korupsi Minyak Mentah Pertamina
Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengungkap dugaan praktik manipulasi harga bahan bakar minyak (BBM) yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga.
Kerry diduga berperan dalam pembelian BBM jenis Pertalite (RON 90) dengan harga Pertamax (RON 92), di mana barang yang dibeli seharusnya tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Proses blending yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas BBM ini dianggap ilegal dan melanggar ketentuan yang berlaku.
Dalam kasus ini, Kerry diduga sebagai broker yang memainkan peran signifikan dalam sistem pengadaan minyak Pertamina. Ia diduga terlibat dalam penggelembungan harga kontrak pengiriman (shipping) yang berdampak langsung terhadap pengeluaran negara.
Kejagung menyebutkan Kerry mendapat keuntungan dari mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi. Yoki melakukan pengadaan impor dengan cara mark up yang menyebabkan negara mengeluarkan pembayaran 13% - 15% dari harga asli.
“Tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” ungkap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar saat konferensi pers, Senin, 24 Februari 2025.
Melalui praktik ini, Kerry memperoleh keuntungan dari transaksi yang tidak transparan, sementara negara mengalami kerugian yang sangat signifikan mencapai 193 Triliun.